by

Khilafah adalah Sebuah Kekhilafan

Itulah beberapa kekhilafan yang dilakukan oleh penganut khilafah dalam memahami dan mengamati realitas sejarah sosial pergumulan khilafah pada masa lalu. Di luar itu, tentu masih banyak lagi bagaimana dokumen sejarah yang menjelaskan perihal khilafah yang tidak memiliki basis epistemologi yang kuat, terutama yang berakar pada wilayah teologis.

Lalu, ketika sekelompok umat beragama yang sebagiannya terepresentasi dalam perkumpulan Hizbut Tahrir (HT) masih bersikukuh untuk merevivalisasi khilafah di Indonesia, di mana basis kebangsaannya sudah dikerangkai oleh Pancasila dan UUD 45, dan demokrasi—merupakan mekanisme kepemerintahan yang ditegaskan dalam sistem nasional (nation-state)—bukankah yang bersangkutan hanya mereproduksi sebuah kekhilafan yang sebenarnya sistem khilafah sudah mengalami kafanaan dan kepunahan (the end of khilafah).

Wilayah Keterasingan

Dalam kondisi ini, sekelompok orang yang masih bersikukuh untuk menegakkan khilafah sesungguhnya akan terjerembap ke dalam kubangan keterasingan. Yaitu, suatu kondisi antara (in between) di mana satu sisi seseorang tercerabut dari akar sejarah (pengetahuannya) dan di sisi lain tidak bisa mengimajinasikan masa depan (pemikirannya) dengan baik dalam kehidupannya.

Secara sosiologis, kondisi ini akan berdampak pada munculnya suasana disorientasi dalam merajut corak kebangsaannya. Di antara potret yang bisa digambarkan adalah ketika seseorang yang bersikukuh dengan khilafah, ketika dasar negara yang diakui hanya basis nilai yang merujuk pada agama tertentu, sementara di tempat dia berpijak adalah negara yang basis nilai kebangsaannya merujuk pada Pancasila, UUD 45, dan demokrasi. Maka, dusta apalagi yang akan ditunjukkan kepada republik ini?

Di samping itu, segala infrastuktur dan berbagai fasilitas dan layanan yang ada di negara Indonesia adalah hasil kesepakatan yang ditentukan oleh semua stakeholders dengan mengacu kepada mekanisme yang diatur dalam perundang-undangan. Sementara pihak yang bersikukuh dengan khilafah secara diam-diam menikmati berbagai fasilitas tersebut, mulai dari lahir hingga mati. Maka nikmat apalagi yang akan diingkari pada sistem nilai kebangsaan Indonesia yang berdasar negara Pancasila?

Belum lagi proses perjuangan para pahlawan yang rela berkorban sepenuh jiwa dan raga untuk kemerdekaan Indonesia. Ketika segala impian yang membuncah di benak mereka adalah menginginkan negara yang aman, tentram, damai, makmur, sentosa. Untuk menciptakan semua impian itu adalah melalui kerangka kebangsaan yang sudah disepakati berdasarkan Pancasila dan UUD 45.

Lalu, dalam perkembangannya ada sekelompok orang yang ingin mengingkari hasil perjuangan para pahlawan dengan cara ingin mengubah dasar negara hanya karena berambisi ingin menegakkan ajaran agamanya. Sementara realitas kebangsaan kita dilandasi oleh kemajemukan. Maka, kemunafikan apalagi yang ingin diekspresikan di bumi pertiwi ini?

Dengan demikian, ketika ada di antara mereka yang masih bersikukuh dengan khilafah, sementara mereka sedang berada di wilayah keterasingan, dan ironinya mental keterasingan ini diinjeksi dengan berbagai adagium keagamaan yang diyakini sebagai perintah Tuhan, seharusnya yang bersangkutan segera sadar diri, agar kondisi disorientasinya tidak semakin kronis. Adapun jalan yang perlu dilakukan untuk meleburkan segala bentuk kekhilafannya adalah dengan melakukan taubat konsitusi.

Taubat Konstitusi

Secara teologis, taubat merupakan sebuah mekanisme pengakuan atas segala dosa yang sudah dilakukan. Di dalam al-Qur’an, frasa taubat dijadikan sebagai titik tolak untuk menuju perubahan. Di antara yang lazim dilakukan untuk memasuki tahap awal perubahannya adalah dengan meminta ampunan (istighfar).

Dalam konteks kehidupan bernegara, mekanisme taubat yang ditegaskan dalam al-Qur’an dapat dikontekstualisasikan menjadi taubat konstitusi. Yaitu, segala bentuk kekhilafahan yang dilakukan dengan cara ingin merongrong sendi-sendi keindonesiaan yang sudah dilandasi oleh Pancasila dan UUD 45, serta pelaksanaan keduanya diatur melalui sistem demokrsi, harus disadari bahwa tindakan itu adalah dosa konstitusi.

Dalam dosa konstitusi, sanksinya tidak hanya berkaitan dengan bagaimana kita mempertanggungjawabkan di kemudian hari (akhirat). Akan tetapi, yang jauh lebih penting adalah mempertanggungjawabkan di dunia, terutama bagi negara di mana dipijak. Sebab, dosa konstitusi membutuhkam pertaubatan sesegera mungkin agar perilaku khilafnya tidak bermetamorfosis sebagai virus endemik yang bisa menjalar ke mana-mana dan dapat mempengaruhi orang lain.

Dalam konteks ini, taubat konstititusi memberikan sebuah panduan sederhana untuk meleburkan dosa-dosa konstitusi yang diakibatkan dari perilaku khilafnya. Di antara panduan yang menjadi proses pengampunannya adalah sebagai berikut. Pertama, berjanji untuk setia kepada Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 45 sebagai landasan konstitusi.

Kedua, berjanji untuk menaati pemerintah yang segala proses kebijakannya dikerangkai oleh semangat demokrasi sebagai sarana untuk menciptakan kemaslahatan, keadilan, dan kesejahteraan.

Ketiga, berjanji untuk mengajak semua elemen yang selama ini masih mengindoktrinasikan paham khilafah agar sadar diri, sekaligus tidak akan mengulangi untuk melakukan perongrongan lagi terhadap sendi-sendi negara. Keempat, berjanji untuk merapatkan barisan bersama seluruh rakyat untuk menjaga NKRI dan mengapresiasi kebinekaan yang menjadi modal sosial keindonesiaan.

Kelima, berjanji untuk meyakini bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman yang disertai pula dengan penghormatan kepada simbol-simbol negara serta menjalankan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia.

Kelima janji ini merupakan jihad konstitusi yang perlu disematkan dalam sanubari kita sekaligus direjuvenasi dalam berbagai ikhtiar kebangsaan kita. Agar Indonesia menjadi negara yang rahmatan lil ‘alamin sekaligus baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.**

Sumber : geotimes

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed