by

Majapahit (bukan) Kerajaan Islam

Berdasarkan pengalaman saya terlibat dalam beberapa proyek konservasi di Trowulan dan penulisan buku Masyarakat Jawa dalam Keseharian bersama Prof. Dr. Sumijati Atmosudiro dan Drs. PH. Subroto, M. Sc, saya meyakini bahwa Majapahit bercorak Islam—eh Hindu. Candi-candi di Trowulan, dari bentuk, arca, relief, dan ornamen jelas Hindu. Jadi, enam fakta yang ditunjukkan Mas Herman terlalu kecil untuk mengklaim Majapahit sebagai kerajaan Islam, kecuali Mas Herman dan para arkeolog menemukan jejak Masjid Agung di Trowulan dari abad ke-13. Kalaupun kita menemukan Masjid Agung, kita tidak serta merta bisa mengklaim Majapahit sebagai kerajaan Islam. Ada banyak komponen sebagai penanda kota/kerajaan Islam. Jadi, klaim sebuah kerajaan itu Islam atau bukan, tidak cukup dengan koin, nama, dan nisan semata. Jika 700 tahun yang akan datang kita menemukan salah satu nama mentri Negara Indonesia I Made…., apakah lantas kita bisa mengklaim Indonesia pada Abad ke-21 adalah Negara Hindu? Faktanya Indonesia abad ke-21 bukan pula negara Islam meski para pemimpin dan penduduknya mayoritas muslim dan masjid besar tersebar di mana-mana.

Tentang Gajah Mada yang dianalisis secara kebahasaan berasal dari Gajah Ahmada yang lalu menjadi viral Gaj Ahmada, saya tidak bisa komentar, sebab sudut pandangnya berbeda, bukan masuk ranah arkeologi. Namun tidak bisa dipungkiri, di antara penduduk dan pemimpin Majapahit sudah ada yang muslim, termasuk (barangkali) Patih Gadjah Mada. Perdagangan antara Jazirah Arab dengan Nusantara diperkirakan sudah ada sejak awal Masehi. Bukti-bukti arkeologi baru dijumpai berasal dari abad ke-11 sampai ke-13 M, antara lain ada di Troloyo.

Koin mata uang bertuliskan Arab, perlu kita kritisi. Artefak itu terlalu kecil, mudah bergerak, hingga sudah lepas dari konteks. Waktu yang ditulis dalam caption koleksi Museum Nasional pun rentangnya jauh, yaitu abad ke-13 sampai ke-18. Masih terlalu terbuka pada berbagai tafsir. Orang Islam-jawa gemar menuliskan huruf arab pada kain, kulit, logam, dan bahan lain untuk jimat. Bisa jadi koin itu bukan untuk alat tukar (sebagai penanda kerajaan), melainkan jimat–terlebih di balik lain koin ada figur wayang (seperti figur Semar yang banyak dipuja penganut Kejawen).

Sejarah tergantung pada siapa yang menulis. Penulis dipengaruhi ideologi, pengetahuan, dan pengalamannya–terkadang siapa yang mempekerjakannya. Kebetulan hari ini saya bekerja untuk diri sendiri.

—–

Monggo guru-guru dan sahabat-sahabat saya yang ahli arkeologi klasik, turut berbagi di sini: Prof. Mundardjito Otti, pak Nurhadi Rangkuti mbak Ania Nugrahani, mas Andi Putranto. Terima kasih untuk Sultan Kurnia AB yang sudah memantik saya menulis ini, semoga bisa mengisi tong kosong yang nyaring bunyinya.

Sumber : facebook Jajang

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed