by

Kekacauan Alat Ukur

Oleh: Eko Kuntadhi
 

Pemahaman teologis (ketuhanan), serasional apapun, tetap saja hanya dapat ditangkap kebenarannya oleh mereka yang meyakini. Orang yang berbeda keyakinan, bisa mempelajari konsep teologi agama lain, tapi belum tentu bisa meyakini kebenarannya.

Artinya, sebagai sebuah pondasi keyakinan, pemahaman teologis itu sifatnya subjektif. Untuk menilai kebenarannya, alat ukur yang digunakan juga khusus, artinya hanya menurut tuntunan agama tersebut.

Itu yang terjadi dalam ceramah Rizieq Shihab, yang kini heboh. Rizieq menilai konsepsi teologi kristen dengan kacatama Islam. Bukan juga. Tepatnya Rizieq berkomentar tentang konsepsi teologis kristen dengan logika anak TK. “Kalau Tuhan dilahirkan, bidannya siapa?”

Al Quran sendiri memperingatkan untuk tidak menghina konsep teologis agama lain. Sebab nanti akan jadi perdebatan, dan orang lain akan menghina konsep teologis Islam. Kenapa? Karena penghinaan atau pengkritikan konsepsi teologis orang lain, pada akhirnya akan terjadi balas kritik.

Kritik tanpa pengetahuan, tentu akan sangat menyakitkan. Orang muslim merasa gak enak jika konsepsi beragamanya dinilai dari kacamata Kristen, misalnya. Atau sebaliknya.

Bagi saya, meyakini kebenaran agama tidak harus disertai dengan penghakiman bahwa agama lain adalah salah. Dengan kata lain, kebenaran yang kita yakini tidak menjadi tambah benar dengan membongkar kesalahan agama lain. Toh, cara kita membongkarnya juga menggunakan perangkat keyakinan kita sendiri.

Penghinaan Rizieq pada konsep ketuhanan Kristen, seperti kata Quran, sesungguhnya mengundang orang untuk balik mengkritik konsep ketuhanan Islam. Kita tidak akan pernah menemukan titik temu dari diskusi dengan dua alat ukur yang berbeda. Yang ada hanyalah saling mencela.

Ini sama maknanya ketika hujjah agama yang sakral dibetot-betot untuk kepentingan politik praktis. Yang akan terjadi adalah penggunaan kita suci untuk propaganda murahan.

Legilitasi agama untuk politik, cukuplah dengan ajaran tentang perbuatan adil, berlaku baik pada fakir miskin, memegang amanah, tidak korup dan ajaran moral kepemimpinan lainnya. Agama dijadikan dasar moral. Bukan slogan kampanye.

Ketika ujaran-ujaran agama dijadikan slogan kampanye, dan karena politik sarat kepentingan, itu akan menarik orang melakukan kritik. Sebetulnya yang dikritik adalah perilaku politisi yang menjadikan agama sebagai bahan tunggangan politik. Bukan ajaran agamanya. Tapi orang yang di kepalanya banyak kekacauan, biasanya melakukan penilaian gebyah uyah.

Mengkritik perilaku beragama atau politisasi agama sungguh berbeda dengan mengkritik agamanya. Keduanya punya alat ukur yang berlainan.

Cara befikir yabg mencampurkan alat ukur itulah yang terjadi belakangan ini. Rizieq membahas konsepsi ketuhanan kristen dengan alat ukurnya sendiri. Yang terjadi adalah kegaduhan.

Dan orang menilai kritik Ahok pada perilaku politisi yang gemar mengunakan agama untuk kepentingannya, dianggap sedang mengomentari Al Quran.

Cara berfikir dengan alat ukur yang campur aduk inilah yang melanda Indonesia sekarang.

Kita seperti sedang menghakimi sayur asem dengan standar opor ayam. Atau kita seperti menilai proporsionalitas bentuk tubuh pemain Sumo, dengan ukuran badan model catwalk.

Dari jaman Nabi Adam sampai jaman Adam Levine juga gak akan ketemu diskusinya.

 

(Sumber: Status Facebook Eko Kuntadhi)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed