by

Korban Sabet Pedang di Gereja Itu Pahlawan bagi Anaknya

 

Belum lagi Romo berkhotbah, Agus mendengar ada suara teriakan dari luar. Beberapa jemaat juga terlihat menoleh ke arah suara. Suara caci maki umpatan kafir terdengar dari luar halaman depan gereja.

Suara itu berasal dari jenis suara seorang laki-laki dewasa. Kuat sekali suara itu. Suara itu membahana menembus dinding gereja. Terdengar hingga depan altar. Romo Prier juga mendengar suara gaduh itu. Romo Prier terus melanjutkan misa.

“Hentikan ini semua… Kalian kafir jahanam”, umpat lelaki yang berteriak di luar itu di depan pintu gerbang masuk gereja. Ia terus berteriak sambil menghunus sebilah pedang panjang. Seketika jemaat gaduh. Jemaat wanita berteriak histeris ketakutan. Para orang tua berlarian menjauh. Jemaat pria mencoba menghentikan lelaki itu.

Pedang panjang itu terus diayunkan lelaki itu. Tidak seorangpun bisa menghentikannya. Ia terus menunjukkan amarahnya. Caci maki dan umpatan terus diucapkannya. Agus dan anaknya saat itu paling dekat dengan lelaki itu. Agus melihat wajah keras pria dengan suara takbir menderu.

Malang buat Agus. Lelaki berpedang itu mendengus. Lelaki berpedang itu mendekati anaknya. Agus tahu anaknya bakal disabet lelaki berpedang itu. Anaknya tampak ketakutan. Agus memeluk dan mendekap anaknya.

Sretttt…. Tebasan pedang panjang itu mengayun membelah kepala dan punggung Agus. Agus terus mendekap dan menggendong anaknya. Kepalanya berdarah. Tengkorak kepalanya pecah. Darah mengucur deras dari kepala Agus. Agus tidak peduli. Ia menggendong anaknya dari sabetan pedang lelaki itu. Agus berlari ke luar gereja. Dihalaman gereja Agus jatuh lunglai. Ia diselamatkan jemaat lain.

Lelaki berwajah tirus kurus itu terus mengayunkan pedangnya ke udara. Ia merangsek ke depan. Mendekati pastor Prier yang tampak tenang. Para jemaat sudah menyelamatkan diri dari dalam gereja. Tinggal Pastor Prier dan beberapa jemaat laki-laki yang berusaha menenangkan lelaki berpedang itu.

Srettt… Lelaki berpedang itu menyabet kepala Pastor Prier. Darah mengucur deras dari kepala Romo Prier. Lelaki berpedang itu terus menyerang. Suara takbir dan kafir terus diucapkannya. Kali ini patung Yesus Kristus di depan altar dipenggalnya. Sekali ayun, patung Yesus Kristus terpenggal lehernya. Lelaki berpedang itu terus menyerang membabi buta.

“Hentikan.. Menyerahlah atau ditembak !! teriak seorang polisi. Polisi tiba di Gereja. Seorang jemaat menelpon. Peringatan polisi tidak digubris. Lelaki berpedang itu terus mengayunkan pedangnya. Polisi berusaha mendekati. Lelaki berpedang itu terus melawan.

Tidak ada jalan lain bagi polisi. Ini membahayakan nyawa polisi jika dilumpuhkan dengan tangan kosong. Dorr.. Dorr. Dua butir peluru menghunjam kaki si lelaki berpedang itu. Lelaki berpedang itu lunglai. Dua butir timah panas menembus kakinya. Ia langsung diringkus.

Sabtu malam sebelumnya, lelaki berpedang itu menelepon ayahnya Mistaji di Banyuwangi. Ayahnya meminta anaknya yang diberi nama Suliyono ini kembali ke kampung halaman. Suliyono sudah lama tidak pulang. Ayah dan ibunya ingin anaknya pulang menikah.

Mistaji menerima telepon dari Suliyono pada Sabtu malam (10/2). Saat itu Suliyono hanya menanyakan kabar keluarganya.

“Sempat telepon hanya menanyakan kabar saya dan keluarga. Ya saya bilang sehat semua,” ujar Mistaji.

“Saya suruh pulang ke Banyuwangi. Tapi menolak. Saya malah minta dia segera menikah. Malah dijawab dia ingin menikah dengan bidadari,” ujar Mistaji.

Minggu subuh, Suliyono bangun lebih cepat. Sebilah pedang panjang telah disiapkannya. Ia menyimpannya dalam tas punggung. Ia punya rencana rahasia. Rencana hasrat syahwatnya untuk menunaikan misi jihad.

Misi jihad yang selama ini diyakininya sebagai jalan mendapat surga. Surga yang penuh bidadari. Jalannya adalah menyerang orang kafir yang berbeda agama dengannya. Suliyono pagi itu percaya hanya dengan jalan itu Ia akan mendapat surga. Surga yang akan memberinya kebahagiaan dan kenikmatan tiada taranya di dunia.

“Ayah.. Ayah jangan tinggalkan aku yah.. Ayah harus kuat. Ayah lindungi aku. Ayahhh… Jangan tinggalkan aku Yah.. “, isak lirih sesunggukan anaknya Agus yang ketakutan melihat ayahnya terbaring diam di ranjang rumah sakit.

Agus menoleh anaknya. Ia melihat sekeliling. Para dokter dan perawat berjuang menutup luka menganga di kepala Agus. Agus menutup matanya. Ia mengangguk memberi sinyal agar istrinya segera membawa anaknya dari ruang gawat darurat.

Agus memejamkan matanya. Ia bertahan. Ia sudah berjanji akan membesarkan anak laki-lakinya itu.

Dokter menyuntik bius. Agus diberikan bius. Kepalanya akan dijahit. Agus memberi isyarat siap. Ia tampak tenang. Lamat-lamat Agus mendengar lagu pujian mengalun syahdu.

“Kekuatan serta penghiburan.. Diberikan Tuhan padaku. Tiap hari aku dibimbingnya.. Tiap jam dihibur hatiku. Dan sesuai dengan hikmat Tuhan… Ku dibrikan apa yang perlu.. Suka dan derita bergantian… Memperkuat imanku “.

Dari jauh terdengar suara takbir lirih dari mulut Suliyono yang terus melawan meski kedua kakinya ditembus peluru…

Menyedihkan…

Salam perjuangan penuh cinta
Birgaldo Sinaga

 

 

Sumber: Facebook Birgaldo Sinaga

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed