by

Kapan Gerakan Radikal Khilafah Di Indonesia Dibubarkan?

Oleh : Muhammad Fatkhurrozi

Isu terorisme kembali nge-hits. Bom Thamrin pada 14 Januari lalu disebut-sebut akibat ulah kelompok Islam radikal transnasional, ISIS. Segelintir orang kemudian mengait-ngaitkan terorisme tersebut dengan kelompok yang menyerukan tegaknya khilafah di Tanah Air, yakni Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Lalu, sebenarnya, apakah radikalisme itu? Benarkah ormas radikal -yang mengusung ide khilafah- mengancam Indonesia?

Radikalisme

Kata radikal berasal dari kata radix yang dalam bahasa Latin artinya “akar”. Dalam kamus, kata radikal memiliki arti: mendasar (sampai pada hal yang prinsip), sikap politik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), maju dalam berpikir dan bertindak (KBBI, ed-4, cet.I, 2008).

Jika boleh kita kembalikan kata radikal kepada pengertian asalnya, maka kata tersebut sebenarnya bersifat ‘netral’, tidak condong kepada sesuatu yang bermakna positif atau negatif. Positif atau negatif tergantung dengan apa kata radikal itu dipasangkan. Contoh misalnya “muslim radikal”, maka artinya adalah seorang muslim yang sangat memegang prinsip hidupnya sesuai dengan keyakinannya yakni agama Islam. Dimana baik secara keyakinan, ucapan dan perbuatan semuanya dikembalikan kepada agama Islam sebagai bentuk prinsip hidupnya. Namun bukankah memang demikian sikap seorang muslim seharusnya?. 

Soal radikalisme, Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya, Dr. Imran Mawardi MA, mengatakan, istilah radikalisme sengaja dibuat oleh Barat untuk menghancurkan umat Islam. Sebab, pasca keruntuhan Komunisme (Uni Soviet), satu-satunya ideologi yang menjadi ancaman paling menakutkan bagi dunia Barat adalah Islam. (Hidayatullah.com). Islam radikal disematkan kepada pihak-pihak yang lantang menentang nilai-nilai Barat (seperti kapitalisme, sekularisme dan demokrasi), yakni mereka yang menginginkan formalisasi penerapan syariah Islam, dan ingin menegakkan Khilafah Islam. George W. Bush sendiri sudah mewanti-wanti agar dunia Barat -juga antek-anteknya- berhati-hati pada kelompok yang ingin menegakkan khilafah; seperti yang bisa dilihat di [Youtube link]. Obrolan bule-bule tentang khilafah juga masih banyak, lihat di [1]. Barat berharap agar segala macam usaha ummat Islam untuk hidup dalam naungan super-state ala Islam tersebut dapat kandas dengan memanfaatkan efek peyoratif “Islam Radikal”.

Benarkah mengancam?

Berkutat dalam masalah istilah tentu kurang bijak. Oke kita masuk ke bagian yang substansial, “benarkah kelompok (ormas) Islam radikal mencancam Indonesia?”

Bicara soal ormas radikal di Indonesia, tentu tidak mungkin kita bicara ISIS (karena ISIS bukan ormas resmi di Indonesia :D). Maka kita ambil 1 contoh yang memang disebut “ormas” resmi di Indonesia, yakni Hizbut Tahrir Indonesia (yang paling lantang dan paling ‘dibiarkan’ meneriakkan ide khilafah). HTI diheran-herankan oleh sebagian masyarakat mengapa ormas radikal tersebut bisa bebas berkegiatan menyebarkan “ideologi khilafah” (terakhir Mei-Juni 2015 mereka mengadakan acara akbar di GBK dan di 35 kota besar lainnya). 

Hizbut Tahrir (“Partai Pembebasan”) didirikan 1953 di Jordania, HT dari awal menyebut dirinya partai politik, bukan sekedar gerakan dakwah. Sifatnya yang kosmopolit dan internasional (juga transnasional), membuat HT berada di mana-mana. Di Indonesia HT eksis dengan legalitas sebagai organisasi massa dengan nama HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Sebagai gerakan politik dan da’wah, HT mengambil garis perjuangan dengan mencontoh perjuangan Nabi SAW dalam mendirikan negara di Madinah, intelektual dan tanpa kekerasan [2 & 3], hal tersebut sudah umum diketahui masyarakat. Di berbagai kesempatan, “demo” HTI selalu berjalan damai. HTI juga akrab dengan polisi. Di beberapa kota besar, HTI menyabet penghargaan polisi setempat kategori ormas paling tertib. 

Soal mengancam atau tidak, boleh kita mengacu pada pembahsan “resmi” Departemen Agama Republik Indonesia dalam hasil penelitian Balitbang Diklat Kemenag. Publikasi tersebut pernah dimuat di situs Balitbang Diklat Kemenag tertanggal 23 Juli dengan titel, “Perlukah Risaukan Gerakan Keagamaan Transnasional di Indonesia?” [4]. 

Penelitian tersebut diakui telah berhasil menjelaskan bagaimana sebenarnya posisi gerakan keagamaan transnasional itu dalam konteks perubahan sosial-keagamaan dan sosial-politik di Indonesia. Hasil paling penting dari penelitian itu adalah kesimpulan bahwa keberadaan gerakan keagamaan transnasional di Indonesia secara agama, politik dan ekonomi tidaklah membahayakan NKRI. Alasannya, disebutkan bahwa bagaimanapun (mereka) adalah warga negara Indonesia. Penelitian itu kemudian merekomendasikan kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama agar tidak perlu merisaukan keberadaan gerakan-gerakan keagamaan transnasional ini.

Menarik juga untuk merefer pada salah satu tokoh parpol nasionalis di Indonesia -yang bahkan nonmuslim-, Effendi Simbolon (PDIP), soal penegakan syariah Islam. Beliau dalam suatu kesempatan pernah menyatakan bahwa beliau justru terheran-heran pada orang Islam yang tidak mau menerapkan syariah. Baginya, justru dengan syariah Islam lah Indonesia bisa bebas dari cengkraman neoliberalisme ekonomi [5].

Tapi konon Bahrun Naim, yang katanya dalang di balik bom Thamrin itu, adalah anggota HTI. Tapi itu dulu, dan itu dibenarkan oleh jubirnya, Ismail Yusanto. Tapi mengait-ngaitkan aksi terorisme Thamrin dengan ‘ajaran’ HTI tentu kurang bijak. Ini seperti mengatakan bahwa “Si Amrozi pernah masuk -misalnya- TK “Bina Bangsa”. Tahun 2002 dia jadi teroris, dia ngebom di Bali. Maka TK Bina Bangsa adalah TK pencetak teroris.” Jadi memang kurang tepat bila mengalamatkan gelar teroris pada suatu jama’ah akibat ulah salah satu oknum -yang bahkan sudah tidak sehaluan dengan jama’ah tersebut. Tuduhan tersebut juga belum mempertimbangkan fakta di lapangan seperti apa aktivis HTI yang sebenarnya dan belum pernah ngoprek-ngoprek kitab yang diajarkan HT.

Last, mengungkit-ngungkit sesuatu atas ketakutan yang tidak berdasar (gerakan khilafah yang katanya mengancam) dan melupakan pokok permasalahan bangsa adalah tindakan gegabah. Orang tersebut perlu tahu, di Papua dan Maluku sana ada organisasi yang lebih radikal, siap memecah belah NKRI, dan benar-benar merancang makar. Juga orang itu perlu baca berita, siapa yang telah menjual murah tambang emas di Mimika dan Sumbawa, atau ladang migas di Cilacap, atau di Mahakam, dll. Juga mengobral BUMN-BUMN atau meliberalisasi perusahaan pembangkit listrik, air bersih, dan proyek-proyek infrastruktur. Atau juga yang kemarin sempat santer, kebun sawit yang sempat terbakar, yang jelas-jelas ‘meneror’ jutaan warga hingga menyebabkan korban jiwa.

Alhasil, mencoba mengait-ngaitkan terorisme dengan ide khilafah, apalagi membuat petisi untuk membubarkan ormas Islam -intelektual- yang mengusung ide khilafah menurut penulis malah ada kesan orang itu belum melek politik, bisa dibilang juga kurang piknik. Mereka belum pernah ngeteh bareng Ustadz Felix Siauw yang biasanya ngisi pengajian para ABG di SMA SMA atau kantor-kantor. Atau belum pernah ngopi bareng pejabat DPRD, Walikota, Bupati, yang pernah beramah-tamah dengan orang HTI. Atau juga belum pernah tamasya ke car free day di kota-kota besar yang ada aktivitas HTI nya. Atau belum nyoba jadi intel atau polisi yang suka nongkrong bareng aktivis HTI yang biasanya demo halaman gedung pusat pemerintahan. Sekian. []  

 

Referensi:

[1] http://hizbut-tahrir.or.id/2009/09/21/khilafah-dalam-pandangan-barat/ 
[2] http://hizbut-tahrir.or.id/tentang-kami/ 
[3] http://www.fahmiamhar.com/2010/01/hizbut-tahrir-sebuah-analisis-politik.html  
[4] http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/religi-nusantara/15/07/19/nrqhne-perlukah-risaukan-gerakan-keagamaan-transnasional-di-indonesia 
[5] http://hizbut-tahrir.or.id/2015/04/16/effendi-simbolon-mengherankan-ada-umat-islam-menolak-syariah-islam/

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed