by

Kekeliruan Berjilbab

Oleh: Kajitow Elkayeni
 

Sebelumnya saya tegaskan, kita tak perlu bertengkar lebih jauh soal ini. Percayalah, di level pengetahuan menengah ke atas, khilafiah soal jilbab dikembalikan pada keyakinan masing-masing. Ayat dan dasar hukum yang digembar-gemborkan itu memiliki titik ayun berbeda, sesuai perspektif. Artinya, hukum wajib dan tidaknya berpulang pada kenyamanan masing-masing pihak dalam menerapkan hukum tersebut. Ada banyak hal jika hendak dibahas sampai ke renik-reniknya, dan hal membosankan itu dipastikan tidak akan memuaskan kedua belah pihak.

Di tingkat dasar, wajar ada kengototan. Kebenaran menjadi sangat kaku, bahkan cenderung berbahaya bagi yang berseberangan. Maklum kata “wajib” di sana terkandung konsekuensi, pelanggarnya akan menanggung hukuman, termasuk nenek-nenek mereka di masa lalu yang tidak mengenakannya, sebelum tren jilbab ini begitu menghebohkan.

Di sini, bukan soal hukum itu yang ingin saya singgung, tapi beberapa hal lain yang tak disadari pengguna jilbab. Yang sering terjadi dan tak dipahami kalangan awam adalah sesuatu yang berkaitan dengan niat atau hati, termasuk pemahaman aspek kebudayaan.

Bagi yang meyakini penggunaan jilbab adalah sebuah kewajiban setiap muslimah, niat adalah unsur pokok yang membuat perbuatan itu nantinya mendapat pahala atau menjerumuskan ke dalam neraka. Sesuai keyakinan tadi, bahwa jilbab diwajibkan. Seseorang yang memakai jilbab dan ia meyakini “hanya” dengan selembar kain itu membuatnya lebih suci, lebih bersih, lebih terjamin masuk sorga, ia baru saja menyia-nyiakan upaya baiknya sendiri. Perbuatan itu telah rusak sejak dalam niat. Bibit yang rusak ini tidak akan menghasilkan tunas. Di dalamnya tidak saja terkandung ketakaburan, tapi juga riya, fanatisme berlebihan, juga sinisme terhadap pihak yang berseberangan.

Maka kekeliruan niat ini mengakibatkan serangkaian kekeliruan yang lain. Lahirlah budaya jilbab instan. Seseorang dengan otomatis akan jadi baik hanya dengan menutupkan kain pada kepalanya. Maka koruptor perempuan, mendadak ikut berjilbab ketika mengikuti persidangan kasusnya. Atau artis dengan masalah tertentu, mendadak berjilbab demi memoles nama baiknya. Tak perduli sekalipun ia bintang film panas di masa lalu. Dengan berjilbab, banci seperti Dorce sekalipun akan dipanggil “Bunda” dan dicium tangannya dengan takzim.

Ada pula perempuan yang menganggap dengan berjilbab akan terlihat lebih cantik. Ini kekeliruan paling telak, yang dijadikan umpan oleh para pengelola bisnis busana muslimah, terlebih jika pemiliknya memang artis. Fungsi dan tujuan jilbab yang pertama adalah untuk menutupi kecantikan perempuan. Meskipun awal anjuran berjilbab itu untuk mebedakan perempuan merdeka dengan budak. Di masa lalu, lelaki arab jahiliyah sering mengganggu perempuan yang keluar malam. Jika diperingatkan, mereka akan beralasan tidak tahu kalau perempuan yang mereka ganggu itu merdeka. Maklum, budak waktu itu tidak dianggap sepenuhnya manusia. Perempuan budak bisa dilecehkan semaunya karena mereka hanya aset saja.

Akibat dari anggapan keliru ini lahirlah jilboob. Perempuan berjilbab dengan tenang menonjolkan payudara, bokong, dan bagian-bagian tubuh yang semestinya lebih wajib untuk ditutupi daripada kepala. Dari kekeliruan ini pula muncul tren jilbab dengan beraneka bentuk dan warna. Bukan untuk menutupi kecantikan itu, tapi ingin mempertontonkannya pada khalayak. Perempuan berjilbab karena ingin terlihat cantik sekaligus agamis. Prilaku ini menciptakan sebuah ladang bisnis baru dengan mengatasnamakan agama. Para ustadz dan artis papan atas berlomba bermain di sini, termasuk Felix Siaw. Jilbab menjadi komoditas modernisme dengan embel-embel dogma dan ancaman neraka.

Ada kekeliruan lain dari segi pemahaman aspek kebudayaan. Di Arab (terutama Saudi Arabia), tempat lahirnya busana jilbab dan jubah (tawb), masyarakatnya dibentuk dalam budaya tertutup dan penuh kecurigaan. Maka mereka membangun tembok tinggi di sekeliling rumah, demi memisahkan orang luar dengan orang dalam. Tidak ada acara saling mengunjungi dengan sesama tetangga, apalagi bertegur-sapa dengan lawan jenis. Keramah-tamahan Indonesia jadi aib besar di sana. Perempuan di sana dibatasi ruang geraknya sedemikian rupa, terlebih jika mesti bersinggungan dengan lelaki luar. Jikapun mereka bekerja, lingkungan mereka dibuat homogen, yang hanya diisi oleh jenis mereka saja. Jilbab adalah tembok portabel yang membatasi ruang gerak mereka di luar tembok rumah. Dengan kebudayan plural seperti Indonesia, fungsi awal ini tidak akan pernah bisa dipenuhi. Di sini, perempuan dan laki-laki diarahkan untuk setara. Bahkan di masa lalu, perempuan bisa jadi ratu.

Kekeliruan pemahaman ini melahirkan ilusi busana muslimah. Bahwa apa yang berlaku di Arab, wajib juga diterapkan di Indonesia. Tiba-tiba saja di daerah Bogor banyak perempuan memakai burqa (cadar) dan abayah (baju panjang hitam). Fungsi burqa dan abayah ini adalah sebagai tembok portabel tadi. Di daerah asalnya, ia dinilai sebagai warna yang paling cocok untuk membatasi perempuan dari bercampur dengan laki-laki. Padahal itu tak mungkin bisa dilakukan, ketika perempuan dan laki-laki telah disejajarkan, dalam pendidikan, pekerjaan, interaksi sosial. Jika memang ingin diterapkan, kebudayaan Indonesia yang plural dan terbuka ini harus dihilangkan terlebih dahulu dan diganti dengan kebudayaan tertutup Arab.

Kekeliruan dari segi niat dan pemahaman aspek kebudayaan tadi melahirkan generasi bias dewasa ini. Tren jilbab begitu menghebohkan. Propaganda mewajibkan berjilbab mulai dengan gigih dijalankan oleh jamaah tertentu di kampung-kampung, door to door. Dan mereka menganggapnya sebagai jihad. Setiap rumah didatangi dan terang-terangan menyuruh istri orang lain untuk ikut berjilbab. Ibu-ibu yang sudah menopouse, yang dalam bahasa quran diperbolehkan memperlihatkan “perhiasannya” justru jadi ikut-ikut tren berjilbab. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman, baik dari segi tekstual (pedoman) maupun kontekstual (kebudayaan). Barangkali dengan berjilbab itu, mereka menganggap telah otomatis kaffah dalam beragama, masuk golongan baik dan layak masuk sorga. Subhanallah!

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed