by

Langgar Kami

Ada banyak kenangan dan cerita disitu. Setelah sembahyang dengar suara merdu Anak Wedok yang sedang asyik baca Qur’an. Nahan senyum saat ingat Anak Lanang yang kalau disuruh jadi Imam, sembahyang lebih cepat dari laju kereta api Jepang, ‘shinkansen’ . . .

Kalau besok libur sekolah, kami biasa nyantai ‘glundhungan’ di tikar lampit usai sembahyang. Ngobrol apa saja. Omong teman sekolah, guru, sampai nilai matematika. Kadang meledak tawa kami, respon ‘lawakan’ Anak Wedok . . .

Memang ‘Langgar’ kami ndak cuma berfungsi ‘formal’ keagamaan, sembahyang atau ngaji, tapi juga bicarakan, ceritakan, tertawakan, segala sesuatu, dan tak jarang bisa sampai pada analisa dan kesimpulan . . .

Ciyus ? Ndak. Lebih banyak nyantai dan cekikikan. Langgar, bagi kami merupakan tempat belajar, tempat ‘nyantrik’. Belajar makna ‘hidup’ dan ‘kehidupan’.

Tak hanya bagi Anak2, tapi juga bagi kami berdua, saya dan Nyonya. Dan belajar, apapun, ternyata tak harus selalu dalam suasana serius menegangkan dan dahi berkerinyit . . .

Dari ‘laku’ bicara, cerita, dan tertawa dalam ‘Langgar’ itu, bisa kami rumuskan banyak hal. Misal, begitu sederhana cara menyenangkan Tuhan. Mencari ‘ridho’ Tuhan, kata banyak orang . . .

Dari ‘laku’ bicara, cerita, dan tertawa dalam ‘Langgar’ itu, bisa kita maknai arti setiap orang adalah ‘khalifah’ . . .

Dari ‘laku’ bicara, cerita, dan tertawa dalam ‘Langgar’ itu, bisa kami tahu cara agar tetap semangat dan tegar dalam hidup, justru hanya jika kita pikirkan orang lain . . .

Dari ‘laku’ bicara, cerita, dan tertawa dalam ‘Langgar’ itu, bisa kami pahami cara agar kita bahagia, ternyata hanya dengan membuat orang lain gembira . . .

Dari ‘laku’ bicara, cerita, dan tertawa dalam ‘Langgar’ itu, kami bisa mengerti bahwa rejeki tidak hanya muncul sebab kerja keras kita, namun juga bantuan berkah dari sedekah kita . . .

Langgar kami telah sepi. Kedua Anak kami sekarang ada jauh berjarak ribuan kilometer dari kami berdua.

Namun kami, saya dan Nyonya, percaya, mereka tak kan pernah lupa semua ‘pelajaran’ yang mereka petik dari ‘laku’ bicara, cerita, dan tertawa itu. Meski cuma seumur jagung. Tak lama memang . . .

Bahwa, Tuhan itu bak sebuah wadah Maha Raksasa. Berisi penuh kebahagiaan, kasih-sayang, juga kegembiraan . . .

Tuang saja satu tetes kebahagiaan ke ‘dalam’ wadah itu, niscaya akan meluber setetes juga kebahagiaan. Bahkan tak jarang kita dapat dua atau tiga tetes, dua tiga gayung, dua atau tiga ember kebahagiaan. Kadang sampai tak terukur . . .

Dan kami percaya Tuhan akan sangat bahagia, jika kita bisa dan mau membagi kebahagiaan dan kegembiraan bagi lain orang.

Itu yang kami berempat, saya, Nyonya, Anak Lanang, dan Anak Wedok, memberi makna kata dan rasa syukur. Bukan hanya sekedar ucap kata ‘hamdalah’. Dan syukur itu kami percayai akan selalu berbuah berkah . . .

Tabek . . .

Sumber : Status Facebook Harun Iskandar

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed