by

Jokowi Singkirkan Isu, Fokus Nawacita, Infrastruktur Jalan Terus

Oleh: Ryo Kusumo

Beberapa pekan yang lalu merupakan pekan yang menyenangkan ketika kembali lagi ke Indonesia, selain bertemu keluarga juga melihat langsung wujud pembangunan infrastruktur yang di gadang-gadang oleh Presiden Jokowi ketika pilpres lalu. Apa jenis infrastruktur itu? Sederhana saja, sebuah tol Becakayu yang proyeknya kembali berjalan. Simple tapi itulah pembuktian. Infrastruktur, banyak yang mencibir “Ah mana bisa itu!”, “Ah, infrastruktur kelas mimpi”, belum lagi isu kebangkitan komunis, dan banyak lagi.

Presiden tidak menanggapi hal itu semua dan tetap fokus pada tujuannya: Infrastruktur di bangun, waktu perjalanan dan distribusi barang menjadi efisien, harga bisa ditekan, inflasi di tahan dan suku bunga tetap rendah. Untuk jangka panjang. Sudah menjadi bukti pemerintah ketika Menteri Ekonomi Darmin Nasution dan Kepala Bappenas Sofyan Djalil kompak mengeluarkan kebijakan menurunkan bunga pinjaman bank pada awal tahun. Ini sebuah prestasi karena bank selama ini sudah terlalu di manja dengan bunga tinggi. Bunga rendah menyebabkan inflasi bisa ditekan dan ekonomi bisa lebih bergairah.

Tapi kerja pemerintah semakin berat, yaitu menjaga kestabilan harga, menjaga efisiensi logistik dan baru kemudian fokus pada peningkatan produksi. Ini kalau happy lho. Lalu syaratnya apa supaya happy? Syarat utama adalah infrastruktur yang memadai. Jikalau tidak happy? Pasokan barang akan terhambat, transportasi barang menjadi kosong / kurang muatan, terjadi penumpukan di sisi supply, terjadi pungutan liar, harga melonjak tidak terkendali di pasaran dan inflasi kembali terjadi.

Jadi infrastruktur memang tepat adalah fokus utama pembangunan era Nawacita. Sudah, jangan di gubris suara bahwa infrastruktur itu memakan dana yang tidak sedikit, kita tidak sedang berbicara 1-5 tahun kedepan, tetapi 1-20 tahun kedepan, bung! Ada empat infrastruktur yang menurut penulis layak di tingkatkan dan perlu di kontrol dengan seksama.

1. Infrastruktur Darat

Sederhana saja, mari kita lihat persentase peningkatan jumlah kendaraan di Indonesia, khususnya Jakarta yang sebesar 12% per tahun berbanding peningkatan jalan yang hanya 0.02% per tahun. Lalu kita bandingkan dengan panjang ruas jalan yang ada, yaitu sepanjang 6,86 juta km atau setara luas 42 juta km², bandingkan dengan luas kota Jakarta yang sekitar 661 juta Km² atau hanya 7% saja, padahal perbandingan ideal antara luas jalan vs luas kota adalah sebesar 12%. Masih sangat jauh. Pemerintah harus menggenjot pertumbuhan jalan raya dan tol sebesar 5% atau setara 5,5 juta kilometer lagi. Itu baru di Jakarta, PR Departemen PU sangatlah banyak.

Apakah menambah ruas jalan adalah satu-satunya solusi? Tentu tidak, karena penambahan ruas jalan ekuivalen dengan penambahan kendaraan itu sendiri, sehingga perlu pembangunan yang out of the box. Itulah Mass Rapid Transport atau MRT yang sekarang juga lagi berjalan proyeknya.

Itu baru di Jakarta, bagaimana di luar kota? Karena akses dari daerah ke daerah dan ke ibukota itulah yang terpenting dalam mengendalikan harga. Akses luar kota adalah kunci, dan infrastruktur darat adalah tangan terakhir dari hirearki distribusi barang ke konsumen. Idenya adalah, pembangungan jalan daerah khusus distribusi barang. Mengapa demikian? Coba bayangkan jika menjelang Idul Fitri, berapa ratus truk pembawa barang yang terjebak macet berbarengan dengan mobil pribadi? Dari situ, berapa kerugian logistik yang di tanggung? 
 
Sebagai contoh perhitungan kasar, dengan kondisi lancar waktu distribusi supply beras dari Cirebon / Indramayu ke Jakarta bisa dipangkas mungkin setengahnya, dengan ini biaya simpan gudang tentu bisa di reduksi, calo-calo yang biasa antre jelas tidak punya tempat karena jalur distribusi sudah ada sendiri. Artinya? Artinya biaya yang terjadi bisa ditekan, kenaikan harga bisa di kontrol. Tidak perlu tengkulak dalam hal begini, potong itu semua, perlancar infrastruktur jalan sehingga pola distribusi bisa di sederhanakan.
 
Penulis belajar dari negara Qatar, dimana susu coklat kemasan 300 ml yang diproduksi di Saudi, dijual di Saudi sebesar 2.5 riyal dan dijual di Qatar sebesar 3 QR. Kenaikan hanya 20% antar negara, bandingkan dengan di Indonesia dimana harga beras di penggilingan sebesar Rp 7,300 per kg bisa dijual hingga Rp. 12,000 per kg di konsumen atau kenaikan 64% . Mengapa demikian? Hasil diskusi dengan warga lokal Qatar, ini dikarenakan infrastruktur darat mereka yang lancar jaya, tidak ada bottleneck dalam distribusi, tidak ada pihak ketiga atau keempat yang meminta jatah.
 
2. Infrastruktur Laut

Ini salah satu andalan Presiden ketika pemaparan konsep strategis Indonesia, Tol Laut. Sudah banyak yang membahas pengertian dari Tol Laut ini, namun intinya dengan konsep ini distribusi barang dari pulau ke pulau bisa menjadi satu. Konsep gampangnya, seperti grab car dengan banyak penumpang, dengan banyak penumpang maka ongkos bisa di sharing oleh kawan-kawan, ongkos yang tadinya 100 ribu satu orang bisa cuma 25 ribu saja dengan 4 orang teman, jadi murah kan? Begitu kira-kira.

 
Inipun sudah di realisasi oleh Pelni dengan pengadaan 6 trayek tol laut, kendala? Jelas ada, apalagi kalau bukan kapal yang tidak terisi penuh, karena apa? Karena  masalah harga, harga beli dari pemerintah dibilang terlalu murah, lho bukankah konsepnya memang begitu? Jangan-jangan karena ulah oknum yang biasa dapat di harga tinggi karena infrastruktur yang buruk? Tapi toh, jika infrastruktur darat dan laut sudah membaik, oknum-oknum itu bisa disikat habis.
 
3. Infrastruktur Listrik
 
Infrastruktur bukan hanya yang bersifat transportasi. Tapi juga listrik. Di pemerintahan era kerja ini, ada prioritas target listrik 35.000 megawatt yang harus di selesaikan. Konsep yang gila, yang kata seorang menteri, itu tidak mungkin. Ya memang harus “gila” untuk membuat Indonesia maju, bukan cuma kalem-kalem bae. Kalo dulu tidak “gila”, tidak mungkin ujung Monas itu berlapis emas, kawan.
 
Dengan asumsi pertumbuhan kebutuhan listrik sebesar 7% per tahun, maka harus ada tambahan listrik 8,7% per tahun (Agung W) jika memang tidak ingin lagi ada pemadaman listrik. Masuk akal memang, tapi apa mungkin? Mungkin, menurut direktur perencanaan korporat PLN (persero) Nike Widyawati, hingga akhir tahun lalu total jumlah kontrak IPP (Independent Power Producer – swasta) dan EPC (oleh PLN) sudah mencapai 15.533 MW untuk 37 proyek sampai Juni 2016, alias sudah lebih dari setengahnya. Dan PLTG Gorontalo 100 MW adalah pembangkit pertama yang bisa beroperasi pada Januari 2016.
 
Dan bukan cuma energi konvensional, tapi juga memakai energi terbarukan. Wow, mari kita beri applause! Eits, nanti dulu, ada kendala yang signifikan antara ESDM dengan PLN dalam membuat RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik), terutama masalah biaya subsidi dan non-subsidi, mereka terlihat tidak kompak yang ditengarai ada kepentingan disitu. Tapi, tak perlu di besar-besarkan, yang namanya proyek ya pasti ada kendala, bukan hanya teknis tapi juga persepsi, tindakan Presiden dalam memutuskan sengkarut blok masela sudah terbukti tegas, apalagi soal ini. Ya, asal jangan terlalu lama, karena kalau terlalu lama..hmmm ini bisa bermasalah.
 
4. Infrastruktur Migas
 
Ini sudah pernah penulis bahas DISINI , bahwa adalah tepat instuisi Presiden untuk membangun blok masela di darat, bukan hanya soal efek berantai industri di Maluku, tapi juga soal penguluran waktu selama harga minyak dan gas masih rendah, dimana sebagai importir, lebih menguntungkan bagi Indonesia untuk membeli daripada produksi. Untuk itu, proyek-proyek tanki storage mutlak harus di genjot.
 
Lalu kalau harga migas naik lagi bagaimana? Ya justru bagus juga, hasil produksi kita bisa disimpan dan digunakan untuk lokal, dari sini mafia migas kalang kabut, harga BBM semoga bisa direduksi kembali.   Ide: Sinkronisasi Infrastruktur Indonesia Sentris Inilah idenya, sinkronisasi infrastruktur. Semacam cloud atau SAP, semua terintegrasi dalam satu sistem, terutama untuk distribusi barang antara laut, udara dan darat.
 
Sinkronisasi ini dikhususkan untuk barang-barang kebutuhan pokok masyarakat dari dalam Indonesia atau Indonesia sentris, bukan gadget atau yang lain. Divisi laut, harus sudah on-time jadwal kedatangan kapal, apa saja isi barangnya, berapa volumenya, tujuan kemana saja. Per barang di beri label yang berisi segala keterangan. Label sudah terdaftar dalam sistem integrasi yang bisa di akses oleh dinas perhubungan darat, sehingga ketika kapal sandar, truk penjemput barang sudah siaga di pelabuhan.
 
Berapa persen waktu antrian yang bisa dipotong? Banyak pastinya. Dari pelabuhan yang dituju, truk pengangkut melaju melalui jalan daerah khusus distribusi barang, jalur sudah ditentukan, biaya riil operasional bisa di hitung sehingga harga bisa lebih dikontrol. Sebetulnya ini sudah di wacanakan, yang bernama inaportnet, dimana 4 pelabuhan besar terhubung dalam satu sistem. Namun masih khusus untuk laut saja, belum terhubung dengan darat dan itupun masih wacana.
 
Sehingga usulannya, jangan hanya untuk laut, sayang jika tanggung begitu konsepnya. Sekalian untuk transportasi daratnya, karena darat adalah titik terakhir penentuan on time atau tidaknya barang, ketersediaan barang di gudang dll, yang ujung-ujung nya adalah biaya. Kendala itu bernama Hutang Lalu apa kendala infrastruktur ini? Utama adalah biaya, ada konsep, tapi biaya kurang. Tentunya butuh investor untuk realisasi konsep tadi, bukan?
 
Di cibir lagi, lho kok hutang lagi?  Apa memang kita anti hutang? Orang yang mencibir kebanyakan adalah orang yang belum pernah merasakan start-up bisnis sendiri, belum merasakan bagaimana berkali-kali ditolak bank, di tolak mertua, di tolak teman sejawat untuk pinjam uang sekedar bikin usaha tahu bulat. Coba bayangin! Lha ini, 35.000 MW, plus jalan raya, plus tanki. Hei, ayo bangun! Jangan cuma baca dinding fesbuk caci maki atau twitwar yang lagi ramai.
 
Secara gamblang, hutang Indonesia itu sekitar 60% dari PDB, bandingkan dengan India yang sebesar 110% atau Tiongkok yang 230% dari PDB. Malaysia? weleh-weleh, tetangga kita itu malah punya hutang 250% dari PDB. Indonesia bahkan naik peringkat menjadi BB+ atau positif dari Standard & Poor credit, dari sebelumnya stabil. Kita enggak pernah lepas dari yang namanya hutang, hutang bukan sebuah momok.
 
Hutang menjadi produktif atau tidak tergantung siapa yang pegang. Kita dari dulu ya hutang, ada hutang untuk subsidi, ada hutang untuk proyek mangkrak, dan ada hutang yang khusus untuk dikorupsi berjamaah. Nah, tergantung siapa yang pegang hutangnya. Kalau cuma untuk proyek mangkrak, mending sini lah di pakai untuk…jualan tahu bulat.

(Sumber: Kompasiana)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed