by

Komisi Negara dan Komisi Duit

Kesimpulan KPAI menunjukkan perdebatan yang selama ini dibangun tak berdasarkan sebuah konsep yang matang. Belum sampai pada solusi, sudah ribut dulu di depan. Giliran ketika aturan coba ditegakkan, ketahuan dirinya sendiri penuh lumpur belepotan. 

Menuding audisi anak pada PB Djarum sebagai eksploitasi anak (sebagai alat promosi rokok), adalah kesimpulan gegabah, mengada-ada. Jika alasannya angka pertumbuhan perokok pemula, atau perokok anak-anak, pertumbuhan perokok anak atau remaja kebanyakan justeru pada lingkungan masyarakat miskin, baik di perkotaan maupun di desa. Dan mereka kebanyakan juga bukan penonton televisi atau media.

Tontonan seperti bulutangkis ataupun sepakbola yang acap disponsori rokok Djarum, tidak pernah mengiklankan rokok. Karena memang iklan rokok sudah lama dilarang muncul di televisi. Sementara para peserta audisi PB Djarum, karena mereka para olahragawan dan calon olahragawan, mereka bukan konsumen rokok atau pun potential buyers. Liem Swie King misalnya, dari sejak kecil hingga tua juga tidak menjadi perokok meski di area Djarum. 

Jika tiba-tiba kesimpulannya ‘ubah nama Djarum’, tentu saja KPAI hanya menunjukkan kebodohannya, jika tak mau disebut kesewenang-wenangan. Apalagi persoalannya, di mana negara hadir? Sementara dibandingkan sepakbola, bulu tangkis mempunyai posisi istimewa. Indonesia selalu berada di jajaran puncak dunia. 

KPAI adalah komisi negara, diselenggarakan atas biaya negara. Duit dari mana negara? Jika bukan dari hasil ekspor sda dan produk kita, tentu saja dari pajak rakyat. Pajak dalam bentuk apapun, sampai pajak penghasilan pribadi kita sebagai rakyat. 

Kalau ingin lepas dari berbagai brand image, pakailah brand negara, merah-putih. Negara yang menopang, karena negaralah yang menghimpun duit rakyat untuk menjaga dan mengatur hajat hidup bangsa dan negara ini. Kalau swasta, tentu saja hukum dan mekanisme pasar yang akan terjadi. Kalau pun KPAI minta nama kata ‘Djarum’ diganti, jadi ‘kontolbemo’ misalnya, tetap saja tidak akan mengubah apa-apa.

Lha kalau semua nama-nama di belakang layar juga minta diganti, sebagai lembaga swasta, ngapain mereka menjalankan acara itu? Apa yang diomongkan Kak Seto menjadi tidak relevan, karena ini bukan soal ngambeg tidak ngambeg. Tapi soal insiatif warga yang mau diakuisisi negara secara sewenang-wenang, meski dalihnya adalah aturan. Kalau negara tidak hadir, maka kehadiran swasta adalah mekanisme yang lumrah. Dan hukum pasar yang terjadi.

Dulu sebelum negara banyak mendirikan sekolah, sekolah swasta merupakan dagangan yang laku. Apalagi gratis dan murah. Tapi karena kebanyakan sekolah katholik dan kristen, banyak ormas agama marah-marah. Nuding misi zendinglah, nganulah. 

Lha mereka kok tidak dulu-dulu mbangun sekolah? Nggak punya duit. Belum dapat sumbangan. Telat hadir. Terus nuding kristenisasi, katholikisasi. Giliran sekarang duit dari Timur Tengah mengalir, untuk membangun yang pake IT-IT itu, siapa berani ngomongin islamisasi di negeri Nusantara yang bhineka ini? Bisa dituding melakukan kriminalisasi ulama. Terus ulamanya minggat, terus Jokowi suruh mulangin. 

Mari proporsional melihat masalah. Di belakang kasus ‘audisi anak’ PB Djarum itu, ada disebut-sebut Bloomberg di belakang KPAI dan Lentera Anak. Nama Bloomberg sendiri, sebagai pihak swasta (dari luar Indonesia), punya posisi sama dengan Djarum (ingat kalau PB Djarum sebenarnya nama club). 

Sebagai sesama swasta, apa kepentingan Bloomberg? Benarkah ia menjadi donatur KPAI dan Lentera Anak untuk mengganyang perusahaan rokok Djarum? Mengingat perusahaan ini satu-satunya raksasa ekonomi Indonesia, yang belum bisa dicaplok asing? HM Sampoerna sudah lama takluk, dan kini dikuasai Phillip Moris dari Amerika Serikat.

Di mana-mana, benar kata pepatah nenek-moyang, di tengah pertarungan gajah, pelanduk mati di tengah. KPAI justeru yang mengeksploitasi anak, dengan bertameng aturan negara, tetapi tak punya solusinya. Ia telah menutup kesempatan anak-anak miskin, yang ingin menggapai mimpinya menjadi pebulutangkis dunia. Sementara tudingan soal ‘iklan rokok’ dan dampaknya, sangatlah sumir, apalagi bagi peserta audisi PB Djarum itu. 

Lebih celaka lagi, dalam kasus itu, kalau negara tidak hadir. Makanya Kemenpora cuma bisa ngomong ‘lanjutin dong!’, tanpa memberi argumentasi. Di sisi lain, sudah nggak hadir, negara malah direcoki komisi negara yang sukanya minta-minta komisi. Apalagi kalau orientasi politik komisionernya bisa ketawa-ketawa berfoto bersama Anies Baswedan dan Tommy Soeharto. Cingcayla!

 

(Sumber: Facebook Sunardian W)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed