by

Maka Menagislah Kamu Indonesia

Jangankan berelasi terhadap agama berbeda, di kalangan sendiri kita gemar menegasikan kelompok lain. Tak muncul dari kita keberanian untuk mengaku bahwa tindak kekerasan atas nama Tuhan adalah keniscayaan tafsir dalam agama mana pun yang tak bisa disangkal. Kita perlu dengan rendah hati menerima kenyataan, menjadikan itu tanggungjawab komunal. Sekaligus secara terbuka kita akui bahwa tafsir keagamaan, seberapa kuat pun keyakinan yang hidup terhadap tafsir tersebut, berada di bawah pengawasan bersama dan tunduk kepada undang-undang.

Tengoklah reaksi kita terhadap kabar tentang seorang lelaki yang memasuki ruang ibadah ketika misa tengah berlangsung, menghunus samurai, membacok orang terdekat, lalu menghampiri Imam dan menghajar tengkuknya. Sebagian dari kita gesit melansir sanggahan: itu bukan Islam. Membaca berita lelaki berkulit putih menghujamkan belati ke lambung muslimin di New York, orang-orang di sana berseru dalam hitungan jam: itu bukan Kristen.

Padahal Suliyono meyakini dirinya sedang membela Tuhan, membela agama berdasarkan ayat-ayat yang dibaca. Ia yakin telah memiliki kewenangan tak terbatas dalam mengamankan posisi Tuhan di muka dunia. Tangannya menjadi tangan Tuhan yang berkuasa melibas siapa saja. Ucapannya menjadi Kalam dalam konteks Penguasa alam raya. Itu juga yang membuat seseorang mengira dirinya berwenang mengerahkan tujuh juta orang menduduki kota.

Dengan penyangkalan, yang terhitung latah, seperti itu, saya tak tahu bagaimana menyembuhkan luka di Yogyakarta.

Sekelompok perempuan berjilbab memasuki gereja, membersihkan ruang yang porak-poranda. Mereka berfoto. Gambarnya berlayangan dari gadget ke gadget untuk membangkit harapan. Di depan Yesus-tanpa-kepala seorang perempuan menyapu puing-puing pecahan. Ia mengingatkan saya pada Pieta dalam pose berbeda. Dan perempuan itu bukan Maria. Dia memang seorang bunda, tapi muslimah. Dia mengumpulkan pecahan kepala anaknya.

Beberapa hari kemudian seorang pematung datang ke gereja. Ia membawa dua patung karyanya: Yesus dan Bunda Maria, lahir dari penghayatan seorang manusia. Ia tak menerima bayaran, meski bantuan dari 2 bos datang berpatungan. Padahal dua patung tersebut terhasilkan dari kerja berhari-hari, harusnya cukup untuk membiayai hal-hal penting bagi hidup keluarganya. Hari itu ada yang jauh lebih penting. Bukan masjid berikut suara adzan, tapi rumah Tuhan satu lagi, yang diyakininya juga menjadi sumber kebaikan. “Patung yang hancur itu seperti karya saya,” katanya polos.

Tapi saya masih merasa itu semua cuma bagian dari kegiatan public relation, masih belum menyentuh kedalaman, masih di pinggir, belum masuk ke lambung persoalan. Sampai kemudian sebuah video yang dikirim beberapa sahabat menyentak saya.

Hari itu paduan suara Universitas Islam Nasional Sunan Kalijaga berkunjung ke gereja St Lidwina, mengajak Paduan Suara Orang Muda Katolik (OMK) Santa Lidwina nyanyi bareng dalam ibadah. Sebagian datang berhijab, sebagian berbaju sekular. Jangan perkarakan mereka dari segi kualitas. Ini nyanyian yang meluap dari cinta, hanya berlatih sebentar, lalu bergegas maju ke altar dengan salib Yesus sebagai latar.

Bergenggaman, mereka bernyanyi bagi Indonesia cinta, Indonesia damai, Indonesia harmoni. Tiba-tiba…, saya kehilangan daya dan alasan untuk menganggapnya remeh. Butuh keberanian menabrak tahyul-tahyul, yang selama ini dipelihara sebagian orang tentang larangan menginjakkan kaki di rumah ibadah agama lain, apalagi bernyanyi di sana bersama orang berbeda iman sehingga dengan demikian terkemuka sebuah perasaan kolektif: tak cuma satu bangsa, kita juga satu iman di dalam Tuhan, entah apapun nama dan penghayatannya.

Melalui kehadiran mereka Tuhan menanggalkan kemutlakannya. Ia diam bersama, di tengah manusia, di Yogyakarta, menyembuhkan luka. Ia Allah yang lebih besar daripada semua kebencian dan rasa sakit. Ia Allah yang memenggal rantai pemisah—bukan kepala orang, menabrak hati yang degil—bukan gerbang rumah ibadah agama lain. Ia Allah yang merekatkan tanganmu dan tanganku. Oleh kedatangan mereka kita bisa bercinta lagi, menangis dalam haru karena harapan kembali mekar bagi Indonesia sebagai rumah bersama.

Mereka orang-orang baik…, bukan kebetulan bahwa agamanya Islam. 
Ya ‘kan, Panji Pragiwaksono?

Sumber : Status Facebook Sahat Siagian

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed