by

Kesalehan Sosial

Jika ditelaah…., ayat mana yang menyuruh melaksanakan haji berkali-kali…., sementara kewajiban agama masih segudang….?

Apakah haji kita itu mengikuti Nabi SAW….?

Kapan Nabi memberi teladan atau perintah seperti itu….?

Atau jangan-jangan…, kata Mustafa Yaqub lagi…., sejatinya kita mengikuti bisikan setan melalui hawa nafsu…, agar di mata orang awam disebut orang luhur….?

Apabila motivasi ini yang mendorong…, maka berarti kita beribadah haji bukan karena Allah…, melainkan karena setan.

Kok bisa….?

Anggapan yang salah jika setan hanya menyuruh berbuat kejahatan atau setan tidak pernah menyuruh beribadah.

Dengan jam terbang iblis dalam menggoda manusia yang sudah sangat lama…, maka Ia tahu betul apa kesukaan manusia.

Iblis tidak akan menyuruh orang yang suka beribadah untuk minum khamr…, tetapi menyuruhnya untuk beribadah haji berkali-kali.

Nah…, ketika manusia beribadah haji karena mengikuti rayuan iblis melalui bisikan hawa nafsunya…., maka saat itu tipologi haji pengabdi setan telah melekat padanya….; demikian Mustafa Yaqub menegaskan.

Terdapat sebuah kisah tentang makna sosial haji yang terkenal dalam tradisi sufi….:

Alkisah ketika sedang menjalankan ibadah haji…., ada seseorang tertidur ketika sedang melakukan wukuf di tengah panasnya padang Arafah.

Dalam tidurnya…., orang itu bermimpi berjumpa dengan Nabi.

Ia kemudian memberanikan diri bertanya…, “Wahai kekasih Allah…, siapakah di antara kami semua yang sedang melaksanakan haji ini diterima ibadahnya dan menjadi haji yang mabrur…?”

Rasulullah kemudian dengan nada berat menjawab…, “Tak seorang pun dari kalian yang diterima hajinya…, kecuali seorang tukang cukur tetanggamu.”

Mendengar jawaban demikian…., orang tersebut termenung…, betapa tidak…., ia sadar bahwa tukang cukur yang dimaksud adalah tetangganya yang miskin dan tidak pergi berhaji saat ini.

Tak lama kemudian ia terbangun…, dan dengan perasaan gundah gulana ia mencari makna di balik mimpi yang dialaminya itu.

Sekembali dari Mekkah…., segera ia menemui tukang cukur yang dimaksud dalam mimpinya itu.

Ia menceritakan segala pengalaman selama berhaji…, dan juga pengalaman spiritual lewat mimpi yang dialaminya itu.

Ia akhirnya bertanya pada tukang cukur itu…., “Amalan dan ibadah apakah yang telah Anda lakukan…, sehingga Rasulullah mengatakan Anda telah menjadi haji yang mabrur….?”

Mendapati cerita dan pertanyaan dari tetangganya itu…., si tukang cukur terharu dan sujud syukur.

Ia mengaku…, sebenarnya telah lama mengidamkan untuk menunaikan ibadah haji.

Bertahun-tahun ia menabung…, guna mewujudkan cita-citanya itu.

Saat tabungannya telah cukup untuk berangkat haji,.., tetapi belum lagi ia berangkat…., terdengar kabar salah seorang tetangganya tertimpa musibah…: seorang anak yatim sedang sangat membutuhkan pertolongan untuk pengobatan.

Mendapati kenyataan tersebut…, ia kemudian mengurungkan niatnya untuk haji dan menyumbangkan seluruh tabungannya guna menyelamatkan anak yatim tetangganya itu.

Jadi…., kedua corak kesalehan itu memang suatu yang tak usah ditawar.

Kesalehan hanya dimiliki oleh orang yang tidak hanya sempurna secara ritual…., akan tetapi baik secara sosial.

Saleh personal…, memang diletakkan di depan ketimbang saleh sosial.

Ini artinya untuk membangun kesalehan sosial…, harus dimulai dengan kesalehan personal.

Atau kesalehan personal…, akan memberikan kekuatan untuk saleh juga secara sosial.

Bahkan seluruh perintah ibadah dimaksudkan agar lahir darinya kesalehan sosial…., seperti shalat…, yaitu agar bagaimana ibadah ini bisa mencegah dari perbuatan keji dan munkar.

Output sosial berupa kasih sayang pada sesama…., sikap demokratis…., menghargai hak orang lain…., memberi dan membantu sesama merupakan pengejewantahan dari ibadah ritual.

Diceritakan…., seorang sahabat pernah memuji kesalehan orang lain di depan Nabi.

Nabi lalu bertanya…, “Mengapa ia kau sebut sangat saleh….?”

Sahabat itu menjawab…., “Soalnya…, tiap saya masuk masjid ini dia sudah salat dengan khusyuk…., dan tiap saya sudah pulang…., dia masih saja khusyuk berdoa.”

“Lho…., lalu siapa yang memberinya makan dan minum….?”, tanya Nabi lagi.

“Kakaknya….”, sahut sahabat tersebut.

Lalu kata Nabi…., “Kakaknya itulah yang layak disebut saleh.”

Persepektif ibadah…, kini menjadi lebih jelas.

Kesalehan tidak hanya ditilik dari ketaatan dan kesungguhan menjalankan ibadah ritual…., karena ini sifatnya hanya individual dan sebatas hubungan dengan Tuhan…., namun kesalehan juga dilihat dari dampak konkretnya dalam kehidupan bermasyarakat. .

Cendekiawan muslim…., Komarudin Hidayat pernah mengibaratkan…., simbol keagamaan seperti shalat…., puasa…., haji…, zakat dan ibadah lainnya sebagai sangkar burung…; sementara esensi simbol dan ibadah itu sendiri sebagai burungnya.

Mana sesungguhnya yang lebih penting…., burung itu sendiri atau sangkarnya…..?

Saat ini menurutnya…., banyak yang lebih senang mengelus-elus sangkarnya ketimbang memikirkan burungnya.

Karena keenakan ngurusi sangkarnya…., kita lupa isinya.

Jadi sekali lagi….; jelaslah bahwa yang terbaik itu adalah kesalehan total…., komplit…., bukan salah satunya atau malah tidak dua-duanya.

Meminjam istilah Nadirsyah Hosen…., jika tidak menjalankan keduanya…., itu namanya kesalahan…, bukan kesalehan.

Tapi jangan lupa…., orang salah pun masih bisa untuk menjadi orang saleh.

Dan orang saleh…, bukan berarti tidak punya kesalahan.

Rahayu…

Sumber : Status Facebook Buyung Kaneka Waluya

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed