by

Komplotan Penjual Murah Pasal-pasal Raperda Itu Bernama DPRD DKI Jakarta

Oleh : M Jaya Nasti

Apa yang tersisa setelah perang antara DPRD DKI Jakarta dengan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang akrab dipanggil Ahok dalam perkara suap bos PT Agung Podomoro Land (PT. APL)? Yang jelas komandan perang dari DPRD Jakarta yang bernama Muhammad Sanusi tersungkur dan babak belur. Ia sekarang mendekam di dalam tahanan KPK. Ia disoraki oleh Ruhut Sitompul sebagai “maling teriak maling”.

Sanusi adalah Ketua Komisi D DPRD Jakarta. Rupanya ia dipercaya menjadi komandan komplotan dari DPRD Jakarta dalam urusan memuluskan Raperda yang disesuaikan dengan pesan perusahaan konglomerat serakah. Ia sehari-hari hidup mewah dan perlente, memakai jam tangan yang harganya di atas Rp 1 M. Kemana pergi ia mengendarai mobil mahal mercy, alpard, jaguar. Tapi dalam semalam nasibnya berubah. Ia terpaksa tidur beralaskan triplek dan merasakan dinginnya lantai tahahan KPK.

Yang tersisa lainnya adalah buruk rupa dan babak belurnya wajah DPRD DKI Jakarta. Dari kasus itu, ketahuan para anggota DPRD Jakarta tidak lain adalah komplotan bajingan yang hendak menjual murah Raperda kepada konglomerat serakah. Mereka berkonspirasi demi mendapatkan uang suap dari konglomerat untuk memperkaya diri sendiri.

Dari berita-berita yang disimak di media masa, dapat disimpulkan, Sanusi bukanlah pemain tunggal. Perkara yang melibatkannya adalah korupsi berjamaah yang melibatkan semua atau hampir semua anggota DPRD Jakarta. Pimpinan DPRD dan juga seluruh pimpinan fraksi setuju untuk memperjuangkan diturunkannya kewajiban perusahaan properti, sesuai pesanan bos kongklomerat. Tentu hanya Tuhan yang tahu siapa di antara anggota DPRD itu yang masih bersih, yang imannya masih kuat.

Korupsi berjamaah itu dapat diketahui dari gagalnya rapat paripurna DPRD DKI untuk membahas Raperda sampai empat kali. Anggota DPRD yang hadir selalu kurang dari 50%, sehingga korum tidak. Dapat diyakini gagalnya rapat paripurna itu sudah diatur dan dikomando. Tujuannya agar pihak eksekutif capek dan mengalah, lalu mengikuti kemauan mereka. Pada hal Gubernur sendiri selalu hadir beberapa jam sebelumnya, sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Bisa juga untuk menekan para konglomerat agar secepatnya menyiapkan uang sesuai permintaan para wakil rakyat Jakarta.

Rakyat Jakarta tidak tahu, rancangan Perda apa lagi yang sebelumnya sudah mereka jual murah dan sekarang sudah berlaku efektif menjadi Perda. Bahkan rakyat Jakarta sebagian besar tidak tahu, proyek-proyek apa lagi yang telah mereka jual kepada para pengusaha dan kontraktor dengan imbalan komisi yang tidak sedikit. Yang mereka tahu adalah infrastruktur ekonomi yang dibangun dengan kualitas rendah, sehingga cepat rusak.

Menurut saya, perkaranya sebenarnya sederhana. PT. Agung Podomoro Land (PT. APL) dan PT. Agung Sedayu (PT. AS), dua raksasa perusahaan konglomorat properti urunan untuk menyuap DPRD DKI Jakarta. Mereka meminta DPRD Jakarta memperjuangkan sampai berhasil agar dalam Raperda, kewajiban konglomerat properti itu diturunkan dari 15% menjadi hanya 5% dalam urusan reklamasi pesisir pantai Jakarta. Mungkin karena uang yang mereka iming-imingkan cukup besar dan sangat menggiurkan, maka permintaan mereka disanggupi. DPRD Jakarta menyetujuinya. Tentang berapa jumlahnya tentu hanya mereka dan Tuhan yang mengetahui.

Dari pihak konglomerat, yang disuruh maju ke depan dalam perundingan dengan oknum anggota DPRD adalah bos PT. APL, Ariesman Wijaya. Sedangkan dari pihak DPRD yang maju dalam persepakatan jahat itu adalah Sanusi, Ketua Komisi D.

Tetapi komplotan dari DPRD itu langsung berhadapan dengan batu karang yang bernama Ahok. Selaku Gubernur, Ahok tidak mau sedikitpun menurunkan kewajiban yang harus dibayar para konglomerat properti. Ia bertahan dengan Raperda yang mematok angka 15%. Ia memerlukan dana sebesar 15% itu untuk membangun rusunawa bagi para karyawan yang bekerja di kawasan properti itu.

Ahok tidak ambil pusing meskipun Raperda itu gagal disepakati. Karena mentok menggolkan Raperda itu menjadi Perda, Sanusi sepertinya berhasil mengibuli para konglomerat, seakan kesepakatan sudah hampir tercapai, dan meminta uang jasa komandan yang menjadi bagian dirinya sebesar Rp 2 Milyar, dan dikabulkan.

Pada waktu itulah, KPK yang memiliki alat perekam canggih, mengikuti gerak gerik mereka, dan Sanusi bersama dua staf PT. APL dicokok setelah terima uang. Sedangkan Ariesman Wijaya, bos PT. APL menyerahkan diri sehari kemudian, sambil mengaku bahwa ia telah menyuapkan Sanusi Rp 2 Milyar. Sementara itu bos PT. Agung Sedayu, Aguan Sugianto yang bermain di belakang layar, dicekal bepergian ke luar negeri oleh KPK.

Demikianlah drama satu babak, komplotan oknum anggota DPRD Jakarta yang setuju hendak menjual murah kebijakan publik berupa Perda, untuk kepentingan pengusaha konglomerat serakah, demi memperkaya diri sendiri. Seharusnya mereka semua malu dan meminta maaf kepada rakyat Jakarta.

Seharusnya mereka ramai-ramai menyatakan mundur sebagai anggota DPRD Jakarta. Seharusnya pula mereka tidak melakukan pembelaan diri, karena kemungkaran dan kejahatan yang mereka lakukan itu sudah terlihat nyata, sudah terang benderang. ** (ak)

Sumber tulisan : kompasiana.com

Sumber foto : kriminalitas.com

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed