by

Krisis Adalah Sumber Daya Kapitalisme Selalu Dinamis dan Adaptif

 

Oleh: K. El-Kazhiem

Keliru bila kapitalisme bisa dilawan di zaman sekarang. Mengapa? Kapitalisme adalah sistem yang dinamis dan adaptif. Setelah perang dingin usai, dan ambruknya ideologi-ideologi besar seperti komunisme dan kapitalisme, siapa yang dapat bangkit?

Jawabannya adalah kapitalisme. Neo-kapitalisme atau yang sering disebut neo-liberalisme telah menjadi sistem jejaring bersama. Komunisme dan turunan ideologinya yang katanya lebih lembut, yaitu sosialisme, sudah kalang kabut.

Yang ada kini bukan sosialisme, tapi hanya kapitalisme yang dinamis dan adaptif. Saking adaptifnya, kapitalisme masuk ke kamar tidur kita, lemari kita, toilet kita, agama dikapitalisasi dengan aneka wisata spiritual/wisata religius, dan bahkan kemiskinan pun sekarang komoditas kapitalisme untuk dijual. Justru kapitalisme menjadikan krisis sebagai material untuk reproduksi dirinya sendiri. Krisis sengaja diciptakan untuk menjaga kelangsungan hidup kapitalisme (dan para kapitalis).

Dalam perjalanannya, kapitalisme dihadapkan dengan ketidakstabilan yang diakibatkan oleh krisis. Kapitalisme harus mengubah bentuk dan kembali direkayasa untuk membuat versi baru. Setelah masa produksi, jejak industri meninggalkan lanskap yang berubah menjadi tanah terlantar. Pabrik-pabrik tua dirobohkan atau dikonversi ke penggunaan baru, lingkungan kelas pekerja mendapatkan pesangon. Di tempat lain, pertanian kecil dan kepemilikan petani digantikan oleh pertanian industri skala besar atau pabrik-pabrik baru dengan perampingan tenaga kerja. Pusat bisnis, perbelanjaan, dan gudang pusat distribusi beralih ke tengah-tengah perumahan di pinggiran kota yang dihubungkan dengan jalan-jalan bebas hambatan. Sementara itu, di pusat kota terjadi persaingan seberapa tinggi pencakar langit, menara gedung perkantoran, apartemen glamor, dan mega mal yang terus berkembang biak. Beberapa bahkan menyatu dengan jalur bandara di mana gerombolan wisatawan dan pebisnis keluar masuk melintasi dunia yang sudah demikian kosmopolitan adanya. Lapangan golf dan perkumpulan komunitas-komunitas elitis yang dulunya ada di negara seperti Amerika Serikat, sekarang dapat dilihat di China, Chili, dan India, dan sangat kontras dengan permukiman penduduk yang padat penduduk dan kumuh.

Namun yang begitu mencolok dari krisis ialah, tidak begitu banyak terjadi rekonfigurasi lanskap secara fisik. Perubahan dramatis sesungguhnya ada pada cara berpikir dan pemahaman, institusi dan ideologi dominan, dari afiliasi dan proses politik, subjektifitas politik, teknologi dan bentuk organisasi, hubungan sosial, adat istiadat budaya dan selera yang menginformasikan aktivitas kehidupan sehari-hari. Krisis mengguncang konsepsi mental kita dari dunia dan tempat yang kita tinggali sampai ke akarnya. Ini membuat kita sebagai penduduk bumi dirasuki kegelisahan baru yang menuntut kita harus beradaptasi terhadap globalisasi; apakah melalui paksaan atau kesepakatan. Bahkan ketika kita berusaha mengangkat nilai tambah berdasarkan apa yang kita pikirkan akan berhasil, ternyata justru menambah ‘kualitas’ dari amburadulnya dunia ini.

Sulit untuk melihat pintu keluar di tengah-tengah krisis lantaran krisis bukanlah peristiwa tunggal. Pergeseran-pergeseran yang terjadi dapat memicu krisis yang berlarut-larut. Dimulai dengan runtuhnya pasar saham tahun 1929 yang tidak berakhir sampai tahun 1950-an sehingga dunia melewati masa depresi 1930-an dan perang global tahun 1940-an. Demikian pula krisis yang keberadaannya ditandai dengan gejolak di pasar mata uang internasional di akhir 1960-an dan peristiwa 1968 di jalan-jalan kota (dari Paris dan Chicago ke Kota Meksiko dan Bangkok) yang tidak terselesaikan sampai pertengahan 1980-an, dunia melewati tahun 1970-an ketika terjadi keruntuhan awal sistem moneter internasional Bretton Woods yang didirikan pada tahun 1944. Satu dekade yang disesaki gejolak perjuangan buruh dan meningkatnya konsolidasi politik neoliberalisasi di bawah Reagan, Thatcher, Kohl, Pinochet, dan pada akhirnya, Deng di Cina.

Dengan melihat ke belakang tidaklah sulit untuk melihat tanda-tanda permasalahan yang akan datang, baik sebelum dan sesudah krisis meledak. Misalnya, gelombang ketidaksetaraan kekayaan moneter dan pendapatan dari tahun 1920-an, dan menggelembungnya aset pasar properti yang muncul pada tahun 1928 di Amerika Serikat, telah diramalkan sebagai penyebab keruntuhan pada 1929. Setiap cara untuk keluar dari satu krisis mengandung benih krisis selanjutnya. Penyesuaian nilai utang dan meningkatnya finansialisasi global yang dideregulasi pada 1980-an sebagai cara untuk memecahkan konflik ketenagakerjaan dengan memfasilitasi mobilitas dan penyebaran geografis, maka dihasilkan kesimpulan sebagai tanda-tanda jatuhnya bank investasi Lehman Brothers pada 15 September 2008. Lima tahun kemudian, diikuti dengan terkurasnya cadangan keuangan di beberapa negara maju.

Jika masa lalu diibaratkan sebagai buku panduan maka cuma akan menjadi panduan yang buruk. Yang menakjubkan adalah ketidakhadiran adanya pemikiran, gagasan, atau kebijakan baru. Dunia telah terpolarisasi begitu luas antara kelanjutan neoliberal, penguatan posisi tawar, dan resep moneter yang menekankan penghematan sebagai obat yang tepat untuk menyembuhkan penyakit ini (seperti di Amerika dan Eropa); dan kebangkitan beberapa versi teoretik Keynesian mengenai permintaan (demand) dan ekspansi yang didanai oleh utang (seperti di Cina), tapi mengabaikan penekanan redistribusi pendapatan untuk kelas bawah sebagai salah satu komponen kunci.

Tidak peduli kebijakan mana yang sedang diikuti, hasilnya adalah dukungan kepada kelompok miliarder yang sekarang menyerupai plutokrasi dan semakin kuat, baik di dalam negara dan di atas panggung dunia (seperti Rupert Murdoch). Di mana-mana, orang kaya semakin kaya dari menit ke menit. 100 miliarder teratas di dunia (dari Cina, Rusia, India, Meksiko dan Indonesia serta negara-negara di Amerika Utara dan Eropa) menambahkan pundi-pundi kekayaan yang bisa digunakan lebih dari cukup untuk mengakhiri kemiskinan di dunia. Sebaliknya, justru kesejahteraan masyarakat menjadi mandek. Bahkan mengalami percepatan degradasi ke arah bencana, seperti di Yunani dan Spanyol.

Satu perbedaan peran yang besar secara institusional tampaknya menjadi milik Federal Reserve Amerika Serikat yang memainkan peran Bank Sentral terkemuka yang mendominasi panggung dunia. Tapi sejak awal adanya bank sentral (di tahun 1694 di Inggris), peran mereka adalah untuk melindungi dan menyelamatkan para bankir, bukan untuk mengurus kesejahteraan rakyat. Fakta bahwa Amerika Serikat secara statistik bisa keluar dari krisis pada musim panas 2009, dan hampir di mana-mana pasar saham bisa memulihkan kerugian mereka, dikarenakan memiliki segala sesuatu yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan Federal Reserve. Apakah ini tanda munculnya sebuah kapitalisme global yang dikelola di bawah kediktatoran gubernur bank sentral dunia, yang tanggung jawab utamanya adalah untuk melindungi kekuasaan bank dan orang kaya? Jika demikian, maka tampaknya hanya ada sedikit tawaran yang berprospek sebagai solusi persoalan ekonomi saat ini. Justru tetap stagnan dan menurunkan standar hidup penduduk dunia.

Berhenti berharap pada ‘kekirian’

Sebenarnya ada beberapa tawaran teknologi yang mempunyai prospek perbaikan kelesuan ekonomi saat ini. Teknologi baru dan bentuk-bentuk organisasi selalu memainkan peran penting dalam memfasilitasi jalan keluar dari krisis, tapi tidak pernah benar-benar menentukan. Satu-satunya harapan hari ini adalah pada kapitalisme “berbasis sains”, dengan menempatkan teknik biomedis, genetik dan kecerdasan buatan di garis depan. Namun yang namanya inovasi selalu menjadi pedang bermata dua. Tahun 1980-an, terjadi deindustrialisasi besar-besaran di Amerika sehingga orang-orang yang bergaji baik sesuai standar Amerika Serikat pada tahun 1960 digantikan oleh orang-orang berupah rendah seperti penjaga supermarket. Jika inovasi bergerak ke satu titik tertentu yang searah, sama saja dengan penurunan kesempatan kerja bagi tenaga kerja. Sebaliknya, justru meningkatkan penyewaan yang diekstraksi dari hak kekayaan intelektual sebagai modal. Tetapi jika setiap orang mencoba untuk hidup dari sewa dan tidak ada investasi dalam membuat sesuatu maka kapitalisme akan mandek.

Bukan hanya elite kapitalis dan akademisi pelayan intelektualnya yang tidak mampu membuat terobosan radikal, atau mendefinisikan jalan keluar yang layak dari krisis rendahnya pertumbuhan ekonomi, stagnasi, pengangguran yang tinggi dan hilangnya kedaulatan negara. Kekuatan kiri tradisional juga tidak mampu untuk menggalang oposisi yang solid atas kekuatan-kekuatan yang menguasai modal. Mereka telah terpukul oleh serangan ideologi dan politik dari kanan selama tiga puluh tahun sementara sosialisme demokratis telah didiskreditkan. Keruntuhan komunisme yang terstigmatisasi dan kematian Marxisme setelah 1989 membuat keadaan menjadi lebih buruk. Apa yang tersisa dari kalangan kiri sekarang ini? Sebagian besar berada di luar saluran institusional atau oposisi yang terorganisir sembari berharap bahwa tindakan skala kecil dan aktivisme lokal dapat membuat dampak makro yang memuaskan.

Kalangan kiri jenis ini turut menggaungkan etika libertarian dan bahkan neoliberal yang anti-statisme. Mereka dipertahankan oleh intelektual dan para pemikir yang berada di bawah bendera postmodern, yang sebagian besar tidak menganalisis gejala pascastrukturalisme secara komprehensif dan justru terkadang membiarkan politik identitas dan kelas menjamur. Gerakan dan paradigma otonomis, anarkis dan lokalis yang tersebar di mana-mana sebagai bukti yang jelas. Kalangan kiri yang berusaha untuk mengubah dunia tanpa mengambil kekuasaan telah membuat konsolidasi kapitalis dan negara plutokrasi semakin tak tertandingi dalam kemampuannya untuk mendominasi dunia. Inilah kelas penguasa baru yang dibantu oleh aparat keamanan dan kontrol negara yang memanfaatkan segala kekuatan untuk memadamkan bentuk-bentuk perbedaan pendapat dalam jargon anti-terorisme.

Sesuatu yang berbeda dalam metode investigasi dan konsepsi mental jelas diperlukan di masa-masa tandusnya intelektualitas, agar kita tidak mati suri dalam pemikiran ekonomi dan kebijakan politik. Mesin ekonomi kapitalisme jelas berada dalam banyak kesulitan. Ia akan mengancam kemaslahatan bersama, terhenti, atau meledak ke sana-kemari tanpa peringatan. Tanda-tanda marabahaya hadir di setiap kesempatan untuk memunculkan prospek kehidupan sejahtera bagi semua orang. Tak seorang pun tampaknya memiliki pemahaman yang koheren tentang bagaimana, apalagi mengapa, kapitalisme begitu bermasalah. Tapi memang selalu demikian. Seperti yang dikatakan oleh Karl Marx bahwa, krisis selalu akan menjadi konsentrasi nyata dan penyesuaian paksa oleh semua kontradiksi dalam ekonomi kapitalis. Kontradiksi-kontradiksi ini harus diungkap ke publik agar mengetahui persoalan ekonomi sesungguhnya yang mendera semua orang. Konsekuensi dari pengungkapan ini mungkin sepintas tidak tampak, apalagi menjadi bentuk gerakan praktis dan politis.

Persoalan siapa yang paling bisa bertahan (survive) kadang-kadang bukan melulu adu kekuatan dan paling kuat, tapi siapa yang paling bisa dinamis dan beradaptasi. Di situlah kekuatan kapitalisme. Sementara Indonesia gamang, membenci komunisme dan mengutuk kapitalisme. Lalu berharap kepada Pancasila sembari mendengungkan ekonomi syariah. Tapi sebagai alternatif, sangat penting untuk membuka seluruh bidang kemungkinan yang belum dimanfaatkan dan disadari. Kita memerlukan sebuah forum global terbuka untuk mempertimbangkan arah pergerakan modal, dan apa yang harus dilakukan dengan hal itu. Dengan demikian, paling tidak kita memberikan kontribusi sesuatu untuk diperdebatkan dalam dunia yang demokratis.

 

Sumber: kupretist.wordpress.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed