by

Kota Paling Islami

Oleh: Arman Dhani
 

Ketika Denpasar diumumkan jadi kota paling Islami oleh Ma’arif Institut orang-orang kaget. Lha kok bisa? Bukannya Denpasar itu alkohol ada, aurat diumbar, seks banyak, dan sebagainya dan sebagainya. Lalu islamnya di mana? Orang kaget ini lantas memaki, menyebut Ma’arif Institut sebagai lembaga liberal, dapat duit dari amerika, dan sebagainya.

Kalau mereka mau mikir sedikit, atau pake otak sedikit, setidaknya mereka itu bisa nanya. Apa indikator yang digunakan oleh Ma’arif untuk bikin klaim itu? Bagaimana metodologinya? Ini juga kalau mau mengkritik dengan nalar yang rapi. Tapi kita tahu, tidak semua orang bisa mikir kaya gini.

Ma’arif Institut pada 2014 merancang dan menyusun penelitian tentang indeks kota islam di 29 Kota Indonesia, Yang dimaksud sebagai kota islami bukanlah kota yang menerapkan syariat islam dalam peraturan -daerahnya, namun elemen-elemen pemerintahan demokratis yang sejalan dengan perintah islam. Hasilnya tiga kota Yogyakarta, Bandung, dan Denpasar dianggap kota paling islami.

Ma’arif institut bukan yang pertama. Sebelumnya ada riset yang dilakukan oleh The Cordoba Initiative melalui The Shariah Index Project, lalu The Shariah Index oleh Pemerintah Malaysia. Yang kontroversial adalah riset yang dilakukan oleh Professor Scheherazade S Rehman dan Professor Hossein Askari dari The George Washington University yang melakukan penelitian How Islamic are Islamic Countries?

Hasil riset kedua profesor itu dipublikasikan dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010). Hasilnya Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140.

Riset itu menggunakan pertanyaan dasar sebagai berikut.

“Seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan mempengaruhi perilaku masyarakat Muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial?”

Lantas ajaran dasar Islam yang dijadikan indikator dimaksud diambil dari Al Quran dan hadis, dikelompokkan menjadi lima aspek.

1. Ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia.
2. Sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial.
3. Sistem perundang-undangan dan pemerintahan.
4. Hak asasi manusia dan hak politik.
5. Ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan masyarakat non-Muslim.

Riset ini sebenarnya perlu dimaknai ulang. Banyak masjid dan musola di Indonesia kok tidak membuat muslim bisa memenuhi kelima aspek di atas? Memangnya umay islam Indonesia gak adil secara politik dan hukum? Atau mengakui hak asasi manusia? Atau tidak menghargai yang non muslim? Maka ketika Ma’arif Institut bikin riset soal kota islami, gak salah dan gak mengagetkan jika juaranya adalah kota non muslim.

Maarif Institut merancang Indeks Kota Islami ini dengan mempertimbangkan maqashid syariah sebagaimana populer dalam tradisi keilmuan Ushul Fiqh. Yaitu hifzh al-mal (menjaga harta benda), hifzh al-nafs (menjaga kehidupan), hifzh al-‘aql (menjaga akal), hifzh al-din (menjaga agama), hifzh al-nasl (menjaga keturunan) dan hifzh al-bi’ah (menjaga lingkungan).

Ini menjadi penting karena masing masing elemen tadi bisa menjadi tolok ukur paling sederhana untuk mengetahui sebuah kota bisa memenuhi hak dasar masyarakatnya atau tidak. Misalnya hifzh al-mal (menjaga harta benda) dan hifzh al-nafs (menjaga kehidupan) yang bisa dipraktikkan dengan perlindungan terhadap kelompok minoritas, dalam hal ini, syiah dan ahmadiyah juga termasuk.

Hifzh al-din atau menjaga agama tidak bisa dinaknai menjaga kemurnian islam belaka, namun juga kebebasan menjalankan agama dan keyakinan antar penduduk kota. Seperti toleransi antar umat beragama, mendirikan tempat ibadah, pendidikan agama, tidak adanya kebencian terhadap mazhab terntentu, yang beragama berbeda, atau bahkan yang dianggap sesat sekalipun.
Hifzh al-‘aql (menjaga akal) dan hifzh al-nafs (menjaga hidup) bisa dipraktikkan dalam hal transparansi pemerintahan baik dalam pemanfaatan keuangan negara atau proyek terbatas, partisipasi politik, evaluasi kepemimpinan, akuntabilitas dan kontrol terhadap tingkat kejahatan.

Hifzh al-mal (menjaga harta benda) bisa dipraktikan seperti kemampuan pemerintah untuk menjamin keteresdiaan pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan kesehatan. Keempat variabel tersebut diturunkan menjadi beberapa indikator, seperti akses terhadap layanan kesehatan, rasio ketersediaan tenaga kesehatan, standar gaji berdasarkan Upah Minimum Regional (UMR), akses dan ketersediaan fasilitas pendidikan, serta tersedianya sejumlah lapangan pekerjaan dan kemudahan untuk berusaha.

Indikator lain sebuah kota dianggap kota islami adalah hifzh al-nasl (menjaga keturunan) dan hifzh al-bi’ah (menjaga lingkungan) yang bisa diwujudkan dalam hal adanya regulasi yang jelas dalam investasi yang berpihak pada pelestarian alam, infrastruktur yang terjaga, perda perlindungan lingkungan, sistem pengelolaan sampah, tersedianya ruang terbuka hijau dan pengelolaan sumber daya alam yang baik.

Hasil riset Ma’arif Institut dikiritik oleh Hidayat Nur Wahid. Karena menurut ia, sebuah kota bisa disebut islami jika di kota tersebut tidak ada perjudian, perzinahan, peredaran minuman keras dan obat terlarang. Tindakan ini nyata dilarang dalam Islam. Jika demikian, adakah kota yang bebas dari perzinahan, perjudian, dan minuman keras?

Ia bisa melahirkan pertanyaan, apakah kota-kota yang dikuasai oleh ISIS adalah kota islam? Apakah kota yang memberlakukan syariat islam total menjamin perjudian, perzinahaan, dan peredaran minuman keras tidak ada? Saya kira tidak. Maka yang perlu jadi pertimbangan bukan adanya syariat atau tidak, tapi bagaimana sebuah kota menjamin keberlangsungan masyarakatnya.

Nah dari kota itu bagaimana dengan Denpasar? Apakah ia bisa menjalani hifzh al-mal (menjaga harta benda), hifzh al-nafs (menjaga kehidupan), hifzh al-‘aql (menjaga akal), hifzh al-din (menjaga agama), hifzh al-nasl (menjaga keturunan) dan hifzh al-bi’ah (menjaga lingkungan) dengan baik?

Gak usah nuduh Ma’arif Institut liberal atau antek amerika. Pelajari saja riset mereka lalu lakukan riset tersendiri. Itu juga kalo bisa. Muhammad Abduh, pernah berkata “Saya melihat Muslim di Mesir, tapi saya tak melihat Islam di sini. Adapun di Eropa saya tak melihat Muslim, namun saya melihat Islam di sana.” Jadi islami bukan lagi kata sifat tapi telah menjadi kata kerja.

K.H. Husein Muhammad juga menyebut sebuah kota bisa disebut sebagai kota islami ketika mereka bisa membuat para penduduk perempuannya keluar pada malam hari tanpa rasa takut. Sayangnya jika kemudian indikator kota islami adalah seperti poin poin di atas, maka tak ada satu kota pun di Indonesia yang menerapkan syariat islam layak disebut sebagai kota islami.

 

(Sumber: facebook Arman Dhani)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed