by

Kebersamaan di Istana Negara

 

Bukan hanya membuat ritual baru (membawa bendera pusaka Merah Putih dari Monas ke Istana Merdeka) melainkan juga ritual formal kenegaraan menjadi kegembiraan bersama. Warna-warni pakaian daerah, dari presiden, pejabat negara, tokoh masyarakat dan rakyat jelata, menunjukkan ghirah yang mengalir begitu saja.

Tentu hal itu ‘hanyalah’ nilai ritual simbolik. Namun tak satu pun bangsa di dunia ini, bisa merumuskan kebersamaan warganya di luar nilai-nilai simbolik yang dimunculkan. Negara-negara modern, seperti AS dan Eropa, Cina, Jepang, dan lain sebagainya, selalu mengagendakan ritus sosial semacam itu dalam berbagai adat dan kebiasaan mereka.

Melalui simbol-simbol yang dikenakan, Jokowi sedang membangun kebersamaan, toleransi, saling menghargai, dan tentu untuk saling memperhatikan. Feedback yang muncul, dari interaksi penuh kegembiraan itu, adalah perjumpaan dan kebersamaan.

Meski hanya sejenak, setahun sekali, kemeriahan ulang tahun kemerdekaan negara itu memberi vibrasi kejiwaan penting. Belum lagi dalam upacara resmi kenegaraan, bukan hanya upacara atau ceremonial formal. Lagu-lagu dilantunkan, gerak tari diperlihatkan, dengan kegembiraan yang sama.

Kebudayaan, atau setidaknya kesenian, memiliki kekuatan inspirasional untuk menggerakkan terjadinya perjumpaan dan dialog. Apalagi jika negara perlahan mampu memberikan ruang-ruang publik bagi berbagai bentuk inisiasi dan partisipasi rakyat, khususnya anak-anak muda.

Kita berada dalam semangat perubahan jaman, yang bergerak cepat oleh revolusi teknologi. Dengan sendirinya, hal itu memberi ruang partisipasi, dan kesempatan tumbuh. Pluralitas sebuah bangsa menjadi lebih penting di luar jargon-jargon yang mengingkari keberagaman.

Bangsa Indonesia adalah bangsa adaptif. Kita melihat perpaduan pakaian lokal dengan kewajiban berpakaian syari’e (bagi perempuan Islam), bisa diakomodasi dan dipadupadankan dengan mudah. Tak perlu tegangan yang dibuat-buat dan dicari-cari.

Jokowi sedang melakukan pencitraan? Tentu saja. Karena kita butuh identitas sebagai bangsa yang tak mudah, yang beragam, dengan kegembiraan dan optimisme. Bagi yang hanya punya sinisme, nyinyirisme, tentu tak mudah, apalagi yang tak bisa membedakan tertawa dan menertawai.

(Sumber: Facebook Sunardian Wirodono)
 
 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed