by

Kebebasan Pers dan Kebebasan Jurnalis

Karni Ilyas bukan jurnalis independen! Sebaliknya dia contoh paling kasat mata dari jurnalis / wartawan senior partisan.

Karni bisa membahas apa saja di ILC khususnya yang mendeskriditkan /menyudutkan, bahkan memaki maki pemerintahan Jokowi dan lembaga negara – atas nama kontrol sosial dan menjalankan fungsi anjing penjaga (watch dog) atau pilar ke empat demokrasi.
Tapi apakah Karni Ilyas bisa melakukan hal yang sama dan adil untuk membahas skandal di perusahan Grup Bakrie – induk usaha TVOne?

Jawabanya : Mustahil! Tidak mungkin!

Saya masih ingat bagaimana kemarahan seorang anak Aburizal Bakrie saat terselip iklan kampanye Jokowi di web Viva.co.id, jelang pemilihan legislatif, awal April 2014 lalu. Dia minta iklan itu diganti.

“Apabila ada yang tidak suka akan kebijakan saya ini, silahkan ajukan surat resignation sebelum ayam berkokok besok pagi. Lebih cepat lebih bagus. Saya benci orang2 munafik atau pun orang bodoh yang tidak loyal, ” tulisnya via email yang beredar ke publik.

Atas insiden itu – sejumlah petinggi Vivanews mengundurkan diri – antara lain Uni Lubis dan Nezar Patria.
KITA sama sama tahu Bakrie Grup terlibat dalam skandal lumpur Lapindo – yang masih belum beres hingga kini – dan kini namanya kerap disebut dalam kasus Jiwasraya yang merugikan negara triliunan rupiah. Tapi pembahasan berjam jam di ILC untuk skandal Lapindo – yang merugikan warga Porong – Sidoardjo dan merugukan negara. Juga skandal Jiwasraya, yang merugikan nasabahnya tak pernah ada. Tak akan ada. Mimpi di siang bolong.

Itu artinya bahkan jurnalis sekawakan dan sesesenior Karni Ilyas tidak bisa menjaga independensi. Independensi pers menjadikannya ilusi.

Maka saya menganggap, Karni Ilyas, yang dulu saya kagumi – sudah menggadaikan profesinya dan jiwanya kepada korporasi yang merugikan negara.

Untuk setiap acara yang disajikan ILC di TVOne sekarang ini adalah upaya mengalihkan perhatian dari skandal Lapindo dan Jiwasraya. Bukan talkshow produk pers atau jurnalisme independen yang mendidik masyarakat.

Dengan sengaja bahkan dia berikan mike dan podium kepada para oposan dan narasumber yang tidak “qualified” untuk ngomong apa saja – sesuai topik acara – dan dia melakukannya dengan sengaja atas nama kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Demi mengalihkan perhatian publik dari kasus Lapindo dan Jiwasraya.

Saya pernah menanyakan dan mengkonfirmasikan hal ini kepada pakar hukum pers, Wina Armada SA. Jawaban yang diberikannya adalah pertanyaan balik : “Apakah media seperti itu layak mendapat perlindungan dari UU Pokok Pers? ” tanyanya.

Wina Armada SA adalah sahabat Karni Ilyas di majalah “Forum Keadilan”, dan sama sama pengacara, juga sama sama pendiri ILC.

Hari hari terakhir, menjelang pensiun dari media yang membesarkan selama ini, saya hidup di lapangan bersama wartawan yang beroperasi dengan mengandalkan pengganti transport ala kadarnya dari sebagian narasumber yang sedang mempromosikan produknya atau sosialisasi kebijakan lembaganya demi mempertahankan pekerjaannya yang sudah digeluti selama puluhan tahun.

Kepada mereka saya menaruh hormat dan salam takzim.

Sedangkan Karni Ilyas – yang saya dengar gajinya ratusan juta per bulan – mempraktikkan jurnalisme partisan bukan demi nafkah keluarga. Melainkan untuk “rating”, kesenangan dan “bargain power” korporasi dimana dia bekerja. Independensi pers diatas-namakan.
Dia tidak sebebas Uni Lubis cs yang memilih mundur daripada tunduk pada tekanan anak konglomerat AB.

“Di Indonesia kebebasan pers sudah ada dan terjamin. Tapi tidak ada kebebasan jurnalis, ” kata Haris Jauhari, pendiri IJTI – Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, menengahi.
Di negeri tercinta ini, kata Haris Jauhari, pers lebih maju dibanding film. Semua film yang akan ditayangkan bioskop atau teve wajib sensor. Dulu ada Badan Sensor Film (BSF), kini jadi Lembaga Sensor Film (LSF).
Sedangkan pers tidak. “Terhadap pers tidak dikenai sensor, ” begitu maklumat undang undang pokok pers (UU Pers) No.40 tahun 1999 pasal 4 ayat 2.

“Penyensoran, pembredelan atau pelarangan siaran tidak berlaku pada media cetak dan elektronik, ” tegas Dewan Kehormatan PWI Pusat melalui siaran persnya, di Jakarta, Desember 2016.

“Pers bebas memberitakan apa saja, tak ada sensor. Tapi jurnalis tidak! Kalau ada berita (bikinan jurnalis) yang bertentangan dengan kepentingan korporasi yang menaungi medianya, pasti tidak akan bisa tayang, ” potong Haris Jauhari.

Artinya jurnalis Indonesia tidak independen.

Haris menegaskan, kebebasan pers adalah satu hal. Kebebasan jurnalis adalah hal lain. Pers adalah lembaga dan perusahaan media – sedangkan wartawan adalah perseorangan.

Haris Jauhari bahkan menanyakan apakah teve swasta yang ada saat ini layak disebut sebagai perusahaan pers? Sebab, muatan jurnalistiknya sedikit sekali. “Kebanyakan malah menayangkan sinetron, musik dan acara hiburan lainnya, ” katanya

“Saat ini negara melindungi lembaga pers. Tapi tidak melindungi para jurnalis, ” tegasnya.
KEBERADAAN Dewan Pers pun lebih banyak membela perusahaan pers ketimbang membela kebebasan jurnalistik dan wartawannya, katanya lagi.

Bersama Hari Jauhari, saya menjadi wartawan sejak awal 1980an dan terus menulis hingga sekarang ini. Saya tidak pernah mengerjakan pekerjaan lain selain di bidang media dan jurnalistik.

Kalau Anda bertanya kepada saya, adakah kebebasan / independensi jurnalis di Indonesia ?
Sebagaimana disampaikan teman saya yang ganteng, Haris Jauhari, jawaban saya senada : NO lah !! ***

PS :
“Kita memang beda kasta. Kita kelasnya amplop. Sedangkan dia, dia, dia, kelasnya karung, ” kata teman reporter di lapangan.

Sumber : Status Facebook Supriyanto Martosuwito

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed