Oleh: Eko Sulistyo
“…tidak ada visi misi kementerian, tapi yang ada adalah visi kepresidenan. Itu artinya semua menteri harus membuat kebijakan serta mampu menterjemahakan program Nawacita sebagai pembantu presiden”.
Nawacita adalah “kontrak politik” yang mengikat Jokowi-JK dengan publik. Secara ringkas, program Nawacita antara lain; Menghadirkan kembali negara untuk melindungi dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara; Membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, dan demokratis; Memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan; Reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi; Meningkatkan kualitas hidup manusia dengan program Indonesia Pintar, Indonesia Kerja dan Indonesia Sejahtera; Mewujudkan kemandirian ekonomi; Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional; Revolusi karakter; serta Memperteguh kebhinekaan.
Dalam rapat kabinet pertama yang dipimpin Presiden Jokowi dinyatakan bahwa tidak ada visi misi kementerian, tapi yang ada adalah visi kepresidenan. Itu artinya semua menteri harus membuat kebijakan serta mampu menterjemahakan program Nawacita sebagai pembantu presiden. Dengan demikian perhatian dan kinerja seluruh menteri dalam kabinet dapat fokus pada suksesnya implementasi program Nawacita yang menghadirkan negara dalam keseluruhan aspek kehidupan masyarakat.
Namun dalam perjalanannya implementasi Nawacita tidak luput dari beragam tantangan. Selama hampir 10 bulan pertama pemerintahannya, Presiden Jokowi berupaya mengkonsolidasikan politik Nawacita, namun harus terbentur dengan realitas politik dengan mengakomodasi para menteri dari parpol pendukungnya yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Akibatnya, janji “zaken kabinet” yang sempat dinyatakan untuk mendukung visi misi Nawacita harus dikompromikan.
Konsekuensi dari politik akomodatif ini terlihat di awal masa pemerintahannya sering terjadi diskoordinasi dan disinkronisasi dalam kabinet presiden, karena pemahaman yang beragam akan Nawacita. Akibatnya kementerian tampak jalan sendiri-sendiri menjalankan agendanya, melupakan bingkai Nawacita yang menjadi “payung ideologis” yang seharusnya menjadi panduan dalam kebijakan kementerian dalam menjalankan programnya.
Kurang baiknya komunikasi dengan parpol pengusung di awal masa pemerintahannya adakalanya juga gagal untuk mencapai kesepahaman, yang diperparah dengan pemberitaan media dan sosial media. Kesenjangan komunikasi dan koordinasi kadang terjadi diantara para menteri kabinet. Akibat komunikasi yang kurang baik dan gagalnya membangun kesepahaman, membuat presiden harus mengambil keputusan politik yang berbeda namun menurutnya terbaik bagi bangsa, dengan tetap berupaya menjaga keseimbangan dukungan dari parpol pengusungnya.
Kasus pemilihan calon Kapolri baru (Konjen Budi Gunawan) dan ketegangan antara KPK dengan kepolisian, yang memakan energi dan reaksi publik yang cukup panjang, membuat Presiden harus mengambil keputusan “bijak” yang tentu tidak memuaskan semua pihak.
Sementara itu tantangan eksternal yang memberikan tekanan pada presiden di awal masa pemerintahannya adalah perimbangan kekuatan dan kekuasaan di DPR dimana koalisi oposisi dibawah Koalisi Merah Putih (KMP) menjadi mayoritas. KMP beranggotakan 353 anggota atau setara dengan 63 % dari total seluruh anggota DPR. Sementara partai pendukung presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo dan Jusuf Kalla hanya 37%, atau setara dengan 207 kursi di DPR. Akibatnya kebijakan pemerintah sangat rentan dipolitisasi, dibuat deadlock bahkan penolakan dari oposisi. Dalam situasi seperti ini wajar bila presiden melakukan terobosan politik agar kebijakanya dapat dipahami oleh pihak oposisi.
Ekspetasi Publik
Kombinasi kedua tantangan tersebut pada perjalannnya telah menghasilkan pilihan-pilihan politik yang rumit dan terkadang menciptakan kontroversi di tengah publik. Akibatnya berbagai pertanyaan mulai muncul, apakah Nawacita bisa mengalir menuju muara harapan publik seperti ekspetasi yang diharapkan memasuki tahun kedua pemerintahannya berjalan. Jokowi sendiri menyadari bahwa ekspetasi publik akan Nawacita adalah ikatan batin yang harus diperjelas dan dipertegas dalam kebijakan pemerintahannya. Ikatan batin itu bisa memudar bila program Nawacita terlihat mengambang, kurang tampak dalam kinerja kabinetnya. Karena secara politik Nawacita mengikat Presiden Jokowi dalam dua hal.
Pertama, mengikat presiden dengan masyarakat karena merupakan janji yang harus dipenuhi dalam kebijakanya. Masyarakat yang makin cerdas, memilih Jokowi-JK karena harapan untuk hidup yang lebih baik yang tercermin dalam Nawacita. Harapan Jokowi dan harapan rakyat seperti bertemu dalam satu muara. Harapan itu masih tampak menyala. Jokowi harus membuat api harapan itu terus menyala dengan fakta-fakta kongkrit program pembangunan yang dapat dirasakan rakyat.
Kedua, Nawacita mengikat secara ideologis, karena Nawacita adalah intisari dari jalan perubahan sekaligus jalan ideologi Trisakti Presiden Jokowi. Nawacita menjadi satu identitas yang tidak terpisahkan dari sosok Presiden Jokowi. Sehingga Nawacita adalah roh dari lembaga kepresidenan. Tanpa Nawacita maka Jokowi ibarat badan tanpa jiwa. Tuduhan bahwa Nawacita sekedar janji kampanye jelas sebuah pernyataan a-historis. Karena Jokowi adalah Nawacita dan Nawacita adalah Jokowi.
PDIP sendiri sebagai parpol paling berpengaruh di koalisi pemerintah, dimana presiden juga menjadi kadernya, sebenarnya dalam konggresnya di Bali, April 2015 lalu, telah menegaskan agar presiden memajukan jalan ideologis Trisakti dan program Nawacita. Tentu sinyal ini merupakan dukungan politik bagi presiden untuk melakukan akselerasi dan menjalankan konsolidasi politik Nawacita.
Hal berat lainnya yang harus dihadapi Pemerintahan Jokowi-JK di masa awal pemerintahannya berasal dari aparatus biroktasi yang mewarisi ideologi dan cara kerja sistem lama yang membutuhkan reformasi total untuk mengubahnya. Revolusi mental yang menjadi platform politik Jokowi sebenarnya mengarah kesini; membangun sebuah kesadaran baru dalam jajaran birokrasi pemerintahan, sebagai pelayan publik yang melayani rakyat sesuai dengan program Nawacita.
Pondasi Politik Strategis
Melihat problem dan tantangan tersebut maka konsolidasi politik Nawacita Presiden Jokowi harus terjadi pada dua pondasi politik strategis yang menjadi basis kekuatan presiden yaitu; Pertama, konsolidasi para menteri sebagai pembantu presiden bukan lagi dilihat berbasis pada akomodasi politik, tapi pada kompetensi dan kapasitas mereka dalam memahami, merencanakan, dan menjalankan kebijakan dibawah payung politik Nawacita. Fase pembelajaran dan konsolidasi visi misi presiden di kementerian selama ini harus terus dievaluasi, dan kalau diperlukan presiden tidak ragu meresuffle menteri yang dianggap tidak mampu menterjemahkan Nawacita. Perlu ditegaskan, dalam sistem presidensiil, Presiden Jokowi mempunyai legitimasi kuasa 100% atas kabinet yang dibentuknya.
Konsolidasi Politik Nawacita pada jajaran kementerian harus keluar dari sekat-sekat kepentingan partai dan kompromi politik berbagi kekuasaan. Nawacita adalah program pengabdian presiden pada rakyat dan negara. Akan menjadi kerdil bila itu hanya diakomodasi untuk kompromi politik yang pragmatis. Para menteri haruslah 100% menjadi “petugas presiden” yang berdiri dibelakang kebijakan Nawacita Presiden, apapun latar belakang politiknya. Ketika diangkat menjadi menteri, status “petugas partai” harus berakhir, karena menteri dalam sistem presidensil dipilih dan bertanggungjawab pada presiden untuk mengabdi pada kepentingan rakyat dan negara.
Kedua, konsolidasi Nawacita juga harus terjadi dalam bentuk dukungan dan pengawalan kepada presiden dari publik, terutama dari organisasi relawan yang menjadi kekuatan utama pendukung program Nawacita. Selama ini, ada kesan partisipasi relawan untuk mengawal pemerintahan seperti yang diminta presiden belum optimal dikonsolidasikan. Dukungan para relawan harus ditransformasikan sebagai bagian dari konsolidasi politik Nawacita.
Organ-organ relawan harus mentransformasikan diri keluar dari sekat-sekat eksistensi kelompok dan bersatu dalam komite-komite Nawacita. Komite Nawacita menjadi semacam alat bagi partisipasi relawan dan publik, sehingga Nawacita tidak lagi nampak sebagai program “dari atas ke bawah” yang hanya menjadi tanggungjawab presiden dan para pembantunya. Namun Nawacita adalah “proyek politik kolektif” yang bergerak dari atas dan bergerak dari bawah. Kombinasi inisiatif dari atas, dan inisiatif dari bawah, akan menjadi sebuah paradigma baru mengelola partisipasi publik dalam kebijakan negara di Indonesia. Selain itu, komite Nawacita yang inisiatifnya dari publik dapat menjadi kekuatan penyeimbang dari tekanan-tekanan politik yang dihadapi presiden di pusaran politik “arus atas”.
Untuk itu dalam tahun kedua masa pemerintahannya, meski tantangan dan tekanan politik ekternalnya jauh berkurang, Presiden Jokowi dapat memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat “Barisan Nawacita” sebagai pembantunya. Barisan Nawacita di lingkaran pembantu presiden harus dapat menterjemahkan dan mengimplementasikan gagasan dasar Nawacita sebagai pedoman dalam menjalankan kebijakan programnya. Mesin relawan sebagai pengawal Nawacita di tingkat akar rumput juga harus terus digerakkan. Dengan cara ini presiden tidak hanya meneguhkan kembali, tapi memimpin secara langsung visi misi Nawacita yang menjadi harapan masyarakat di tengah tantangan bangsa yang tidak kalah sulitnya ke depan.●
Sumber : http://www.balekambang.org/2016/02/konsolidasi-politik-nawacita.html
Comment