by

Layakkah Standarsasi Ustadz?

(3). Memiliki kemampuan dalam memahami Al-Qur’an dan hadits sesuai dengan disiplin ilmu alat yang digunakan untuk memahami keduanya serta penjelasan para ulama yang memiliki kapabilitas di bidang tersebut, terutama para ulama mutaqaddimun (pendahulu). Dengan demikian, berbagai makna dan ahkam (hukum) yang mustambathah (dipetik) dari keduanya akan lebih akurat sesuai dengan yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

(4). Dan syarat yang terakhir adalah yang paling unik, yaitu mampu untuk menta’liq (menyusun catatan tambahan) dengan tulisan miring dalam memaknai teks-teks bahasa Arab, baik berupa teks Al-Qur’an, atau hadits, atau kitab-kitab turats dengan makna yang detail dan telah mewakili maksud yang diinginkan tanpa memenuhi ruang kosong yang tersedia di suatu halaman kitab (contoh, lihat gmbar terlampir). Tradisi ini merupakan salah satu keistimewaan pesantren-pesantren di tanah Jawa, yang di tanah Arab sendiri tradisi seperti ini tidak didapatkan. Kemampuan ini tidak bisa didapatkan secara spontan atau otodidak, tapi harus diasah dan dilatih dalam kurun waktu yang tidak singkat.

Mungkin tradisi ini seperti tradisi “tashrifan” dalam pelajaran ilmu sharaf. “Tashrifan” dengan model yang dikenal di tanah jawa, tidak akan didapatkan di negara Arab sekalipun. Saat berangkat ke Yaman untuk menimba ilmu, kami membawa kitab “Al-Amtsilah Ath-Tashrifiyyah” karangan KH. Muhammad Ma’shum bin Ali, dari Pesantren Seblak Diwek, Jombong. Tapi ternyata, di sana tidak ada model “tashrifan” sebagaimana di Indoensia. Bahkan ketika kami sodorkan kitab “Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah” kepada sebagian syaikh di sana, mereka takjub.

Dengan adanya standardisasi ustadz seperti ini, menurut hemat kami sangat besar sisi positifnya. Pembahasan seputar keagamaan dalam berbagai bentuk, baik menulis, berfatwa, menjawab pertanyaan, mengajar, ceramah, dan yang lainnya, hanya akan dikembalikan kepada mereka yang telah memenuhi standar. Yang belum, hendaknya menahan diri dan terus berusaha untuk belajar.

Jika hal ini bisa terealisasi, insya Allah berbagai kerusakan dan kegaduhan yang muncul akan dapat diminimalisir karena yang berbicara hanya terbatas pada orang-orang yang benar-benar berilmu.

Demikian kualifikasi ustadz menurut beliau. Mungkin jadi guru yang satu dengan guru yang lain memiliki kualifikasi yang berbeda-beda. Tapi intinya insya Allah sama. Ini juga untuk menjelaskan, bahwa alumni pesantren memiliki standardisasi yang jelas. Tulisan ini bukan untuk “memantaskan diri sendiri”, tapi untuk memotivasi kita semua.

A. Al Jirani

Sumber : Status Fanspage Pesantren Online

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed