by

Kok Harus Satu Faskes Primer Katanya Portabilitas

Oleh : Tonang Dwi Ardyanto

Dari seorang pasien: Cuma mau berusul. Kenapa pasien pemegang BPJS Mandiri ataupun yg PBI berobat ke Faskes 1 nya utk dibebaskan saja ? biar tak sulit dan ribet dan karyawan bpjs pun juga tdk disibukan utk megurusi perpindahan faskes 1. toh masyarakat pasien bpjs sdh pd bijak memilih, kebanyakan memilih faskes 1 yg dekat dan lebih dekat dgn keberadaan tmpt tinggal nya. salam BPJS

1.Penetapan Faskes 1 untuk pertama kalinya dipilihkan oleh BPJSK untuk mengupayakan pemerataan akses ke PPK 1. Dalam hal ini, sesuai Permenkes 19/2015, BPJSK harus mendapat rekomendasi dari Dinkes setempat, dan berkoordinasi dengan Asosiasi Faskes. Memang sempat ada juga rekomendasi KPK bahwa untuk PBI dipilihkan ke Puskesmas. Tetapi kemudian sudah ada perubahan regulasi di Kemenkes menjawab rekomendasi KPK tersebut melalui Permenkes 24/2015 dan 46/2015. Karena itu prinsip berusaha dicarikan Faskes primer yang relatif dekat dengan peserta.

Kok kadang dapatnya jauh? Mari kita cek dulu, apakah tempat tinggal sesuai dengan KTP? Apakah sudah mendaftarkan dengan alamat domilisi (berbasis Surat Keterangan Domilisi)? Mungkin juga karena faskes yang dekat itu sudah banyak jumlah pesertanya. Dikhawatirkan nanti tidak optimal karena banyaknya.

BPJSK berkoordinasi dengan Dinkes dalam pemilihan Faskes primer untuk pertama kali. Setelah 3 bulan, peserta dapat memilih untuk berpindah ke Faskes primer yang dikehendaki. Bahkan dalam regulasi terbaru (Permenkes 99/2015), BPJSK harus mendapat rekomendasi dari Dinkes dan berkoordinasi dengan Asosiasi Faskes.

2. Setelah tiga bulan, pesert dapat mengajukan pindah ke Faskes lain. Begitu juga, atas alasan kelancaran pelayanan, BPJSK dapat memindahkan peserta ke faskes lain bila misalnya terlalu menumpuk di suatu tempat. Hal ini diatur dalam Perpres 19/2016. Tentu saja untuk melakukannya, BPJSK harus mendapat rekomendasi dari Dinkes, serta berkoordinasi dengan Asosiasi Faskes dan Organisasi Profesi.

3. Mengapa tidak boleh berobat ke sembarang Faskes primer?

Karena:

a. Pembayaran di Faskes primer adalah kapitasi, berdasarkan jumlah peserta yang dicakupnya. Menjadi tidak bisa dihitung bila peserta bebas berobat kemanapun.

b. Ada yang lebih esensial bahwa tugas PPK 1 sebenarnya tidak hanya soal mengobati. Tetapi juga mendorong preventif dan promotif (pencegahan dan peningkatan kesehatan). Karena itula ada peserta yang jelas, yang menjadi “sasaran binaannya”. Tidak mudah menjalankan tugas preventif dan promotif ini, masih perlu belajar dan berproses bersama untuk mewujudkannya.

 c. Untuk kondisi-kondisi tertentu seperti kegawatan dan layanan seperti persalinan, maka peserta dapat mendapatkan layanan di Faskes primer manapun tidak terikat dengan tempatnya terdaftar.

 Pertanyaan lain yang juga sering muncul: Kartu BPJSK tidak laku di lain tempat tinggal.

Salah satu prinsip JKN adalah Portabilitas. Menurut UU SJSN 40/2004 itu artinya prinsip memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tapi kok katanya tidak berlaku di luar daerah?

Pertama, harus kita pahami prinsip pelayanan dalam sistem rujukan berjenjang. Dalam sistem ini, setiap peserta terdaftar pada satu Faskes primer. Artinya pula, setiap hendak berobat diawali dari Faskes primer tempatnya terdaftar. Baru bila diperlukan akan dirujuk ke Faskes lanjutan. Dari sini sering muncul pertanyaan:

1. Kalau sedang di luar kota bagaimana? Sesuai Permenkes 71/2013 dan Permenkes 28/2014, ada beberapa langkah menyesuaikan kondisi:

a. Prinsip dasar: dalam kondisi gawat darurat, tidak diperlukan surat rujukan. Kartu BPJSK berlaku di semua tempat dan di semua Fasilitas kesehatan. Bila ternyata Faskes yang dituju belum bekerja sama, mereka tetap berkewajiban memberikan pertolongan darurat, untuk kemudian dirujuk ke Faskes yang bekerja sama dengan BPJSK. Salah satu buktinya adalah musim Libur Lebaran 2015 kemarin, para peserta tetap dapat dilayani di Faskes primer tempat mereka mudik.

b. Sedang bepergian yang tidak bersifat rutin, maka laporkan ke BPJSK tempat tinggal kemudian sesampai tujuan laporkan ke BPJSK setempat agar diketahui posisinya dan diverifikasi kepesertaannya.

c. Bila memang kepergian bersifat rutin, misalnya pekerja lain kota, laporkan juga ke Kantor BPJSK agar mendapatkan solusi: apakah didaftarkan ke tempat kerja karena lebih sering berada di tempat kerja, ataukah di tempat tinggal.

d. Bila sementara waktu tinggal (domisili) di luar tempat tinggal: laporkan ke BPJSK agar dipindahkan sementara waktu ke tempat domilisi. Data pendukungnya adalah Surat Keterangan Pemangku Wilayah tentang domisili tersebut.

 e. Bila pindah tempat tinggal, PP 86/2013 mengatur bahwa peristiwa demografi yang berimplikasi pada JKN (kelahiran, kematian, pernikahan, perceraian, pindah tempat tinggal, domisili, dsb) harus dilaporkan dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari. Kemudian BPJSK akan melakukan penyesuaian.

2. Mengapa ketika dirujuk harus ke RS tertentu?

Sebenarnya, prinsip portabilitas dalam hal rujukan menyatakan, pasien berhak ke PPK 2 (RS pada level 2, sesuai jenis pelayanannya) manapun. Tidak ada pembatasan. Prinsipnya sesuai jenjang rujukan. Namun, Kemkes juga memiliki tugas untuk menjamin akses pelayanan. Karena itulah dilakukan mapping (pemetaan). BPSJK menyebutnya sebagai “penguatan pelayanan kesehatan di daerah”. Dalam proses ini dipetakan alur rujukan dengan tujuan tidak terjadi penumpukan di satu RS saja, tetapi bisa merata. Mapping juga memetakan keberadaan sumber daya agar utilitasnya menjadi efektif.

Memang mapping adalah pekerjaan tidak mudah. Di dalamnya sangat berperan Kemkes dan Dinkes (di daerah) beserta Organisasi Profesi (sesuai pasal 20 Permenkes 1/2012). Yang kita harapkan adalah kebijaksanaan agar tujuan mapping tercapai tetapi tidak menjadi kaku sehingga justru membatasi akses bagi peserta.

Kenyataan lain juga bahwa klasifikasi RS itu sendiri harus kita kaji secara jernih. Dasar sistem rujukan berjenjang mendasarkan pada kapasitas layanan RS. Kapasitas itu seharusnya tergambar dari klasifikasinya. Permenkes 340/2010 yang menjadi dasar penetapan klasifikasi RS sekarang, sudah direvisi dengan Permenkes 56/2014. Sudah banyak perubahan dan standar minimal sebagaimana Permenkes sebelumnya. Bukan tidak mungkin, bila ditelaah dengan regulasi terbaru, tidak sedikit RS yang tidak lagi dapat memenuhi sesuai klasifikasinya. Perlu kejernihan bersama untuk lebih mendorong pada kapasitas yang ada, tidak secara kaku berpegang pada klasifikasi yang disematkan ke suatu RS. Fokusnya lebih pada kompetensi dan kewenangannya, tidak semata-mata pada tipe RS nya.

Itu artinya, bisa saja ada beda sistem antara satu daerah dengan daerah lain walau secara label, sama-sama memiliki RS tipe C dan B bahkan A. Menyadari kondisi ini, lebih memudahkan kita memahami tanpa harus tergesa-gesa menghakimi. Selanjutnya tugas Pemerintah dan Pemda untuk menata ulang. #SalamKawalJKN** (ak)

Sumber tulisan : kompasiana.com

 

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed