Oleh : Eki Caesar Marhaban
Menjelang pilkada, sudah tentu merupakan momen penting bagi masyarakat sebagai ajang memilih pemimpin yang baru yang mewakili aspirasi masing-masing individu. Pesta demokrasi yang seharusnya diwarnai kemeriahan dan harapan perubahan baik bagi masyarakat dan darah yang dicintai. Namun benarkah suasana pilkada tersebut sesuai dengan impian yang ideal?
Sudah menjadi hal lumrah jika menjelang pilkada, akan timbul persaingan di antara sesama bakal calon. Sah-sah saja jika setiap calon mempromosikan diri dengan kampanye-kampanye dan promosi besar-besaran di berbagai media dan melalui kegiatan sosial masyarakat. Diharapkan bisa meraih simpati masyarakat dan mendulang suara terbanyak ketika pencoblosan.
Sayangnya, sejak dahulu selalu saja ada persaingan tidak sehat di antara bakal calon pemimpin tersebut. Mulai dari saling menjelekan bahkan menjatuhkan satu sama lain, memprovokasi masyarakat bahkan menciptakan konspirasi dan propaganda tertentu untuk menjatuhkan lawan yang berujung kepada saling fitnah dan terkadang mengangkat isu SARA.
Baru-baru ini muncul dalam media tentang isu dugaan penistaan agama. Hal tersebut muncul di Daerah ibu kota negeri ini yang tak lama lagi akan menyelenggarakan pilkada. Dalam pemberitaan di berbagai media dikabarkan bahwa Gubernur DKI Jakarta yaitu Basuki Tjahya Purnama yang akrab dipanggil Ahok, diduga telah menistakan Agama Islam dalam sebuah pidatonya di daerah Kepulauan Seribu.
Dikatakan bahwa Ahok menghina Islam dengan menyebutkan bahwa masyarakat jangan mau dibodohi dengan Surat Al Maidah yang berbunyi:
Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah[*] itulah yang pasti menang. (Q.S. AL Maidah ayat 56)
[*]. Yaitu: orang-orang yang menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman. (Q.S. AL Maidah ayat 57)
Ahok menyeru dalam pidatonya agar jangan mau dibodohi dengan ayat tersebut dalam memilih pemimpin. Hal itu menuai kontroversi dan membuat mayoritas umat Muslim tersinggung dan marah. Sehingga sebagian elemen masyarakat, ormas Islam, bahkan Majelis Ulama Indonesia pun turut angkat bicara mengenai peristiwa ini. Dan kebanyakan dari mereka menganggap hal tersebut sebagai penistaan agama.
Jika dilihat dari permukaannya saja, mungkin ini adalah hal yang murni menyangkut ranah agama. Tapi dilihat dari kacamata politik, ini lebih terkesan konspirasi besar untuk menjatuhkan Ahok sebagai bakal calon Gubernur DKI. Dengan mengatas namakan Agama.
Saya sebagai penulis sama sekali bukan pendukung siapapun. Dan tidak tertarik sedikit pun mengenai isu ini. Hanya saja saya merasa miris, dengan mudahnya sebuah umat menghakimi seseorang dengan alasan menistakan agama sebelum ia melakukan pembelaan. Terlebih Ahok sudah menyatakan permintaan maaf kepada umat Islam yang merasa tersinggung.
Lebih parahnya lagi, Majelis Ulama Indonesia yang sangat dihormati, bukannya menengahi pertikaian ini dengan jalan damai, MUI malah memperkeruh keadaan dengan segera memvonis hal ini sebagai penistaan agama. Padahal Ahok sudah meminta maaf. Bukankah umat Islam harus selalu memaafkan setiap orang sebelum yang bersalah meminta maaf, apalagi kalau sudah minta maaf.
Dalam situasi politik di Ibukota yang sedang memanas ini, tentu kita harus mampu berpikir jernih. Yang dimaksud oleh Ahok tentang jangan mau dibodohi oleh surat Al Maidah itu adalah supaya umat muslim berpikir jernih. Banyak orang yang memanfaatkan ayat tersebut untuk menyingkirkan lawan yang non muslim.
Ayat tersebut banyak dipergunakan oknum tertentu untuk kepentingan pribadi atau golongan. Dengan memicu hal yang sangat fundamental. Padahal, orang yang mempergunakan dalil tersebut tidak selalu berdasarkan kepentingan agama dan umat. Banyak yang menggunakannya untuk kepentingan pribadi semata dalam politik atau bisnis.
Apalagi umat islam yang dirasa sangat mudah tersinggung dan sensitif, dirasa mudah diperalat agar mudah membenci seseorang atas nama agama. Padahal dalam islam dilarang saling membenci terhadap sesama manusia sekalipun berbeda keyakinan. Seharusnya umat Islam jangan mau diadu domba atas nama agama, padahal ini hanya taktik politik dan yang diuntungkan adalah kepentingan pribadi dan golongan.
Sekarang mari saling berkaca diri. Bukankah tidak sedikit pula umat islam yang sering menistakan keyakinan umat yang lain dalam berbagai dakwahnya. Tapi umat lain selalu memahami karena itu masalah keyakinan masing-masing dan mereka tidak pernah marah apalagi menuntut atas penistaan agama.
Sebagai contoh, sering dalam dakwah umat Islam yang menjelekan umat Yahudi sebagai kaum yang terkutuk, umat Nasrani sebagai kaum yang sesat, umat Hindu dan Budha sebagai penyembah berhala dan aliran-aliran kepercayaan lain pun dicap musyrik dan dianggap menjijikan. Lalu apa tanggapan dari umat mereka? Mereka hanya tersenyum saja. Seharusnya umat Islam malu.
Selama ini umat non muslim hanya berdiam dan tidak menuntut apapun pada umat Islam. Bagaimana jadinya jika umat lain sama kerasnya dengan umat Islam dan merasa dinistakan? Yang terjadi pastilah perang saudara tiada akhir dan hanya menyisakan penderitaan yang berkepanjangan. Seharusnya umat Islam jangan merasa benar sendiri dan jangan selalu berprasangka buruk terhadap umat lain.
Ketika Nabi Muhammad SAW. Dilecehkan, diancam dan dinistakan oleh musuh-musuhnya yang selalu memperolok agama Islam, Nabi Muhammad SAW selalu menanggapi mereka dengan bijaksana sehingga banyak musuh Nabi SAW. Yang terpesona dengan akhlaknya sehingga musuh pun berbondong-bondong masuk Islam.
Akan tetapi, baru segitu saja Ahok bicara yang maksud dan tujuannya saja belum sampai dipahami umat Islam sudah langsung memvonis penistaan agama. Orangnya sudah minta maaf, bukannya dimaafkan malah lebih senang berseteru daripada berdamai. Apakah umat islam lebih senang saling menghancurkan seperti di Jazirah Arab yang selalu berkecamuk peperangan sekalipun dengan saudara sebangsa yang mudah diadu domba oleh kepentingan tertentu?
Jika umat Islam memang merasa umat yang terbaik dan terpilih, seharusnya menunjukan kewibawaannya dengan tidak takut dinistakan oleh siapapun. Jika merasa umat terbaik, tidak perlu pengakuan dari umat lain, cukup tunjukan sifat welas asih yang akan memikat umat lain. Tidak perlu risau sekalipun dinistakan, Allah itu maha perkasa dan akan menjatuhkan hukuman bagi siapapun yang menurutnya pantas dihukum, bukan yang pantas dihukum menurut manusia.
Seandainya umat Islam ini lebih tawakal dan tidak mudah tersinggung, mungkin umat lain akan terkagum-kagum dengan kemurahan hati umat Islam. Bahkan jika saja setelah Ahok minta maaf kepada masyarakat yang tersinggung, lalu dengan hati lapang, umat Islam menyambut dan memaafkan Ahok setulus hati, bukan tak mungkin Ahok terpesona dan bisa saja ia masuk Islam.
Sangat menggelikan jika umat yang terbaik ini kok mau-maunya diadu domba dan dijadikan alat politik oleh oknum tertentu untuk menjatuhkan lawan politiknya. Sebagai umat terpilih, jangan mau diprovokasi dan tenggelam dalam konspirasi kotor orang-orang yang menjual agama demi kepentingan duniawi.
Ciri-ciri orang yang tersesat adalah yang mudah memvonis sesat kepada sesuatu yang berbeda dengan dirinya. Hatinya tersesat, maka hatinya hanya menampakan kesesatan dari diri setiap orang. Sedangkan orang-orang yang berjalan lurus, selalu bisa mengambil hikmah dan hal baik di tengah-tengah fitnah dan kesengsaraan sekalipun.**
Sumber : Qureta.com
Comment