by

Ketika Diam Adalah Bunuh Diri

Fenomena apa yang sedang kita hadapi?

Yang pasti, Indonesia kini sedang dilanda darurat toleransi akut. Faktor utamanya adalah makin berkembangnya pemahaman keagamaan yang membenci keyakinan lain. Bukan hanya membenci mereka yang berbeda agama, yang seagamapun jika amalannya berbeda juga dianggap musuh.

Merek mengalami doktrin tunggal bahwa hanya penafsiran agamanya saja yang mewakili kebenaran. Yang berbeda harus diberantas. Yang berbeda harus dimusnahkan.

Bukan hanya pengajian orang dewasa yang kesusupan doktrin seperti ini. Di majelis-majelis mahasiswa juga mengalami hal serupa. Liqo-liqo sejak dulu beternak para mahasiswa untuk hanya meyakini doktrin dari kelompoknya saja. HTI berkembang marak di kampus. Kader-kader PKS menguasai lembaga-lembaga kemahasiswaan.

Di Riau, kemarin, kita saksikan video seorang anak sedang mengibarkan bendera HTI dalam sebuah kegiatan sekolah. Anak-anak kecil dengan seragam Pramuka diajarkan pengertian jihad yang keliru. Kebencian ditanamkan sejak dini. Sekolah itu sendiri kabarnya milik istri Wakil Walikota asal PKS.

Doktrin puritan dan kaku ideologi Wahabi, bersatu dengan kepentingan politik para penjaja agama, pada akhirnya membuat kekacauan dalam masyarakat. Hampir semua organisasi teroris berbasis Islam, menjadikan Wahabi sebagai pegangan doktrin agamanya. Lihat saja ISIS, Al Qaedah, Al-Nusra, Boko Haram, atau Taliban. Semuanya berpaham Wahabi.

Kenapa doktrin agama yang meresahkan dan membuat gaduh masyarakat itu bisa tumbuh subur?

Ada kepentingan politik yang memelihara kelompok-kelompok garis keras seperti ini. Mereka berharap merebut kekuasaan dengan memanfaatkan kegoblokan beragama yang makin tumbuh subur dalam masyarakat muslim. Karena Islam adalah agama mayoritas di Indonesia, maka isu yang berkenaan dengan agama sangat mudah dimainkan lalu dipetik manfaat politiknya. Apalagi menjelang Pilkada.

Skenario paling buruk Indonesia ingin dijadikan seperti Syuriah. Diadu antar-kelompok masyarakat dengan konflik agama. Di Ambon atau Poso kita pernah menyaksikan percobaan seperti ini.

Skenario kedua, seperti di Pakistan. Kekuatan-kekuatan politik yang ada di Indonesia memanfaatkan gerombolan untuk melancarkan kepentingannya.

Lalu bagaimana reaksi aparat kita? Coba kita perhatikan. Jika sebuah kasus terjadi, dan tidak mendapat sorotan publik, aparat cenderung pasif. Memang sih, dalam konteks keamanan, jika aparat bekerja terlalu reaktif terhadap kasus-kasus intoleransi, yang mungkin terjadi adalah isu itu akan digoreng membesar dengan memperhadapkan umat Islam dengan negara.

Istilah ‘Jangan Kriminalisasi Ulama’ misalnya, adalah salah satu upaya membenturkan aparat dengan umat Islam. Apalagi tersebut disambungkan dengan isu pemerintahan Jokowi memusuhi umat Islam. Ini tersebut sengaja ditiupkan untuk menjadi penekan bagi gerak aparat keamanan. Jadi wajar saja jika sikap aparat amat sangat hati-hati agar reaksinya tidak malah menjadikan ekskalasi konflik lebih besar.

Tapi apakah kejadian intoleransi seperti ini kita biarkan saja? Tidak juga. Yang bisa kita lakukan adalah terus menekan pihak keamanan dan meyakinkan mereka bahwa sebuah kasus intoleransi harus ditangani dengan lebih tegas. Mengumbar kekecewaan secara terbuka kepada aparat keamanan bukan langkah bijak. Justru yang penting memberikan kepercayaan diri pada mereka untuk melakukan tindakan serius terhadap semua kegiatan intoleran di masyarakat.

Intinya begini. Kini sedang terjadi perang opini dan idologi dalam masyarakat kita. Jika kaum intoleran imenguasai panggung opini, maka aparat akan lebih bersikap hati-hati. Tapi jika kelompok moderat yang lebih mendominasi, hal itu akan memaksa aparat untuk bertindak lebih serius terhadap kasus-kasus intoleransi.

Karena itu jadikan semua lini kehidupan kita untuk sarana memenangkan opini, bahwa Indonesia sekarang terjadi darurat toleransi. Bahwa aparat sangat dibutuhkan untuk menangani sebuah kasus intoleransi. Terus kita suarakan. Jangan hanya diam. Bahkan hanya sekadar sebuah status di media sosial.

Tidak ada lagi silent majority. Di tengah situasi seperti ini, sikap diam sama saja bunuh diri. Kita bantu aparat keamanan dengan terus menyuarakan suara kita. Suara tentang Indonesia yang plural, beragam dan berdasarkan Pancasila. Suara tentang toleransi dan anti kekerasan. Suara tentang beragama yang semakin membuat sejuk, bukan membuat gerah.

Aktiflah sekuat tenaga sebagai agen-agen toleransi.

Cuma ini yang bisa kita lakukan. Maka lakukanlah untuk masa depan anak-anak kita..

Sumber : Status Facebook Muhanto Hatta

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed