Oleh: Muhammad Ilham Fadli
Bukan hanya gambar Cut Nya’ Meutia yang digugat. Posisi historis RA. Kartini pun, acap nian diperkatakan. Digugat. Dikeragui dan sejenisnya. Dalam konteks keilmuan, hal adalah sebuah keharusan, bahkan keniscayaan. Agar diperbincangkan. Diuji dan sejenisnya. Namun, ketika keberatan/gugatan karena faktor yang bersifat “like and dislike” (suka dan tidak suka), membuat diskusi tidak akan berkembang. Tak ada manusia yang sempurna. Tak ada tokoh yang paripurna. Kenormalan manusiawi itu terletak pada ketidaksempurnaannya. Kecuali Nabi Muhammad, selebihnya punya cacat-cela. Karena itu, ketika seorang kawan diskusi mengatakan bahwa Cut Nya’ Dien, Rohana Kudus serta Cut Nya’ Meutia loebih layak dianggap sebagai ikon emansipasi wanita dibandingkan RA. Kartini, saya kemudian mempertanyakan alasannya :
Ia menjawab, “Kartini Anak Manja lagi tak tahu secara baik tentang agama (Islam). Bagaimana kita yang mayoritas Islam justru menganggap RA. Kartini jauh lebih bagus dan inspiratif dibandingkan Rohana Kudus, Cut Nya’ Dien, Cut Nya’ Meutia dan seterusnya
(diskusi ringan dengan seorang kawan di sebuah rumah makan, siang ini/31/12/2016)
Bagi saya, mempertanyakan justru membuat sosok historis Kartini menjadi lebih “hidup”. Ketika “si putri sejati” ini dipualam-kan, di-prasasti-kan bahkan dimitoskan, ia akan menjadi kerdil. Kita tidak lagi mengetahui proses, langgam dan latar perjuangannya yang menjadi nilai-nilai inspiratif bagi generasi berikutnya. Mmengkerdilkan kehadiran seorang figur historis, tanpa memahami proses, langgam dan latar dimana figur itu hidup dan berproses, rasanya juga tidak adil. Melihat Kartini dari “kacamata” Rohana Kudus apalagi Cut Nya’ Dien yang maskulin itu, (sekali lagi) rasanya juga tidak adil. Dalam konteks ini pula, kita juga ingin mengkritisi pandangan-pandangan yang selama ini menggugat keabsahan posisi historis Kartini.
Catatan sejarah memang memperkatakan Kartini demikian adanya. Ia tampil dalam panggung sejarah, tidak seperti Rohana Kudus, Rahmah el-Yunusiyyah, Rasuna Said ataupun semaskulin Cut Nya’ Dien dan Cut Nya’ Meutia yang belakangan sedang “dikritisi” juga fotonya di uang baru yang (aka) beredar itu. Bak kata salah seorang sejarawan, “wanita yang emansipatoris itu, bukan wanita lembut diam di rumah, wanita santun, ramah penurut, tapi wanita yang tegas lagi kritikal”. Kalau defenisi ini yang ingin kita pegang, nampaknya Kartini tak masuk kategori pionir wanita emansipatoris. Siti Manggopoh, Cut Nya’ Dien, Cut Nya; Meutia atau Rasuna Said, adalah contoh yang paling pas.
Tapi seperti itukah kita melihatnya ?
Untuk itu, saya mulai dengan contoh lain, tentang Soekarno – Hatta. Kalau Soekarno hidup pada era sekarang nan kritis ini, tentu Soekarno akan dicela-sinis bahwa masyarakat tidak akan “kenyang” dengan pidato menggelora. Tapi karena Soekarno hidup pada “zamannya”, masyarakat Indonesia menjadi terkesima pada seorang orator ulung. Konon, sejarawan, tepatnya biografer, spesialis Soekarno – Cyndi Adams – begitu terkesima dengan “langgam” kata indah nan menggelegar Putra Ida Ayu Rai ini. Soekarno memang ditakdirkan punya kemampuan olah verbal luar biasa. Ia ekspressionis seperti Hitler yang “bergetar” kala pidato di depan Gestapo. Soekarno diterima dengan hangat melalui pidatonya dan hingga sekarang masih inspiratif itu, karena memang ia hidup pada masa teknologi audio-visual (lagi) absen. Ini menyebabkan pesan-pesan politik berlangsung secara lisan, karena itu-lah tokoh yang muncul megah-meriah dihadapan rakyat adalah para singa podium. Karena itu pula-lah, Soekarno bisa menggeser posisi Hatta yang “dingin” serta “rasional”, bahkan di kampung halamannya sendiri. Lihatlah, bagaimana kedatangan Soekarno ke Sumatera Barat (kala itu : Sumatera Tengah) disambut dengan gegap gempita. Kedatangannya membawa pesan pada masyarakat Minangkabau kala itu, sebuah kehadiran “pidato” luar biasa.
Fachry Ali pernah menukilkan dalam sebuah artikelnya dengan mengutip laporan “pandangan mata” Kedaulatan Ra’jat tanggal 7 Juni 1948. “Satu kilometer menjelang Solok, penyambutan rakyat luar biasa meriahnya. Sesampai di kota, rombongan Presiden Soekarno tenggelam dalam lautan manusia yang bergelombang-gelombang itu. Mereka menantikan pidato luar biasa dari seorang Presiden yang dikenal sebagai ahli pidato”. Sambutan spontan luar biasa, jauh dari Tanah Jawa, yang membuktikan bahwa Soekarno milik “semua tanah” Indonesia. Hatta yang rasional dan dingin itu tak disambut segempita Soekarno. Bahkan tokoh proklamator yang oleh Michael Vatikiotis dianggap sebagai “Ayam Gadang Minangkabau” ini dianggap terlampau rasional pada masa itu. Seandainyalah Hatta hidup pada masa sekarang yang lebih mengedepankan rasionalitas dan moralitas, tentu ia akan disambut gegap gempita, oleh ranah sosial politik Indonesia sekarang. Bukan pidato menggelora. Sayang Hatta hidup pada masa dulu.
Dalam konteks di atas, Kartini juga harus kita tempatkan pada ranah sosial budayanya. Ia hidup dalam masyarakat tipikal feodal murni. Bukan hidup dalam ranah haru biru konflik-peperangan Aceh yang melahirkan Cut Nya’ Dien. Atau ranah dinamika-dialektik a-la Minangkabau yang memunculkan Rohana Kudus, Rahmah el Yunusiyyah, atau Rasuna Said. Rohana Kudus, misalnya, memiliki kesempatan untuk berkiprah dalam dunia yang dianggap sebagai “dunia laki-laki” pada masanya, dunia pendidikan dan pers. Alam budaya Minangkabau pada masa itu membolehkan dan memungkinkan Rasuna Said, saudara perempuan satu ayah Sutan Syarir ini, berbuat demikian. Rohana Kudus anak Moehammad Rasjad Maharadja Soetan yang Jaksa itu, memperjuangkan pendidikan bagi perempuan Minangkabau di awal abad 19 dengan membangun sekolah keterampilan Kerajinan Amai Setia dan Roehana School. Ia berasal dari keluarga terpandang-terdidik, dan besar kemungkinan memiliki “DNA pergerakan”.
Demikian juga halnya dengan Rahmah el-Yunusiyyah yang hidup dalam era “keemasan” dunia pendidikan Minangkabau awal abad ke 19, dengan epicentrumnya Padang Panjang. Saudara laki-lakinya, Zainuddin Labay el-Yunussiy, dikenal sebagai pionir-penggagas lembaga pendidikan modern pada masanya, adalah mentor Rahmah. Dan, amat tidak mengherankan apabila pendiri Diniyyah Schooll ini, berkiprah total mengikuti jejak dan “langgam” mentornya pula. Sementara Cut Nya’ Dien, tidak akan mungkin tercatat dalam sejarah sebagai salah satu pemimpin perang Aceh yang heroik, apabila kita tidak memahami kondisi historis dan sosial cultural masyarakat Aceh masa itu. Cut Nya’ Dien ditempa oleh “masanya” untuk harus mengangkat pedang dan senjata melawan colonial Belanda. Ia tidak dibesarkan dalam lingkungan “emas dunia pendidikan” Padang Panjang dan tidak memiliki mentor seumpama Zainuddin Labay el-Yunusiyy. Cut Nya’ Dien ditempa oleh mentor tipe lain, suaminya, Teuku Umar Johan Pahlawan dan aura Hikayat Perang Sabil yang menggetarkan dan memiliki aura teologis yang mengharu biru.
Karena itulah, memahami Kartini, dan kemudian membandingkannya dengan Rahmah el Yunusiyyah, Rohana Kudus apalagi dengan Cut Nya’ Dien, sepertinya membandingkan Soekarno dengan Hatta pada masanya. Kartini harus kita tempatkan dalam nilai-nilai feodal masyarakat Jawa pada awal abad ke-19 tersebut. Dalam kungkungan budaya feodal itulah, Kartini justru memiliki kepedulian besar terhadap kaumnya, walaupun itu hanya terefleksi dalam surat-suratnya dengan Stella Zeehenlander yang fenomenal itu. Surat-surat yang luar biasa inspiratif. Meskipun hanya berpendidikan SD, lingkup pemikiran Kartini meluas melampaui lingkungan kamar dan rumahnya. Bila dibandingkan Cut Nya’ Dien yang berperang ataupun Rahmah yang mendirikan sekolah, tentu “bobot” kiprah Kartini bias dipertanyakan. Apalah daya surat menyurat itu ?.
Saya teringat dengan Karl Marx, bahwa “Kebenaran sebuah teori bukan terletak pada betul atau tidaknya teori tersebut dari aspek ilmu pengetahuan, akan tetapi terletak pada apakah teori itu menggerakkan orang untuk melakukan perubahan atau tidak”. Sebagai salah satu orang yang terkemuka di zamannya, melalui surat-suratnya ke orang Belanda (dalam bahasa Belanda), surat-surat Kartini telah mampu menjadi “penggerak” dan menjadi corong kondisi rakyat Hindia Belanda.
Surat-surat Kartini bukanlah surat-surat biasa sebagaimana halnya dalam sejarah, kita juga mengenal adanya foto yang juga menjadi corong dan perubah pergerakan sejarah ummat manusia. Perang Vietnam “berakhir”, setelah dipublishnya foto Eddie Adams (fotographer Associated Press) yang “memberitakan” Jenderal Nguyen Ngoc Loan, kepala kepolisian Vietnam Selatan menembak kepala seorang komandan gerilyawan vietkong. Foto Eddie Adams tersebut hanyalah satu, oleh seorang wartawan yang tidak memiliki daya tawar tinggi seperti Presiden Amerika Serikat kala itu – Nixon. Eddie Adams memperoleh penghargaan jurnalisme tertinggi, Pulitzer, lewat foto yang diambilnya ini. Namun lebih dari itu, foto ini mengubah opini masyarakat Amerika terhadap Perang Vietnam, memicu gerakan anti perang dan menginspirasi lahirnya generasi bunga di Amerika waktu itu. Demikian halnya dengan surat-surat Kartini tersebut. Kartini langsung berkorespondensi dengan “penjajahnya”, sesuatu yang tidak dilakukan wanita-wanita Indonesia tangguh lainnya. Kartini memberitakan nurani paling dalam dan menjadi miniatur harapan-harapan anak bangsa terjajah. Dalam konteks ini, posisi historis Kartini harus kita tempatkan.
Sayang sekali, ayahnya yang bertindak sebagai pembuka gerbang kesempatan bagi Kartini untuk mengecap dunia luar adalah sekaligus penutup gerbang tersebut. Kartini dinikahkan dengan Bupati Rembang yang sudah memiliki tiga istri. Kartini nampaknya tidak bisa “melawan” mainstream budaya-nya kala itu. Tapi ini bukan berarti Kartini lemah atau manja. Ketergantungannya dan penghormatannya yang luar biasa pada ayahnya tersebut sehingga mau dipoligami (contradiction interminis dengan konsep emansipasi secara “umum”), harus dilihat dalam konteks budaya dimana Kartini hidup. Sama halnya ketika kita mempertanyakan legalitas moral Islam Politik Kekhalifahan Dinasti Umayyah, Abbasiyah dan Turki Utsmany yang selalu dibangga-banggakan oleh sebagian besar ummat Islam, karena praktek hedonis yang membudaya dari para Sultannya, seperti memiliki ratusan selir dalam harem-harem nan sensual.
Mereka ini adalah pemimpin Islam politik sedunia lho, pada masa mereka. Kartini, Rahmah el-Yunusiyyah, Rohana Kudus, Cut Nya’ Dien dan wanita-wanita tangguh lainnya adalah actor sejarah. Saya lebih suka melabelkan mereka dengan istilah ini. Aktor sejarah adalah insan-insan yang memiliki implikasi positif terhadap gerak langkah perubahan masyarakat, sedangkan pahlawan, lebih bertendensi politis. Karena itu, bagi saya, selalu mengkritisi kehadiran aktor sejarah, adalah sebuah keharusan. Bukan memitoskan, karena memitoskan seseorang akan membuat kita menjadi insan yang tidak waras, kata Bung Hatta.
Dengan selalu mengkritisinya, maka kita bisa mendialogkan nilai-nilai inspiratif seorang aktor sejarah yang hidup pada masa lalu dengan “dunia kita” pada masa sekarang, dengan tentunya bersikap adil, empati dan kontekstual. “Ashbabun” aktor sejarah itu, juga harus kita pertimbangkan supaya kita tidak terjebak dalam proses pengkerdilan ataupun pemitosan – bahkan membenci dengan alasan yang harusnya Allah SWT. yang bisa mengukurnya. Sholehah atau tidaknya mereka, mungkin hanya Allah SWT. yang menilainya.
Perempuan-perempuan diatas adalah perempuan-perempuan yang berjuang demi keyakinan yang mereka pegang. Keyakinan yang bukan dilandasi oleh kepentingan kelompok maupun parsial. Tapi kepentingan generasi setelah mereka. Kita dan seterusnya.
Wallahu a’lam
( Muhammad Ilham BLOG
Sebagian tulisan di atas (up-date tgl. 31/12/2016) pernah dipublikasikan di Harian Padang Ekspres tanggal 23 April 2012)
Comment