by

Konservatisme Politik Anti Jokowi

Oleh: Eko Sulistyo

Akhir-akhir ini, landscape dan dinamika politik di tanah air, terutama di jagad maya sangat diwarnai oleh berbagai bentuk hujatan, ujaran kebencian (hate speech), kabar bohong (hoax) dan fitnah kepada pemerintah. Dinamika ini makin kencang seiring dengan kontestasi Pilkada DKI Jakarta yang diramaikan oleh tuduhan kasus penistaan agama atas calon petahana Basuki T. Purnama (Ahok) yang mengutip surat Al-Maidah ayat 51.

Dalam perspektif politik, cara-cara seperti itu tidak memiliki subtansi yang mencerdaskan, tapi lebih mengarah pada bentuk konservatisme politik yang cenderung menghambat kemajuan bangsa. Sikap politik demikian tidak akan mendewasakan kehidupan politik, tapi hanya akan melahirkan kemunduran dalam berdemokrasi.

Konservatisme menurut The Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thoughts (2007) adalah pandangan sosial dan politik yang mewujudkan sebuah kehendak untuk mempertahankan hal-hal yang telah ada, baik dalam persoalan masyarakat, ide pemerintahan ataupun praktek politik. Dengan demikian secara umum politik konservatif mendukung sesuatu dianggap telah mapan. Pendukung politik konservatif umumnya puas dengan status quo dalam pemerintahan dan menolak prinsip-prinsip liberalisme dan demokrasi serta ide-ide progresif tentang masyarakat yang selalu berubah.

Marcus Mietzner, pakar politik Indonesia dari Australia, dalam tulisannya ““Stagnasi Demokratik Indonesia: Elit Konservatif vs Masyarakat Sipil” (2014), melihat bahwa faksi konservatif di kalangan elit sedang berusaha keras untuk menghentikan proses reformasi demokrasi. Elemen konservatif berusaha mendapatkan kembali keistimewaan-keistimewaan yang pernah mereka miliki pada masa lalu, ketimbang bergandengan tangan dengan masyarakat mendukung demokrasi.

Para elit ini tidak hanya muncul dalam sosok aparat negara, militer, pengusaha, operator politik dan kekuatan yang pernah berjaya di zaman Orde Baru Soeharto, tapi juga pada sosok petinggi-petinggi partai politik yang lahir pasca runtuhnya pemerintahan otoritarian, birokrat di pemerintahan dan para pemuka organisasi keagamaan arus utama dan militan.

Bagian penting dari pendapat Marcus Mietzner ini adalah kaitan oligarki politik dengan para pemuka organisasi keagamaan arus utama dan militan. Kombinasi keduanya menjelaskan kemunculan gerakan Islam militan yang masif belakangan ini. Namun relasi antara elit politik oligarkis dan gerakan Islam militan yang bergerak di luar sistem politik formal, tidak lagi menjadi alat politik oligarki lama semata, tapi sudah memberikan kepemimpinan politik dalam wacana dan mobilisasi massa dalam parlemen jalanan.

Para oligarki lama yang dulu tampak sebagai “bos” itu kini harus mempertimbangkan para pimpinan Islam politik yang bergerak di luar politik formal sebagai mitra politik strategis. Pada titik inilah kesimpulan Marcus menjadi penting, telah terjadi semacam simbiosis antara oligarki politik dengan organisasi keagamaan arus utama dan militan.

Jejak Konservatisme Politik

Jejak konservatisme politik yang sistematis, teroganisir dan masif antara oligarki politik dengan kelompok ormas keagamaan radikal dan politis mulai tampak bentuknya yang nyata selama pertarungan Pilpres Juli 2014. Namun bentuk awal konservatifisme itu sudah mulai muncul dalam pertarungan Pilkada DKI Jakarta tahun 2012, ketika pasangan Fauzi Bowo-Nara atau “Foke-Nara” melawan pasangan Jokowi-Ahok. Wacana SARA dimunculkan kepada Jokowi dan Ahok yang Cina dan non-muslim. Namun skalanya masih dalam konteks Pilkada di Jakarta, belum nasional.

Dalam Pilkada DKI Jakarta 2012, isu SARA muncul ketika MUI dan berbagai ormas Islam, PKS, PPP dan PBB menyatakan penolakan atas cagub yang tidak seakidah dan seiman. Serangan ini ditujukan pada pasangan Jokowi-Ahok, dimana Ahok adalah penganut nasrani. FPI DKI Jakarta mengeluarkan Maklumat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Al-Ijma’ yang melarang umat Islam untuk menjadikan orang di luar Islam sebagai pemimpin. FPI menyatakan akan mendukung pasangan cagub-cawagub DKI Jakarta periode 2012-2017 yang beraqidah Islam. Meskipun tidak menyebut nama, jelas seruan FPI ditujukan pada Foke.

Pilkada DKI Jakarta 2012 menjadi penanda awal bahwa konservatifisme politik yang menyeret isu SARA telah menjadi wacana pertarungan politik di antara para elit di Indonesia. Akselerasi isu SARA dan bahaya komunis/PKI menjadi semakin brutal dan terbuka dalam pertarungan Pilpres 2014. Menurut Politicawave, situs yang menjaring percakapan di media sosial, pasangan Jokowi-JK lebih banyak menjadi sasaran kampanye hitam dengan persentase 94,9 % dan 5,1 % kampanye negatif. Sementara kampanye hitam bagi pasangan Prabowo-Hatta lebih sedikit yaitu 13,5%, sementara kampanye negatifnya mencapai 86,5% (http://www.bbc.co.uk/2014/07).

Serangan paling utama pada Jokowi bukanlah pada program-program selama menjabat sebagai Walikota Solo dan Gubernur Jakarta. Dalam ruang pertarungan program, Jokowi sulit dikalahkan karena hampir semua program yang ditawarkan sebagain besar pernah dipraktekan dan mendapatkan respon positif dari publik.

Pengalaman Jokowi sebagai pejabat publik membuatnya dapat menjawab tawaran program beserta langkah-langkah implementatifnya di lapangan. Sementara Prabowo meskipun mengeluarkan jargon-jargon populis dianggap kurang punya pengalaman dalam implementasi program dan kebijakan karena belum pernah menjadi pejabat publik.

Karena dalam ruang “programatik” Jokowi lebih unggul, serangan ke arah Jokowi diarahkan ke isu bahaya komunis dan PKI dan sentimen SARA. Operator-operator politik “cyber army” di media sosial dan tabloid Obor Rakyat mulai memasuki arena paling brutal dan berbahaya, yaitu perang kotor dengan menyasar pada penghancuran sosok personal Jokowi dan rentan di provokasi menjadi konflik horizontal. Pondasi wacana perang kotor ini dilakukan dengan memproduksi dan menyebarkan wacana utama meliputi: (1) histeria bahaya komunis atau PKI; (2) sentimen anti-Cina; dan (3) sentimen anti-Islam.

Propaganda Hitam

Motor utama propaganda sistematis ini dilakukan di media sosial, situs-situs Islam radikal dan paling utama adalah melalui tabloid Obor Rakyat yang di duga dicetak jutaan eksemplar. Obor Rakyat merupakan bentuk “propaganda hitam” yang serius, terorganisir dan berbiaya besar dengan menggunakan format jurnalistik berupa tabloid 16 halaman yang distribusikan gratis ke masjid-masjid dan pesantren-pesantren mayoritas di Jawa.

Pada edisi pertama, 5-11 Mei 2014, termuat laporan utama berjudul “Capres Boneka”, dengan gambar Jokowi sedang mencium tangan Megawati di halaman muka. Pada edisi itu juga hadir beragam artikel, dengan judul-judul yang provokatif dan mendorong kebencian terhadap umat Kristen. Sebut saja, judul “184 Caleg Non Muslim PDIP untuk Kursi DPR” dan “Ibu-ibu, Belum Jadi Presiden Udah Bohongin Rakyat.” Edisi kedua terbit di awal Juni 2014 dengan halaman depan menampilkan laporan utama berjudul: “1001 Topeng Jokowi”.

Di dalamnya juga bertebaran rangkaian artikel yang memojokkan Jokowi, PDIP, umat Kristen dan kaum Tionghoa, dengan judul-judul antara lain: “PDIP Partai Salib”, “Jejak Hitam di Era Mega” dan “Pria Berdarah Tionghoa Itu Kini Capres”. Pada edisi ketiga yang terbit 16 Juni 2014 mengambil tema yang tidak kalah ngeri, “Periksa! DNA Jokowi, Iriana, dan Si Sulung”. Obor Rakyat jelas berusaha mengarahkan pembaca kalangan pesantren dan masjid untuk menolak Jokowi, bukan karena kualitasnya tapi karena tuduhan bahwa Jokowi adalah bagian dari konspirasi “Kristen-Cina” untuk menghancurkan Islam.

Selama Pilpres upaya adu domba dengan mengatasnamakan agama antara Jokowi dengan umat Islam juga marak. Isu ini berawal dari fitnah bahwa Jokowi adalah orang Kristen dan didukung oleh orang Kristen untuk melakukan kristenisasi. Fitnah ini beredar melalui media sosial dan media online kaum “kanan radikal.” Namun isu kristenisasi ini gagal total memprovokasi konflik horisontal karena keterlibatan ormas Islam moderat yang mendukung Jokowi dan tokoh-tokoh Islam untuk menentang kampanye kotor tersebut.

Bahkan perdebatan ide “Revolusi Mental” Jokowi yang bermula dari artikel Jokowi di sebuah koran nasional, tidak dilawan dengan konsep tandingan atau kritik yang konseptual, namun dimasukan dalam propaganda hitam “bahaya komunis”. Isu ini cepat digoreng di berbagai media sosial dan situs “anti Jokowi” dengan mengatakan istilah “Revolusi Mental” pertama kali dipopulerkan oleh Bapak Sosialis-Komunis Dunia, Karl Marx. Istilah “Revolusi Mental” juga dihubungkan dengan Partai Komunis Cina (PKC) dan pimpinan PKI, DN Aidit.

Kini, dengan makin kuatnya posisi politik Presiden Jokowi baik di pemerintahan, partai politik dan DPR membuat oposisi menjadi tidak menggigit dan lemah. Karena itu “memaksakan” konsesi politik melalui “politik formal” di parlemen dan pemerintahan yang makin kuat, sulit dilakukan. Soliditas pemerintahan Jokowi secara politik serta kepuasan publik yang makin meningkat, membuat lawan-lawan politik Jokowi kembali menciptakan amunisi serangan baru melalui isu tradisionil dan kampanye hitam ala Obor Rakyat yang menemukan momentum ketika Ahok dijadikan tersangka dalam kasus penistaan agama. ***

—————-
Penulis adalah Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden.

Sumber: Media Indonesia, 10/1/2017.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed