by

Kamuflase Suap Atas Nama Agama

Namun, mereka lupa bahwa dampak suap telah merugikan masyarakat. Mengakibatkan kualitas hidup masyarakat menjadi rendah, layanan pendidikan dan kesehatan buruk, sarana dan prasarana umum tidak memadai, dan lain-lain.

Ironisnya, pelaku suap bukanlah orang yang tidak pernah belajar tentang agama sama sekali. Mereka adalah orang yang bacaan mengajinya sangat fasih, rajin salat lima waktu, menjalankan puasa wajib saat Ramadan, dan menunaikan zakat. Juga, melaksanakan haji bukan hal sulit bagi mereka.

***

Kebiasaan memberi dan menerima suap dalam beberapa hal bisa dilekatkan pada identitas beragama seseorang. Bagi si pemberi, suap bisa menunjukkan tingkat kedermawanan dan kemurahan hati seseorang. Karena itu, bisa saja terjadi, seseorang akan melakukan pembenaran dan pembelaan atas suap yang dilakukan dengan mengatasnamakan agama. Hal itu dilakukan agar perbuatan mereka tampak sejalan dengan ”perintah” Tuhan.

Masih teringat beberapa waktu lalu, misalnya, mantan gubernur Jambi yang dijatuhi hukuman penjara enam tahun karena menerima gratifikasi sejumlah Rp 44 miliar. Dia menggunakan uang suap yang diterima untuk, antara lain, membeli sepuluh hewan kurban, memberikan makanan buka puasa pada bulan Ramadan di masjid, membiayai umrah untuk diri sendiri dan keluarga, membeli pakaian gamis muslimah, serta memberikan uang Rp 1 miliar untuk keperluan ibunya (Kompas, 24/8/2018).

Sementara itu, mantan bupati Lampung Selatan yang divonis 12 tahun menggunakan suap senilai Rp 72 miliar untuk, salah satunya, membangun masjid dan membeli karpet untuk masjid (Detik, 17/12/2018).

Pada kasus lain, ada mantan bupati Banyuasin yang menggunakan dana suap untuk menggelar pengajian dalam rangka keberangkatan haji bersama istri (Kompas, 5/9/2016). Sementara itu, dari sisi pemberi suap (kasus suap obat), mereka memberikan servis kepada dokter, salah satunya, dalam bentuk dana untuk biaya wirid anak yatim piatu (Tempo, 7/3/2016).

Kasus-kasus itu hanyalah sedikit contoh dari berbagai fenomena suap yang menggunakan agama sebagai strategi mengamuflase suap agar tampak lebih ”religius”. Sehingga mereka bisa mengklaim, ”Kami tidak seburuk yang kalian kira.” Apalagi, para pelaku suap, khususnya di Indonesia, memiliki penyebutan sendiri agar istilah suap tidak terdengar vulgar dan tampak lebih agamais. Misalnya penggunaan istilah liqo, juz, ”sarung”, ”ustad”, ”pengajian”, ”santri”, ”murtad”, dan sebagainya. Mereka berpura-pura mengagungkan nilai-nilai agama Islam dalam transaksi suap itu. Mereka mungkin menyangka bahwa mereka tidak saja akan memperoleh keuntungan dan kemewahan hidup di dunia, tapi juga mendapatkan ”hadiah” pahala dan surga dari Tuhan.

Jadi, ibarat pepatah, sekali rengkuh, dua–tiga pulau terlampaui. Sekali memberi atau menerima suap, bisa memperoleh dua keuntungan sekaligus, yaitu kenikmatan dan kebahagiaan di dunia sekaligus di akhirat. Selain itu, mereka tetap mendapat citra diri positif dari masyarakat.

Berkaca pada fenomena tersebut, muncul pertanyaan: Apakah suap akan menjadi ”halal” ketika diatasnamakan agama? Demikian pula: Apakah pelaku suap yang tampak religius memberikan ”sesuatu” kepada Tuhan karena mengharapkan surga atau sekadar melarikan diri dari hukuman Tuhan karena yang diberikan kepada orang lain itu berasal dari suap?

Hendaknya para pelaku suap tidak menggampangkan dalam menafsirkan agama. Agama bukanlah suatu ritual keseharian dan rutinitas semata. Menerapkan nilai-nilai agama dalam hidup sehari-hari adalah hal yang juga sama pentingnya. Seyogianya hal itu bisa menjadi perhatian masyarakat bersama, khususnya para penegak hukum, pemimpin agama, dan terlebih lagi lingkungan terkecil, yaitu keluarga, agar tidak menyepelekan dalam menafsirkan agama untuk kepentingan sendiri dan kelompoknya.

Sumber : Jawapos

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed