by

Koruptor Adalah Psikopat

 

Oleh: K. El-Kazhiem

Kenapa seseorang bisa melakukan korupsi, suap, kolusi, dan semacamnya? Bahkan sering kita terhenyak oleh tampilan seseorang yang demikian saleh dan taat beragama, tapi justru menjadi tersangka korupsi. Mengapa demikian?

Ada yang mengatakan bahwa perilaku manusia kebanyakan dipengaruhi (tidak ditentukan) oleh faktor-faktor yang ada di luar dirinya. Antara lain sistem pengawasan dari negara yang sangat lemah, sistem hukuman bagi koruptor yang sangat ringan, sistem penegakan hukum yang rapuh, sistem politik yang tidak profesional dan faktor lingkungan lainnya. Di samping faktor sistem yang buruk tersebut, juga karena faktor lingkungan kerja yang memang koruptif di mana korupsi sudah saling keterkaitan antara individu dengan individu lainnya. Saling membenarkan dan saling melindungi demi keuntungan bersama.

Ada pula yang berpendapat bahwa korupsi terjadi, siapa pun dan apa pun latar belakangnya, lantaran adanya keserakahan; selalu merasa kurang. Tidak puas dengan apa yang dimiliki. Selalu ingin memiliki yang lebih banyak dan lebih baik dengan cara apapun. Kemudian terbukanya kesempatan untuk melakukan itu. Sikap konsumerisme dan adanya keringanan yang bisa diupayakan didapat oleh para pelaku korupsi. Namun pendapat lain mengatakan bahwa seorang koruptor adalah psikopat.

Psikopat berasal dari kata psyche yang berarti jiwa dan pathos yang berarti penyakit. Psikopat tak sama dengan skizofrenia karena seorang psikopat sadar sepenuhnya atas perbuatannya. Apa penyebab psikopat? Ada beberapa teori dan hasil penelitian tentang hal tersebut. Misalnya, teori kelainan struktural otak seperti penurunan intensitas beberapa bagian otak. Kemudian gangguan metabolisme serotonin, gangguan fungsi otak dan genetik yang diduga ikut menciptakan karakter monster seorang psikopat. Dr. Robert D. Hare dalam bukunya Without Conscience: The Disturbing World of the Psychopaths Among Us mengatakan bahwa, ciri khas pengidap psikopat yaitu, tidak mempunyai hati nurani, absennya rasa bersalah serta penyesalan ketika menyakiti orang lain, dan melakukan perbuatannya dengan penuh kesadaran.

Otak yang seharusnya punya fungsi mengontrol menjadi tidak mampu melakukan pengendalian diri, maka pelaku korupsi bersikap tidak peduli. Hati nurani tidak perlu lagi. Yang penting memanfaatkan kesempatan yang ada untuk memiliki kekayaan secepatnya. Menikmati kesenangan duniawi. Soal hukum bisa diatur. Ini mengapa dikatakan bahwa White collar crime menggunakan kecerdasan dan logika rasionalnya dalam melakukan kejahatan. 

Akan tetapi, yang namanya tersangka belum tentu terbukti bahwa dirinya memang seorang koruptor. Vonis hukum harus jatuh melalui putusan pengadilan. Sejatinya, psikopat ada di semua profesi. Mereka sangat berbakat dalam meningkatkan kemampuan memikat orang. Paul Babiak dan Robert D. Hare menggambarkan dalam buku mereka Snakes in Suits: When Psycopaths Go to Work, bahwa harga diri mereka sangat tinggi, dan kerap membanggakan kapabilitas diri dengan sangat meyakinkan. Mereka pandai menyajikan “sampul” terbaik agar jati diri atau nilai intrinsik diri mereka sukar dipenetrasi orang lain.

Mengapa koruptor rata-rata adalah seorang psikopat? Di sini, kita bisa melihat sikap dari seorang tersangka, jika ia melakukan terlalu banyak mekanisme pertahanan diri, kemungkinan besar memang alam bawah sadarnya mengakui ia melakukan korupsi. Hanya saja berupaya disembunyikan oleh penampilannya.

Misalnya, ia melakukan penyangkalan atau penolakan dengan cara memblokir peristiwa-peristiwa dari luar kesadaran. Artinya, baru diumumkan saja langsung menyangkal sana-sini, atau ketakutan tidak mau menghadiri panggilan institusi penegak hukum.

Represi, yaitu ketidakmampuan untuk mengingat kembali situasi orang, atau peristiwa. Biasanya untuk tersangka yang tertangkap basah, ia akan tampak bingung dan tidak menguasai jawaban yang spesifik ketika diinterogasi.

Penggantian, yaitu mengalihkan tekanan ke target pengganti, bahwa dirinya cuma tumbal dan sebagainya. Atau proyeksi, yaitu penggantian ke arah luar. Berusaha mencari kambing hitam, atau menarik orang lain agar turut terlibat senasib sepenanggungan,

Pembentukan Reaksi, yaitu, ”percaya pada hal sebaliknya”. Ia percaya benar dirinya tidak bersalah, tidak melakukan korupsi, dan sebagainya. Tapi ada pula para pelaku koruptor yang justru berusaha merasionalisasi perbuatannya. Bahwa apa yang ia lakukan sesungguhnya benar dan membawa kemaslahatan bagi orang banyak.

Spiritualis atau religius. Agama, atau hal-hal yang bersifat ketuhanan, sejatinya adalah opium bagi masyarakat. Tempat penghiburan tiap kali individu-individu tertimpa musibah, baik itu kelas borjuis, atau proletar, kaya atau miskin sama saja. Sesaat setalah ditetapkan menjadi tersangka akan muncul spiritualitas di dalam diri seorang koruptor. Bahwa ini adalah cobaan dari Tuhan, memohon kekuatanNya, serta menyebutkan lafal doa-doa yang bersumber dari agamanya. Atau memakai atribut dan simbol keagamaan yang tampak mencolok.

Ironi viktimisasi. Setelah itu akan muncul ungkapan-ungkapan bahwa dirinya adalah korban dari situasi dan kepentingan yang lebih besar. Muncul perkataan “saya tidak tahu apa-apa”, “saya dikorbankan”, ” Si Anu dan Si Itu sebenarnya tahu dari awal”, dan semacamnya. Yang paling sering kita dengar adalah ungkapan “dizalimi” yang merembet kepada meminta perlindungan terhadap keluarga, seperti kalimat, “jangan ganggu anak-istri saya”, “kami diteror”,  “suami saya di ancam”, dan semacamnya akan muncul. Termasuk pula mengenai ancaman terhadap kuasa hukum yang bersangkutan. Hal ini dilakukan untuk meraih simpati publik dan hukum.

Fight or Flight. Pilihan pertama berarti yang bersangkutan sudah mampu menstabilkan emosinya kemudian berpikir dengan jernih untuk membalas. Opsi ini mengemuka dengan keinginan untuk menyeret semua orang yang terlibat. Fight menjadi pilihan dengan pertimbangan setidaknya akan meringankan hukuman karena kooperatif dengan pengadilan. Biasa kita kenal dengan istilah justice collaborator atau whistle blower. Adapun pilihan kedua yang berupa Flight, atau meninggalkan arena konflik terbuka dan mengambil semua tuduhan lantaran si pelaku tidak memiliki bargaining apa pun di luar ranah hukum, politik, dan peradilan.

Tentu sangat berbahaya bila negara ini dikuasai oleh psikopat, apalagi kalau mereka menjabat di posisi penting lembaga-lembaga negara. Hanya tujuan-tujuan gila yang akan dicapai, dan untuk kepentingan pribadi. Bukan demi kemaslahatan bersama seluruh rakyat Indonesia.

“Our society is run by insane people for insane objectives. I think we’re being run by maniacs for maniacal ends and I think I’m liable to be put away as insane for expressing that. That’s what’s insane about it.” – John Lennon.

 

Sumber: kupretist.wordpress.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed