by

Kampungku Yang Sudah Banyak Berubah

Oleh Prof Sumanto Al Qurtuby

Waktu lebaran kemarin, saya sempatkan untuk mudik ke kampung halaman di sebuah desa pelosok di pedalaman Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Sangking pelosoknya, mungkin desaku tidak ada di dalam peta. Di belakang fotoku yang tampak hutan, gunung, sawah, dan padang inilah kampungku berada.

Dari gunung dan hutan inilah, saya dulu sekolah jalan kaki ke kota yang nyaris tiada teman. Karena sekolah sendirian dan di “madrasah” lagi, saya dulu setiap jalan pulang sekolah sering diledek, diolok-olok, bahkan dikeroyok di jalan & pinggir kuburan oleh anak-anak SMP yang mengaku sebagai “anak kotaan” hanya karena rumahnya di pinggir jalan raya dan sekolahnya di SMP, bukan MTs. Setelah saya babak-belur, mereka pergi sambil tertawa cekikikan.

Sejak di Amerika, setidaknya minimal setiap tahun sekali, saya sempatkan untuk mengunjungi kampung dimana saya dilahirkan dan dibesarkan ini untuk sekedar bercengkerama dengan orang tua, keluarga dekat, tetangga, dan teman kecilku dulu. Karena ayah dan kakak tertuaku sudah wafat, maka kini tinggal ibu dan satu kakak. Meski sudah meninggalkan dunia ini, saya tetap menjenguk mereka di makam yang tidak jauh dari kampung. Dengan ziarah ke makam ini, maka silaturahmi jalan terus, meskipun mereka sudah di “dunia lain”.

Bukan hanya menjenguk keluarga, setiap mudik kampung, saya juga sempatkan jalan-jalan ke pinggir hutan, sawah, dan “padang ilalang” tempat saya dulu menggembala kambing selama kurang lebih 6 tahun. Menariknya, ada sejumlah teman sesama penggembala dulu yang hingga kini masih tetap menjadi penggembala, tidak pensiun. Luar biasa sekali. Saya kira tidak mudah untuk menekuni sebuah profesi yang sama dalam rentang waktu yang sangat lama. Itu butuh kesabaran, keuletan, dan kegigihan yang saya sendiri tidak sanggup melakukannya.

Kampungku kini sudah cukup berubah. Jika dulu hanya 1-2 orang saja yang sekolah sampai “tinggi” di Perguruan Tinggi (salah satunya saya hehe), kini sudah banyak yang mendapat gelar sarjana. Jika dulu SD-ku cuma sampai kelas 4 saja, kini sudah sampai kelas 6. Jika dulu tidak ada listrik dan belajar pakai lampu sentir, kini sudah ada listrik. Jika dulu jalan tidak diaspal, kini sudah diaspal (meskipun sering rusak). Jika dulu jembatan cukup pakai bambu, kini pakai besi. Jika dulu sekolah jalan kaki, kini mana ada anak-anak yang mau jalan kaki. Jika dulu, mesin ketik saja tidak ada sehingga semua serba ditulis tangan, kini anak-anak ingusan di kampung sudah bawa laptop. Gile bener cing. Jika dulu, anak-anak sekolah tanpa uang jajan, kini mereka tidak mau sekolah kalau tidak diberi uang saku.

Tapi uniknya, meskipun ada perubahan fasilitas di kampung yang semakin memudahkan untuk belajar tetapi saya melihat tidak berdampak signifikan terhadap “anak-anak modern”. Meski “dikerumuni” oleh berbagai fasilitas, mereka seperti kurang energi, kurang bersemangat atau kurang bergairah untuk menggali dunia pengetahuan yang maha luas.

Pola-pikir anak-anak di kampung sangat “pragmatis”: sekolah ala kadarnya, yang penting selesai dan dapat pekerjaan apa saja yang bisa mendatangkan uang sehingga bisa bersenang-senang. Berbagai kemudahan dan fasilitas yang melimpah ternyata tidak dengan sendirinya mendorong anak-anak di kampungku untuk lebih pintar, lebih maju, dan lebih semangat dalam “menuntut ilmu.”

Dosen di King Fahd University Saudi Arabia

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed