by

Kenapa Saya Mendukung Ahok?

Ok. Saya tidak mau terlalu terbuai dengan pembangunan fisik, yang sering dinyinyiri Anies itu. Yang ingin saya apresiasi adalah Ahok berhasil mengubah paradigma birokrat Pemda. Yang semula bergaya bak raja-raja kecil tukang tilep, kini menyadari perannya sebagai pelayan rakyat.

Menurut saya itu terobosan revolusi mental. Pemerintah yang sadar pada fungsinya sebagai pelayan rakyat adalah pemerintahan impian kita. Dan ketika Ahok berhasil membangun itu, saya tidak punya alasan untuk tidak mendukungnya.

Itu setahun lalu. Belakangan alasan dukungan saya berubah. Ketika orang beramai-ramai mencaci Ahok karena rasnya. Saya merasa ada yang tidak beres dari kondisi itu.

Ras adalah anugerah Allah. Tidak ada yang bisa menentukan seseorang dilahirkan dari orang tua yang mana. Jadi ketika kampanye rasialis didengungkan untuk menyudutkan Ahok, saya makin tergerak mendukungnya.

Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa. Jika hari ini kampanye rasialis dibiarkan melenggang, itu sama saja kita sedang menyiapkan bom waktu menghancurkan negeri ini.

Orang bisa saja berpindah agama. Tapi tidak mungkin bertukar ras. Jika ada yang mengkritik agamamu, dia mungkin sedang mengkriitik pemahamanmu tentang Tuhan. Jika orang menghujat ras-mu, sejatinya dia sedang menghujat kreasi Allah.

Bukan hanya ras. Ahok juga diserang dari sisi agama. Orang boleh saja percaya Al Maidah 51 dan ayat-ayat kepemimpinan dalam Al Quran berkaitan dengan Pilkada. Saya meyakini sebaliknya. Allah menurunkan ayat-ayat itu untuk makna kepemimpinan umat yang lebih luas. Bukan untuk kelas Pilkada. Al Quran terlalu agung jika cuma mengurus Pilkada DKI.

UUD kita juga sudah memberikan jaminan setiap warga negara berhak dipilih dan memilih dalam politik. Itu adalah aturan main bernegara. Semua warga punya kedudukan yang sama tanpa dibedakan ras dan agamanya.

Ketika kampanye Pilkada ini melulu berisi penolakan Gubernur non-muslim dengan mengatasnamakan Al Quran, itu sama saja dengan perampokan hak konstitusional seorang warga negara. Perampokan, apapun alasannya, dan dengan dasar apapun tetaplah perampokan.

Jadi di mata saya, Ahok adalah korban yang haknya sebagai warga negara hendak dirampas. Membela orang yang ditindas dan diperlakukan tidak adil adalah kewajiban. Maka alasan dukungan saya kepada Ahok berubah. Saya cuma ingin membela mereka yang ditindas atas nama agama mayoritas.

Tapi belakangan alasan itu berubah lagi. Ketika kampanye semakin liar. Masjid-masjid menyuarakan tidak mau mensholatkan para pendukung Ahok jika wafat. Bukan hanya gertak. Tapi juga benar-benar dilakukan.

Semalam bersama teman-teman saya mendatangi rumah Almarhumah ibu Hindun binti Raisman. Untuk menghadiri tahlilan 7 harian. Almarhumah Ibu renta ini ditolak disholatkan di mushola dekat rumahnya karena dia memilih Ahok.

Jika sebelumnya yang dirampas adalah hak konstitusional Ahok sebagai warga negara. Juga merampasan hak semua non-muskim untuk dipilih. Kini yang dirampok adalah hak siapa saja yang dianggap berbeda.

Bahkan mereka juga merampas hak jenazah. Mereka menistakan mayat.

Ini bukan lagi soal Ahok jadi Gubernur atau tidak. Tapi ini soal melawan orang-orang biadab dan dzalim di seberang sana. Yang semaunya merampas hak siapa saja yang berbeda dengan mereka.

Kini masalah yang kita hadapi jauh lebih serius dari Pilkada. Para kampret yang menungangi agama untuk kepentingan politik semakin merajalela. Mereka yang merusak kehidupan berbangsa kita yang selama ini nyaman. Ini harus dilawan. Ini harus dihentikan.

Sekarang bukan soal Ahok yang kita perjuangkan. Sebetulnya saat ini kita sedang berjuang untuk menyelamatkan makna kemanusiaan dalam diri kita sendiri.

Ini jauh lebih berat dibanding menyadarkan seorang teman yang makan bubur ayam masih diaduk.

(Sumber: www.ekokuntadhi.com)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed