by

Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Versi Din Syamsudin

Mereka menjadi tua sekaligus menjadi “halu” karena rasa tak pernah puas? Tak kenal kata berhenti untuk kekuasaan, tak kenal apa itu tongkat estafet?

“Halu” sudah menetap, tak ada lagi ruang bagi kebenaran versi yang lain. Orang-orang tua seperti ini, biasanya menjadi “koppig” (Belanda sulit diajak diskusi, maunya menang sendiri).

KAMI dan KAPPI adalah tentang ingatan masa lampau dimana PKI harus dibubarkan. KAMI, mereka hidupkan kembali, demi halusinasi. Dengan menggunakan istilah KAMI, harapan demo luar biasa besar seperti pada tahun 1966 akan kembali terulang.

“Beneran “halu” bukan?”

Dulu, Tritura adalah tentang tiga tuntutan rakyat yang di gaungkan oleh KAMI dan KAPPI atas rasa tak puas terhadap pemerintahan Soekarno.

Mereka menuntut,
1.Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya
2.Perombakan kabinet Dwikora
3.Turunkan harga pangan

Hari ini tiga tuntutan mereka adalah

1. “Menyelematkan Indonesia adalah menyelamatkan jutaan keluarga yang menderita karena kepala keluarga terpaksa berhenti bekerja dan harus berada di rumah, sementara kebutuhan bersama keluarga sangat tergantung kepada penghasilan hari itu,”

2. Menyelematkan Indonesia, adalah menyelamatkan jutaan anak-anak bangsa generasi masa depan yang tidak dapat belajar secara normal.

3. “Menyelamatkan Indonesia adalah menyelamatkan negara besar ini dari oligarki, kleptokarasi, politik dinasti yang bahkan dengan segala keangkuhan melabrak UU yang sudah ada dan melanggar konstitusi UUD 1945,”.

“Ho’oh…,ga salah, halu..!!”

Angka pengangguran bertambah pada situasi dunia kacau seperti saat ini bukan tentang bodohnya pemerintah Indonesia.

Jumlah pengangguran di negeri super duper, penguasa dunia itu telah meningkat menjadi 14,7%, sementara sampai dengan awal Juli ini Indonesia juga mengalami peningkatan menjadi 8,5% dan dikhawatirkan akan menjadi 10%.

Paling tidak, Amerika kalah pintar to dalam menangani masalah pengangguran akibat Covid-19 ini? Masa panjenengan semua bukan malah apresiasi?

Masalah sekolah online, namanya juga ga ada satupun negara pernah mengalami bencana seperti ini, adakah negara yang lebih sempurna dan tak bercacat? Selalu tentang trial dan error yang sedang sama-sama kita uji cobakan demi sesuatu yang lebih baik.

Tentang praktik oligarki, kleptokrasi dan politik dinasti, beliau-beliau ini sudah jauh lebih paham, lha wong jaman orde baru saja mereka rata-rata adalah orang yang makmur to? Gak percaya, googling saja! Gitu aja kok repot!!

Kalau masalah Gibran yang lagi nyalon wali kota contohnya, emang mbak Tutut diangkat jadi mentri dalam kabinet bapaknya, beneran ga ada yang ingat?

Sekali lagi, para pini sepuh ini suka pura-pura lupa. “Jangan sering-sering begitu pak, bu…, jenengan sudah pada tua semua loh!”

“Pelupa itu bawaan hidup, gak usah ditunggu pasti juga datang. Mumpung sekarang belum pada pikun, harusnya jangan malah main yang gituan, main pura-pura lupa! Jadi pelupa beneran aja!”

Yang jelas, mencoba mengembalikan Indonesia saat ini dengan menggambarkan narasi sebutan KAMI agar kita semua menengok pada peristiwa 1966, jelas jauh panggang dari api. Usaha sia-sia tentang makna PKI yang juga telah dilarang oleh pemerintahan saat ini. “Jayus” banget, anak sekarang bilang.

Penggambaran kapal besar Indonesia telah goyang dan hampir karam, maka perlu anak-anak bangsa bangkit bersama untuk penyelamatan, seperti yang diutarakan pada pertemuan itu, jelas salah makna.

Yang namanya kapal diatas air, dijamin pasti goyang to pak? Kecuali lagi diatas dock. Namun berarti malah rusak namanya. Tidak bergerak atau statis.

Indonesia jauh dari kata statis, paling tidak, diantara 185 negara yang terdampak bencana, menurut World Bank, Indonesia bersama China dan India adalah tiga negara yang dianggap paling cepat recovery. Yakin jenengan semua lebih pintar dibanding orang-orang di lembaga besar itu?

Yang jelas, kapal besar bernama Indonesia yang dinahkodai Bapak, Ir. Joko Widodo, memang harus goyang-goyang. Kalau goyang doang, berarti kapal itu nyangkut dan tidak lagi bisa bergerak.

Goyang-goyang, bergerak ke kanan, kadang kekiri, dan kemudian melaju, menembus topan dan badai, ya memang kapal dimanapun seperti itu to??

Inilah “halu” dalam artian menyedihkan. Para pini sepuh yang seharusnya bicara hal baik, justru terjebak dalam jebakan yang dibuatnya sendiri.

Bagi saya, jauh lebih enak mendengar debat Grace Natalie, Najwa Shihab, Yenny Wahid, Alamanda Shantika, Veronica Tan, Fadly Amran, Adnan Purichta Ichsan, Dimas Okky Nugroho, Emil Elistianto Dardak, Sabrang Mowo Damar Panuluh, Chitra Subyakto, Tsamara, Nicholas Saputra, Nia Dinata, Agnes Monika, Chelsea, Melati Wijsen, hingga Isabel Wijsen.

Ketika mereka berkumpul dan ngobrol tentang kebangsaan dan masa depan, mereka tidak terpancing nostalgia masa lalu, apalagi pamer tentang kehebatan masa lalunya.

Tidak, mereka tidak senang dengan ungkitan masa lalu. Kehebatan mereka terletak dan ada pada masa depan. Mereka akan bicara tentang masa depan negeri ini.

Tak salah bila Najwa Shihab pernah berkata, yang jelas anak-anak muda tersebut sepertinya adalah mereka yang percaya pada kekuatan dirinya, tidak gampang terhasut oleh berita dusta, punya kegigihan untuk mau mencoba, bukan tipe yang takut gagal, dan sangat-sangat peduli dengan lingkungan.

Itulah kenapa saya lebih senang dan berharap banyak dari yang kinyis-kinyis itu dibanding para pini sepuh. Anda?
.
.
.
RAHAYU
Sumber : Status Facebook Karto Bugel

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed