by

Kemarahan SBY Cermin Pertentangan Generasi Baby-Bomber dengan Generasi X dan Y

Oleh : Daniel H.T

Kebiasaan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), mantan Presiden RI, atau Presiden keenam RI, sering curhat ke publik setiap kali merasa tersinggung dan dizolimi, rupanya belum juga sirnah.

Demikian juga ketika baru-baru ini netizen meramaikan jagad dunia maya negeri ini dengan berbagai meme yang berkaitan dengan kegiatan Tour de Java-nya, di antaranya dengan beredarnya foto (meme) Ani Yudhoyono berbusana biru dengan latar belakang bendera Merah-Putih disertai tulisan “Ani Yudhoyono, Calon Presiden Partai Demokrat. Lanjutkan!” Juga ada taggar #AniYudhoyono2019.”

 “Ani Yudhono Capres 2019”

Beredarnya meme “Ani Yudhoyono Calon Presiden Partai Demokrat” tersebut sempat juga menjadi bahan pemberitaan beberapa media daring yang menyebutkan bahwa Partai Demokrat telah mempersiapkan istri mantan presiden keenam itu sebagai presiden melalui pilpres 2019. PDIP bahkan sempat mengucapkan selamat kepada Partai Demokrat, — mungkin ini juga yang membuat SBY tersinggung.

Peredaran meme istrinya tersebut membuat SBY tersinggung dan marah, ditambah lagi dengan beredarnya banyak meme yang membandingkan SBY Tour de Java dengan kunjungan Presiden Jokowi ke Hambalang, melihat sebuah mega proyek yang gagal dari masa pemerintahan SBY.

Minggu (20/3) di dalam konferensi persnya yang khusus diadakan untuk mencurahkan perasaan hatinya itu, SBY bilang dia merasa terganggu dengan beredarnya foto istrinya itu. Dia membantah bahwa Demokrat telah mempersiapkan istrinya itu sebagai calon presiden. Berpikir ke arah itu saja, tidak, kata SBY. Menurutnya, sekarang ini, dia dan Demokrat sedang fokus untuk mengadakan berbagai kunjungan langsung ke rakyat untuk menyerap aspirasi mereka, yang akan diteruskan ke pemerintahan yang sekarang.

 “Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba dimunculkan di sosial media, seolah-olah kita sudah punya capres. Dan, kebetulan di situ Ibu Ani ditulis di situ sebagai capres 2019. Saya ingin klarifikasikan, .. karena kita terganggu. Tidak ada yang berpikir sama sekali, karena kita sedang siang-malam menjalankan safari, tiba-tiba ada berita seperti itu. …”

Tidak cukup menyatakan ketidaksenangannya atas beredarnya meme itu, SBY mengatakan, ia sudah memerintahkan anak buahnya untuk mengusut siapa yang bertanggung jawab atas peredaran meme “Ani Yudhoyono Calon Presiden Partai Demokrat” itu.

Entah apa maksud SBY memerintahkan anak buahnya untuk mengusut siapa penanggung jawab meme itu, seandainya ketahuan siapa yang bertanggung jawab, apakah yang mau dilakukan SBY terhadap orang itu, apakah mau melaporkanya ke polisi? Kalau memang begitu, kenapa tidak dari sekarang, langsung saja lapor polisi? Tetapi apa perlu sampai begitu?

Apakah perlu SBY sampai menanggapi beredarnya meme itu secara sedemikian serius? Bukankah meme di media sosial seperti itu sudah merupakan suatu kelaziman, apalagi di Twitter. Bukankah SBY sangat rajin mengelola akun Twitter-nya? Pasti ia tahu bahwa jika ada suatu peristiwa yang menarik perhatian masyarakat, maka biasanya netizen meresponnya dengan berbagai meme kreatif dengan tulisan-tulisan kritis, plesetan yang lucu-lucu.

Lebih bijaksana jika SBY cukup membantah berita tersebut, misalnya, melalui akun Twitter-nya saja, tidak perlu sampai mengadakan konferensi pers segala, apalagi sampai mau mengusut siapa yang membuat meme itu. Apakah itu bukan suatu tindakan blunder yang hanya membuang-buang waktu?

Apalagi, tidak seperti yang dikatakan SBY, ternyata “ada angin, ada hujan” sampai beredarnya meme Ani Yudhoyono tersebut. Sumbernya pun justru berasal dari para petinggi Partai Demokrat sendiri.

Sebelum SBY marah-marah itu, pada 15 Maret 2016, Koordinator Juru Bicara Partai Demokrat Ruhut Sitompul telah membenarkan bahwa foto tersebut memang dibuat oleh tim DPP Partai Demokrat.

Sebab, sudah ada masukan dari masyarakat agar Demokrat mengusung istri Ketua Umum Partai Demokrat itu sebagai calon presiden di pilpres 2019.

Ruhut mengatakan, masyarakat yang ditemui dalam kunjungan Tour de Java sebenarnya meminta SBY untuk maju kembali sebagai capres. Namun, SBY yang sudah 10 tahun memimpin pemerintahan menyadari aturan tidak memungkinkan untuk maju kembali hingga periode ketiga.

“Rakyat kita yang sudah sangat cerdas ini, ya mereka mengatakan, ‘Kalau memang Bapak enggak, ya apa salahnya Ibu Ani?’ Itu rakyat yang meminta,” ucap Ruhut di Jakarta, Selasa (15/3/2016) (sumber)

Pernyataan Ruhut itu diperkuat oleh Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Nurhayati Ali Assegaf. Dia bilang, yakin Ani Yudhoyono memiliki peluang yang besar untuk memenangkan pilpres 2019. Modal Ani adalah pengalamannya selama sepuluh tahun mendampingi suaminya, SBY saat menjadi presiden. Bahkan, katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (15/3/2016), “Ibu Ani Bisa lebih hebat dari Hillary Clinton.” (sumber)

Jadi, sebetulnya, SBY tidak perlu sampai sedemikian serius memerintahkan anak buahnya melakukan investigasi siapa sebenarnya yang menyebarkan berita dan meme yang menyatakan istrinya itu telah ditetapkan Partai Demokrat sebagai calon presiden 2019. Usut saja internal partainya itu, terutama periksa itu Ruhut Sitompul dan Nurhayati Ali Assegaf.

Kata Gus Dur, “Kok repot-repot!”

Meme “SBY Tour de Java” yang Membuat SBY Marah

Belum puas dengan konferensi pers itu, SBY pun curhat di akun Twitter-nya juga, yang ditulis pada hari Senin, 21 Maret 2016. Mencurahkan kegundahan hatinya atas beredarnya banyak meme yang menyindir safari perjalannannya keliling Jawa, yang diberi label “Tour de Java” itu.

Rupanya SBY benar-benar merasa terganggu, tersinggung dan marah dengan sikap netizen yang membandingkan “SBY Tour de Java” dengan kunjungan Presiden Jokowi ke lokasi mega proyek pembangunan sekolah dan pusat olah raga di Hambalang, Bogor, yang mangkrak sejak 2010, atau sejak pemerintahan Presiden SBY, karena terkena kasus korupsi yang dilakukan oleh para petinggi Partai Demokrat itu.

 Netizen menyebutkan kunjungan Jokowi ke Hambalang itu dengan sebutan plesetan: “Blusukan de Hambalang.” Menurut netizen “Jokowi blusukan de Hambalang” itu telah meng-skak-mat “SBY Tour de Java.” Mereka menganggap apa yang dilakukan SBY dan Demokrat dengan “Tour de Java”-nya itu hanyalah merupakan pencitraan demi kemenangan di pilkada serentak 2017.

Di dalam Tour de Java-nya itu SBY bersama rombongan para petinggi Partai Demokrat melakukan kunjungan ke desa-desa di empat provinsi di Jawa, visi dan misinya untuk masa depan bangsa, kesejahteraan rakyat dengan secara langsung mendengar aspirasi rakyat.

 Namun, pada kesempatan itu pula SBY menyampaikan beberapa kritikannya kepada pemerintahan Jokowi. Di antaranya yang paling menonjol adalah kritikan SBY yang dilakukan di Pati, 16 Maret lalu. SBY mengritik Jokowi yang terlalu fokus menghabiskan anggaran negara untuk pembangunan infrastruktur, padahal perekonomian lagi lesu, sehingga kesejahteraan rakyat kurang diperhatikan.

 Setelah itu, Jumat, 18 Maret 2016, Jokowi melakukan kunjungan ke lokasi mega proyek Hambalang yang mangkrak sejak pemerintahan SBY itu. Dari media massa, publik juga bisa melihat betapa nestapanya kompleks yang seharusnya menjadi salah satu pusat pendidikan dan olah raga terbesar di Indonesia itu.

Rumput ilalang yang tumbuh tinggi menutup sebagian lokasi itu, gedung-gedung setengah jadinya tampak kusam, tembok batu-batu bata merah yang belum diplester semen tampak di mana-mana, tembok-tembok telanjang berlumut hitam, tumpukan tinggi barang-barang rusak berserakan tampak pula di suatu ruangan. Kompleks itu telah berubah menjadi seperti sarang hantu terbesar di dunia.

Padahal ketika dibangun, anggaran pembangunannya ditetap sebesar Rp 1,2 triliun. Akibat dari mega korupsi di mega proyek itu, yang dilakukan oleh beberapa petinggi Partai Demokrat itu, negara dirugikan sebesar hampir Rp 500 miliar. Empat petinggi Partai Demokrat yang korupsi di mega proyek itu pun masuk penjara.

Dengan kenyataan itu, sebenarnya yang ingin dikatakan netizen dengan meme-meme-nya itu adalah: SBY begitu gencar terus mengritik Jokowi tentang kebijakan infrastruktur yang banyak menghabiskan anggaran negara, padahal dia sendiri, di waktu menjadi presiden, juga beberapa kali gagal dalam pembangunan infra struktur, salah satunya yang paling menonjol adalah mega proyek di Hambalang yang mangkrak itu.

Jokowi yang melakukan kunjungan ke sana terlihat beberapakali menggeleng-geleng kepalanya, dan diakun Twitter dan Face Book resminya, dia antara lain menulis: “Sedih melihat aset negara di proyek Hambalang mangkrak. Penuh alang-alang. Harus diselamatkan – Jkw.” Di bawahnya disertai beberapa foto kompleks Hambalang yang memprihatinkan itu. (Twitter @jokowi)

Sebagian netizen juga merasa tidak terkesan dengan Tour de Java SBY itu, yang dianggap hanya merupakan pencitraan politik SBY dan Partai Demokrat untuk kepentingan politik Demokrat menjelang pilkada serentak 2017. Oleh karena itu mereka menilai upaya pencitraan SBY lewat Tour de Java selama dua minggu itu yang terus-menerus mengritik pemerintahan Jokowi menjadi tak berarti setelah kunjungan Jokowi di Hambalang itu.

Aspirasi netizen yang disampaikan melalui meme-meme yang kritis-kreatif itu, ternyata tidak bisa diterima SBY, dia merasa terganggu, tersinggung berat, dan geram. Tidak cukup mengadakan konferensi pers, SBY pun curhat di akun Twitter kesayangnya, yang ditulisnya dalam bentuk beberapa kicauan pada hari Senin ini (21/3).

Rupanya SBY itu pandai mengritik, tetapi tidak tahan jika dikritik.

Dalam kicauannya itu SBY menyebutkan ada sejumlah pihak yang tidak senang dengan “SBY Tour de Java”, dan mereka menyebutkan safari tersebut dihancurkan Presiden Jokowi ketika dia ke Hambalang. SBY bilang, dia tidak percaya jika maksud Jokowi ke Hambalang itu untuk menghancurkan safari dia yang menemui kader dan rakyat, karena safarinya itu adalah demi kepentingan rakyat, tak mungkin mau dihancurkan oleh Jokowi.

 SBY juga menyebutkan ada pihak-pihak tertentu (para netizen) yang kebakaran jenggot dengan “SBY Tour de java”, padahal itu merupakan hak kedaulatannya bersama Demokrat, tak seorang pun berhak mengintervensinya. Lebih jauh lagi, SBY mengatakan ada pihak-pihak tertentu yang sengaja hendak memprovokasi dan mengadu domba dia dengan Jokowi dengan cara mempertentangkan safari keliling Jawa-nya itu dengan kunjungan Jokowi ke Hambalang. Dia menghimbau Jokowi jangan terprovokasi dan jangan mau diadu domba oleh mereka. Padahal sebelumnya, dia mengingatkan Jokowi bahwa pimpinan yang baik adalah yang mau mendengar kritik (Nah, bagaimana dengan dia sendiri yang tidak bisa menerima kritik ala netizen?)

Kegaulan SBY itu pun dicurahkan di kicauan-kicauannya berikut ini:

Sejumlah pihak tak senang dgn “SBY Tour de Java” , bahkan katanya safari tsb dihancurkan Presiden Jokowi yg datang ke Hambalang. *SBY*

 Jika ada yg bilang Pak Jokowi hancurkan Tour de Java SBY, saya tak percaya. Mengapa saya bertemu kader & rakyat mau dihancurkan? *SBY*

 Aspirasi rakyat (yg muncul dlm Tour de Java SBY) bukan utk dihancurkan, justru harus didengar. Bukankah pemimpin mesti mendengar? *SBY*

Suara dari kader Demokrat (yg juga saya terima dlm Tour de Java) adalah hak & kedaulatan partai kami. Tak ada yg boleh mencampuri *SBY*

Itulah tujuan, kegiatan & hasil SBY Tour de Java. Kenapa harus kebakaran jenggot? Lagi pula tak ada hukum yg dilanggar. *SBY*

Pak Jokowi, teruslah emban amanah & bekerja hingga tahun 2019. Jangan mau kita diprovokasi & diadu domba. Semoga sukses. *SBY*

 SBY Tak Terima Istilah “Mangkrak”

 Dalam salah satu kicauannya, SBY juga tidak setuju dengan istilah “mangkrak” yang digunakan Jokowi. Dia bilang, mega proyek itu bukan mangkrak, tetapi terpaksa tidak bisa dilanjutkan ketika dia masih Presiden, karena dilarang KPK sebagai akibat dari bermasalahnya proyek itu dengan hukum. Maka itu harus menunggu proses hukumnya (kasus korupsi) selesai barulah larangan melanjutkan pembangunannya itu dicabut.

SBY, seperti juga Roy Suryo, Menteri Pemuda dan Olah Raga di masa pemerintahannya yang menyatakan hal yang sama, tidak melihat sumber masalahnya, kenapa sampai proyek itu bermasalah secara hukum sehingga membuat KPK melarang kelanjutan pembangunnnya.

Bukankah karena kasus korupsi yang dilakukan oleh para petinggi Demokrat ketika itu, yakni, Anas Urbaningrum (ketua umum), Muhammad Nazaruddin (bendahara umum DPP Demokrat), Angelina Sondakh (anggota DPR), dan Andi Alfian Mallarangeng (petinggi Demokrat, Menteri Pemuda dan Olah Raga). Jika SBY adalah pimpinan yang baik, tegas, sukses mendidik, mengawasi, dan mengendalikan mereka, bukankah kasus korupsi itu tak bakal ada di mega proyek Hambalang itu.

Seandainya proyek tersebut dirancang dan dikerjakan secara profesional, dan bersih dari korupsi, pasti proyek itu akan lancar-lancar saja progres pembangunanya, dan sudah selesai dan digunakan di masa pemerintahan SBY. Tidak ada urusan KPK di sana. Tetapi, faktanya, karena dijadikan obyekan untuk korupsi, akibatnya KPK hadir di sana, dan melarang kelanjutan pembangunanya sampai proses hukumnya selesai. Nah, bukankah bagaimana pun proyek itu memang pantas disebut mangkrak?

Tidak Ada yang Mencampuri Urusan Partai Demokrat

SBY menulis: “Suara dari kader Demokrat (yg juga saya terima dlm Tour de Java) adalah hak & kedaulatan partai kami. Tak ada yg boleh mencampuri.”

Siapakah yang mencampuri urusan Partai Demokrat? Yang dilakukan para netizen itu, adalah kritik terhadap pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh SBY/Demokrat. juga menilai Tour de Java itu hanyalah pencitraan saja, mereka tak terkesan. benar atau salah, itu kan hak rakyat menilai? Ini sama saja kan dengan SBY yang mengritik kebijakan-kebijakan Presiden Jokowi itu. Tidak ada yang bilang, SBY telah melanggar hak dan kewenangan Presiden Jokowi, tidak ada yang bilang SBY telah mencampuri urusan Presiden Jokowi.

SBY juga mempertanyakan, kenapa safarinya keliling Jawa itu membuat ada orang yang kebakaran jengot?

Jawaban saya adalah tidak ada yang kebakaran jenggot karena SBY Tour de Java itu, orang-orang yang dimaksud SBY dengan kebakaran jenggot itu, malah sebenarnya “EGP”, “emangnya gue pikirin” dengan SBY Tour de Java itu. Yang kebakaran jenggot itu justru SBY sendiri. Ia kebakaran jenggot dengan cara-cara anak-anak muda, generasi X dan Y melancarkan kritik terhadapnya di media sosial. Sebagai bagian dari generasi baby-bomber, SBY tak bisa mengimbangi perilaku generasi X dan Y di media sosial, SBY tidak bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman politik yang sudah berubah drastis. Zaman politik yang akan segera didominasi oleh anak-anak generasi X dan Y.

Tidak ada yang bermaksud mencampuri urusan dan kedaulatan SBY dan Partai Demokrat, tidak ada pula yang kebakaran jenggot hanya gara-gara SBY Tour de Java, apalagi sampai bermaksud memprovokasi dan mengadu domba SBY dengan Jokowi. Untuk apa, apa untungnya bagi para netizen, yang juga adalah bagian dari rakyat itu?

Risiko Turun Gunung

 Kenapa SBY sampai sedemikian tersinggung dan marah hanya gara-gara meme istrinya diberitakan telah diusung Partai Demokrat sebagai calon presiden 2019, pakai memerintahkan anak buahnya melakukan investigasi siapa sumbernya segala, padahal internal Demokrat sendiri (Ruhut Sitompul dan Nurhayati Ali Assegaf)-lah bisa dikatakan sebagai sumbernya.

Mengapa pula SBY marah besar gara-gara beredarnya banyak meme yang mengritik Tour de Java-nya dan membandingkannya dengan kunjungan Presiden Jokowi di mega proyek mangkrak yang berasal dari pemerintahannya di Hambalang itu?

Padahal kritik-kritik seperti itu sudah lazim di media sosial, itu juga merupakan bagian dari aspirasi rakyat, bagian dari hak kritik rakyat kepada siapa pun juga. Hanya saja memang beda gaya dan cara kritiknya, itulah kritik gaya anak-anak muda sekarang, gaya anak-anak generasi X dan Y, generasi internet, yang tidak suka berbasa-basi, yang tidak suka bertele-tele, yang tidak suka bersopan-sopan secara berlebihan, mereka yang selalu menambakan perubahan yang cepat, pimpinan yang baru, yang jujur dan bersih, yang mengayomi, yang melayani bukan minta dilayani, yang karakternya kurang-lebih sama dengan mereka.

Bagaimana pun, SBY harus sadar bahwa inilah risikonya jika ia mau turun gunung lagi, mau memasuki kembali “dunia kang-ouw” (dunia persilatan, istilah di dalam cerita silat Kho Ping Hoo), dunia politik yang kini sangat dominan peran anak-anak muda generasi X dan Y itu.

Cermin Pertentangan Generasi Baby-Bomber dengan Generasi X dan Y

Dari rangkaian kicauannya itu dapat dilihat betapa sensi, sensitifnya SBY itu, ia tidak bisa menerima kritik gaya anak-anak muda, para netizen di media sosial, ia gampang tersinggung, gampang marah, dan gampang mencurigai pihak-pihak yang mengritiknya, padahal apa yang dilakukan para netizen itu sesungguhnya termasuk bagian dari aspirasi rakyat, bagian dari sikap kritis rakyat terhadap politikus seperti dirinya.

Sesunggunya tiada maksud netizen mengatakan kunjungan Jokowi ke Hambalang itu menghancurkan SBY Tour de Java, yang sebenarnya dimaksud netizen adalah kritik-kritik SBY yang disampaikan kepada Jokoi selama safarinya itu, khususnya tentang kebijakan pembangunan infrastrukur Jokowi itu, menjadi tak berarti dengan kunjungan Jokowi ke Hambalang itu. Karena dari situ, Jokowi langsung tanpa banyak bicara untuk menanggapi kritik-kritik SBY itu, membuktikan bahwa SBY sendiri di masa menjadi presiden juga punya masalah besar dengan pembangunan infrastruktur, yang diwariskan ke Presiden Jokowi. Menjadi beban bagi Jokowi untuk memutuskan akan diapakan proyek tersebut, dilanjutkan, atau diapakan.

Reaksi kegalauan SBY terhadap kritikan netizen yang nota bene terdiri dari anak-anak muda ini merupakan contoh yang bagus dari tulisan psikolog Sarlito Wirawan Sarwono di koran Kompas, Senin, 21 Maret 2016, yang berjudul “Perang Antargenerasi,” yakni pertentangan antara generasi baby-bomber dengan generasi X dan Y. Generasi baby-bomber diwakili oleh SBY, dan Generasi X dan Y diwakili oleh para netizen pengritik SBY.

Menurut Sarlito, Generasi baby-boomer adalah generasi sisa masa lalu, yang lahir selama dan sesudah Perang Dunia II. Mereka adalah generasi yang bangkit dari kehancuran perang dan menginginkan negara yang aman, sejahtera, tata-tentrem, kerta raharja. Mereka mendambakan kemapanan, mencari pekerjaan yang bisa memberi jaminan sampai pensiun, para politisi pun mengharapkan gaji tetap dan besar dari pekerjaannya sebagai anggota parlemen atau sebagai menteri, perubahan harus bertahap. Senioritas sangat dijunjung tinggi; tidak ada yunior yang bisa naik pangkat sebelum seniornya pensiun atau meninggal dunia. Mereka sulit menerima hal-hal baru, sangat mengandalkan hukum dan peraturan yang tidak berubah, dan seterusnya.

Satu ciri khas dari generasi ini: mereka gagap teknologi. Jangankan memainkan gadget, memindahkan saluran TV dengan alat kontrol jarak jauh pun mereka lebih suka minta bantuan cucu. Karena itu, mereka lebih mengandalkan jaringan dunia nyata yang dasarnya sejak dulu adalah perkoncoan, kekeluargaan, dan primordialismeyang dipertahankan melalui tradisi dan penokohan orang-orang tertentu berdasarkan keturunan yang cenderung feodalistik.

Sedangkan, Generasi X dan Y adalah generasi anak-anak dan cucu-cucugenerasi baby-boomer. Di Indonesia, generasi X adalah mereka yang ketika lahir sudah ada TVRI siaran berwarna, dan generasi Y adalah yang lahir di era bukan hanya ada satu stasiun TV, tetapi belasan bahkan puluhan. Teknologi informasi sudah sangat maju sehingga akses terhadap segala macam informasi bisa dijelajah, diunggah, dan diunduh dengan sangat cepat. Berita dan grafis beredar real time, dan dunia benar-benar bukan selebar daun kelor lagi (meminjam kalimat pepatah Melayu lama).

 Maka, watak generasi X dan Y tak sabaran. Mereka bukan hanya mendambakan perubahan, tetapi betul-betul ditabrak oleh perubahan yang sangat cepat sehingga kalau tidak ikut berubah mereka akan digilas oleh perubahan itu sendiri. Generasi X dan Y sangat lentur, cepat menyesuaikan diri, anti kemapanan, siapa yang mau maju cepat akan berlari kencang, tidak peduli pada senioritas, kurang peduli pada sistem, prosedur dan birokrasi, berganti- ganti pekerjaan tidak masalah selama pendapatannya meningkat terus. Mereka tak lagipercaya pada satu sumber informasi karena bisa mengakses informasi dari 1001 sumber hanya dengan memencettombol-tombol telepon seluler dengan jari jempol. Jaringan mereka terbangun melalui dunia maya, yang lebih impersonal dan jauh dari primordialisme dan feodalisme.

Jadi, jelaslah sudah kemarahan SBY, merupakan cermin pertentangan generasi baby-bomber dengan generasi X dan Y. SBY adalah sisa-sisa generasi peninggalan zaman lalu, yang mencoba kembali memasuki dunia politik yang kini mulai didominasi oleh generasi masa kini dan masa depan, generasi X, dan lebih utama lagi generasi Y.

“Teman Ahok” merupakan contoh nyata dari generasi Y itu, dan Ahok sendiri yang termasuk generasi X, ia juga dengan natural mengadaptasi dirinya dengan trend politik anak-anak muda itu, maka itu tak heran Ahok sangat diterima generasi tersebut.

Politikus dan calon pimpinan yang tidak bisa mengikuti dan menyesuaikan diri perkembangan zaman yang mulai didominasi genarasi ini, sebaiknya mulai berpikir untuk lebih baik pensiun (dini), yang berasal dari generasi baby-bomber lebih baik beristirahat menghabiskan masa tuanya bersama cucu-cucunya, daripada memaksa diri bertarung melawan zaman. ** (ak)

Sumber tulisan : kompasiana.com

Sumber foto :zadandunia.blogspot.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed