Ketika Jakarta semakin semrawut sebagai ibukota, dia bereaksi dengan memindahkan ibukota ke Kalimantan. Belakangan karena DPR restriksi alokasi 30% anggaran, diapun bereaksi dengan tetap mempertahankan jakarta sebagai ibukota pusat administrasi namun ibukota negara tetap Kalimantan. Jadi anggaran tidak terlalu besar. Karena krisis, dan pandemi , sementara APBN tidak cukup mengatasi COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional, dia bereaksi dengan mengeluarkan PERPPU No. 1/2020 dan akhirnya jadi UU. Ketika tidak dapat dukungan dari BI dan DPR dia bereaksi dengan menunjukan otoritasnya sebagai presiden dalam sistem presidentil, “Saya bisa reshuffle atau bubarkan lembaga”, katanya. Hasilnya semua lembaga patuh dan ikut apa kata Jokowi. Setelah terjadi aksi massa 411 dan 212, dia bereaksi dengan mengeluarkan PERPPU soal Ormas dan akhirnya jadi UU Ormas. HTI jadi partai terlarang. Dan ormas lain yang tidak mencantumkan idiologi pancasila dalam AD/ART ya tidak lagi diakui.
Dalam teori kepemimpinan, gaya pemimpin reaktif ini memang pekerja keras. Dan mempunya sifat wise. mengajarkan hal yang konstruktif kepada bawahannya agar emosi tetap terjadi secara positip, mengundang orang untuk mengambil langkah keyakinan melalui sepatah kata tentang apa yang mungkin, menciptakan sebuah inspirasi kolektif. Semua itu tercermin dari caranya berpikir (way of thinking), merasakan (feeling) dan kemampuannya memfungsikan semua potensi positip (functioning), sebuah cara hidup (the way of life) dan cara menjadi (way of being) yang transformative. Setiap pemimpin lahir karena kehendak Tuhan, dan mereka hadir sesuai zamannya dengan gaya yang berbeda tentunya. Itu sebabnya kita tidak bisa membandingkan gaya masing masing mereka. Semua mereka adalah takdir kita sebagai bangsa. Sukses negara bukan tergantung sepenuhnya kepada pemimpin tetapi kepada rakyatnya sendiri.
Sumber : Status Facebook Erizeli Jely Bandaro
Comment