by

Kisah Tragis Islam Politik Prabowo

Prabowo tidak memahami hal-hal intrinsik di luar panduan umum ini. Ia hanya tahu Islam secara tekstual. Islam yang ia lihat di televisi dan dia baca di koran-koran tempo dulu. Maka ketika melakukan ritual keagamaan, ia terlihat kaku dan tidak menjiwainya.

Gerakan fisiknya tidak tembus ke hati. Ketika ia salat, yang dilakukannya hanya olah raga, tanpa olah jiwa. Padahal hakikatnya, salat itu meditasinya umat islam.

Figur muslim pilihan ijtima’ ulama yang hendak dijual Prabowo gagal total. Padahal seorang ustad gadungan seperti Sugi Nur Raharja saja bisa berpura-pura jadi ulama, tanpa pengetahuan agama. Dus Nur (panggilan akrab Sugi) menjiwai sandiwara keagamaannya dengan baik. Ia fasih mengucapkan penggalan istilah Arab. Sesekali mengutip ayat, meski kadang salah tempat.

Prabowo mestinya belajar banyak dari Dus Nur mengenai cara berpura-pura Islam di depan publik. Agar jualan figur muslimnya itu tepat sasaran.

Ngopi ketika azan bukan cara yang baik untuk menghormatinya. Itu sama saja menganggap azan sesuatu yang harus dihindari. Panggilan salat yang dianggap suci oleh banyak orang itu sekadar jadi pengganggu acara kampanyenya.

BPN memang telah menjelaskan, Prabowo salat setelah kampanye digelar. Tapi jawaban itu tidak menggugurkan fakta, Prabowo mengabailkan panggilan salat. Ia lebih mementingkan ngopi daripada penghormatan terhadap azan. Itu berarti Prabowo tidak memahami substansi azan. Yang barangkali dianggapnya hanya teriakan orang kurang kerjaan di siang hari.

Untuk ukuran orang pada umumnya, soal etiket azan ini tidak perlu dibesar-besarkan. Orang mau ngorok ketika azan ya urusan dia. Mau jungkir balik, terserah dia. Mau karaokean itu pilihan dia. Namun menyangkut figur penting yang akan memimpin Indonesia, ini aib yang sangat besar. Prabowo menampakkan diri sebagai seorang pemimpin hasil ijtima’ ulama yang tak beretika.

Etika adalah hal mendasar. Ia membentuk karakter seseorang. Barbarisme keislaman yang ditunjukkan Prabowo adalah negasi jelas tentang kualitas keislaman politiknya. Dan itu adalah tamparan yang sangat keras bagi seluruh umat Islam Indonesia. Begitu gampangnya umat islam dibodohi oleh islam politiknya Prabowo.

Umat islam sudah persis seperti buih di lautan. Banyak, bergerombol, tak punya ketetapan. Bahkan untuk melihat hal mendasar seperti ini saja tak mampu.

Islam dicabik-cabik oleh penganutnya sendiri. Dirobohkan dan dibodohkan. Prabowo sebenarnya tidak bersalah. Ia hanya jualan figur, post truth yang dikemas rapi. Pemujanya, terutama kalangan ekstrem kanan, membeli jualan itu. Mereka sangat yakin bahwa kamuflase Prabowo itu asli. Padahal jika mereka mau merenung sebentar saja, tentu mata hati mereka akan melihat gelagat buruk itu.

Tuhan menciptakan segumpal daging dalam tubuh manusia. Selain sebagai alat kontrol, segumpal daging itu juga detektor kepalsuan yang andal. Ketika manusia mau mengosongkan pikiran, merenung, bercakap-cakap dengan segumpal daging dalam tubuhnya, ia akan mendapatkan bisikan yang murni. Segumpal daging itu adalah hati.

Orang-orang Islam Indonesia banyak yang sudah kehilangan kepekaan hatinya. Mereka takjub dengan gambaran luar yang gagah, maco, bombastis. Padahal mereka terjebak kepalsuan. Prabowo adalah gambaran paling nyata dari tragedi tersebut. Ia sibuk menjual islam politiknya, padahal baca sholawat untuk Nabi saja tak bisa. Dan ironisnya, etiket menghormati azan yang sangat mudah saja tidak tahu.

Ngopi saat azan itu adalah kisah tragis keislaman politiknya Prabowo. Anehnya, kok ya banyak yang percaya drama keislamannya. Indonesia, Indonesia…

Sumber : Status Facebook Abu Maryam

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed