by

Ki Hajar Dewantoro, Sedihkah Engkau Menyaksikan Pelajar Seperti Dalam Sinetron Ini?

Oleh :  Susy Haryawan

Tokoh pendidikan nasional itu sangat banyak, salah satu yang menjadi tokoh sentral dunia pendidikan Indonesia ialah Ki Hajar Dewantara. Perjuangan panjangnya untuk bisa memberikan pendidikan bagi para anak negeri tentu saja tidak kurang. Menyaksikan apa yang terjadi kali ini tentu saja beliau akan bahagia dan tersenyum lebar dan manggut-manggut dalam kepuasan lahir batin. Apakah hal berikut juga akan menjadikannya tetap puas atau malah menangis penuh kesedihan?

Pelajar itu membentuk genk. Berkelompok dan ke mana-mana dengan motor yang sama. Bila bertemu dengan kelompok lain berbeda warna atau berbeda merk, akhirnya tawur, berkelahi, dan saling serang. Aroma pendidikan dan orang terdidik sama sekali tidak lagi tampak. Seragam masih dipakai namun kekerasan dan pukul-pukulan menjadi pilihan. Tidak heran banyak sekali anak sekolah membawa parang, gir berantai, dan ikat pinggang dengan kepala besi. Mana coba ciri anak berpendidikan?

Pelajar itu saling meledek dan merendahkan satu sama lain. Warna kulit, biasanya hitam yang akan dijadikan bahan candaan. Muka jelek yang menjadi olok-olokan. Kemiskinan salah satu tokoh/siswa menjadi sumber tertawaan dan diulang-ulang. Tidak heran, kehidupan nyata hal-hal itu menjadi kebiasaan yang selalu terjadi. dulu, anak Belanda akan meledek anak pribumi, lha ini sama-sama anak Indonesia saling meledek. Ledekan yang bisa menjadi ledakan batin bagi yang tidak kuat mental.

Pelajar itu hanya hura-hura tanpa pernah belajar. Pacaran, rebutan pacar atau incaran, makan dna minum di kafe, jalan-jalan jauh lebih banyak meskipun pakaian tetap saja seragam. Kelas hanya sekejab dan itu pun sangat memalukan. Jangan heran anak sekolah sekarang jauh lebih sulit diajak untuk belajar tekun dan membaca buku.

 Guru itu tidak berwibawa malah dibuat bahan candaan siswanya. Siswa dekat dan akrab dengan guru itu wajib dan bagus. Dekat bukan berarti bahwa bisa seenaknya dan malah menertawakan guru. Guru sosok yang berwibawa bukan bahan olok-olokan, dan memilih pelaku yang sosoknya bukan figur yang pantes sebagai guru. Kewibawaan bukan jaga jarak, namun murid akrab dan tetap menghormati. Tidak heran anak sekarang bisa melawan guru karena tontonannya seperti itu.

Siswa itu bersekongkol dengan rekannya untuk ngerjain orang yang tidak disukai. Pendidikan itu menghasilkan pribadi dewasa, berpikir positif, dan berperilaku terpuji, bagaimana bila setiap hari dijejali dengan hiburan anak sekolah yang bersekongkol untuk balas dendam, rebutan kekasih dengan memanfaatkan kelompoknya, menjatuhkan orang yang dianggap sebagai pesaing dan orang yang merugikannya. Jangan heran kalau anak sekolah sekarang pinter membuat cerita untuk melakukan kesenangan. Kisah nyata, ada siswi SMP memalsu surat keterangan sakit dari sebuah rumah sakit, yang menerangkan rekannya sakit kanker otak untuk meminta uang agar bisa membeli hape yang diinginkan. Kegiatan Belajar Mengajar hanya menjadi pelengkap atas sikap hedonis dan glamor. Sesekali ada kegiatan belajar mengajar namun paling hanya sekitar nol koma persen di antara hidup hedonis dan glamor. Makan di kafe, jalan-jalan di pusat perbelanjaan, putar-putar dengan motor dan mobil mewah, meski sekolah menengah. Kegiatan belajar mengajar yang direduksi untuk menopang tampilan mewah tanpa isi. Jangan heran jika ijazah menjadi tujuan bukan proses belajar. Tidak heran anggota dewan dan pemimpin daerah pun tidak malu membeli ijazah.

Pelajar tidak kritis namun mengandalkan sikap mudah marah. Pelajar yang sedang belajar harusnya memiliki sikap kritis, sabar dan tidak mudah marah, mengandalkan otak dan bukan otot. Dilihat saja sudah menilai menantang dan mengeroyok dengan segala macam benda yang bisa diperoleh. Apakah ini sikap anak sekolah? Jangan kaget,kalau anak sekolah melihat seragam lain langsung saja dihajar dianggap sebagai musuh, lho ini zaman kemerdekaan atau perang?

Pendidikan itu diharapkan mencerdaskan kehidupan bangsa. Cerdas secara intelektual, memahami banyak hal dan pengetahuan, bisa meresapkan dalam hati sehingga meningkatkan kecerdasan spiritual, dan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana itu bisa diterapkan bila, hiburan yang disajikan jauh dari itu semua.

Hiburan itu bagian dari pendidikan. Jangan memisahkan proses pendidikan itu hanya berkaitan dengan sekolah, namun keseluruhan hidup ini adalah proses pendidikan. Bagaimana susahnya sekolah jika keluarga diisi dengan hiburan tidak sehat seperti itu? Jam belajar eh malah asyik dengan televisi dan gawai, kapan anak menjadi pinter dan cerdas secara holistik?

 Tugas kita semua untuk memberikan pendidikan bagi generasi muda, jika mau menjadi bangsa yang besar. Memilih dengan seperti ini berarti kita akan tetap menjadi negara gagap, gumunan, dan mandeg. Apakah ini yang dimaui? Selamat Hari Pendidikan! ** (ak)

Sumber : kompasiana.com

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed