Berikutnya menyaksikan para ojol yang kehilangan penghasilan akibat physical distancing, rakyat yang kehilangan pekerjaan karena harus social distancing, tidak lagi memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, maka masyarakat pun langsung bergotong-royong mengumpulkan donasi untuk menyediakan sembako dan nasi bungkus bagi saudara2 kita yang sedang terkurung di rumah tanpa tabungan.
Masyarakat Indonesia memang tidak diragukan lagi sifat kegotong-royongannya. Dunia pun mengakui dan memuji cara kita mengatasi pandemi corona dengan kerjasama seluruh anak negeri.
Peristiwa 2. Namun, kemarin ketika Pemerintah mengumumkan kenaikan iuran BPJS, tetiba 180° berubah perilaku.
Mayoritas kelas menengah berteriak protes. Apalagi ketika pengumuman terjadi di masa pandemi.
Saya pun dibuat terheran-heran.
Apakah mereka tidak sadar, bahwa iuran yang mereka bayarkan setiap bulan, digunakan oleh mereka yang sedang terkapar di rumah sakit, mereka yang divonis dokter harus menjalani operasi dan kemoterapi, mereka yang tak terduga menemui kecelakaan lalu lintas di jalan, mereka yang harus melahirkan secara caesar, dst.
Dan berkat gotong-royong dari masyarakat yang membayar iuran setiap bulan, dari masyarakat yang patuh membayar pajak, mereka yang sedang ditimpa musibah dan bertarung nyawa bisa terselamatkan melalui fasilitas2 kesehatan.
Sebelum tahun 2014, entah bagaimana nasib mereka.
Mungkin ada yang harus menjual rumah, kendaraan dan barang berharga lain untuk biaya operasi dan kemoterapi. Mungkin harus mencari hutangan kesana kemari demi menyelamatkan nyawa orang terkasih. Mungkin lebih banyak lagi yang hanya mampu terkapar di rumah sambil menahan siksa & nyeri hingga ajal menjemput karena tiada biiaya membayar dokter, obat dan kamar inap.
Jadi di mana beda kegotong-royongan antara peristiwa 1 & 2 ?
Adakah beda di antara keduanya ?
Setiap kali kita tertimpa musibah dan mewajibkan berhadapan dengan para dokter, tanpa sadar tangan kita menerima uluran bantuan dari banyak dompet masyarakat.
Ada yang ditransfer dari rekening banknya, ada yang dikirim melalui kasir alfamart & indomart, ada yang dititipkan melalui bos di tempat kerjanya, dan ada pula yang dititipkan ke kantor pajak.
Kita menerima donasi2 tsb tanpa pernah tahu wajah-wajah para dermawannya. Bahkan untuk mengucapkan terima kasih pun tidak pernah terpikirkan, karena entah para dermawan berada di mana saja.
Namun tiba masa sehat, lupa kewajiban kita untuk berganti mengulurkan tangan. Ada saja alasannya. SPP anak yang belum terbayar. Listrik yang tagihannya naik terus. Cicilan rumah, kendaraan dan anak yang merengek minta uang jajan.
Mungkin karena ketika sehat, kita tidak pernah terpikir untuk mengunjungi saudara kita yang terbaring di rumah sakit dan antrian orang2 di ruang poli, maka tak pernah juga terpikir, Ya Tuhan biaya berobat itu tidak murah… mereka pasti membutuhkan bantuan..
Seriyes. Seringkali saya dibuat terheran-heran dengan people +62,
Mungkin nama BPJS harusnya diganti menjadi APD saja,
Supaya masyarakat mau kembali bergotong-royong dengan suka cita dan mengharap surga…
Asuransi Pertemuan Dengan Dokter-Dokter.
(Sumber: Facebook Heni Nuraini)
Comment