by

Jokowi, PA 212 dan Pengorbanan Ahok

Mari kita kupas dengan santai saja. Saya mengamati sejak kasus Ahok masuk persidangan kita tidak pernah mendengar Presiden Jokowi berkomentar. Masa-masa kampanye yang mengharu biru juga kita tidak mendengar sedikitpun sinyal gerakan pembelaan Jokowi.

Jokowi bak pertapa sedang pergi bertapa brata ke Goa Merapi meninggalkan sohib kentalnya Ahok. Jokowi hanya berkomentar normatif serahkan kepada hukum. Negara kita negara hukum.

Berbeda dengan Jusuf Kalla yang nampak perannya mendukung aksi 212. Jusuf Kalla beberapa kali berkomentar soal aksi 212. Terasa pembelaan JK pada Anies Sandi.

Banyak orang membaca Jokowi meninggalkan Ahok bertarung di gelanggang pertarungan sendirian. Aksi diam Jokowi pada masa itu hingga pertemuan Jokowi dengan PA 212 menjadi penguat anggapan banyak orang itu. Jokowi telah melupakan Ahok. Jokowi telah mengorbankan Ahok.

Benarkah anggapan itu?

Mari kita kilas balik catatan kelam peristiwa pada hari vonis Ahok jatuh. Selasa malam, 9 Mei 2017, di LP Cipinang, dari atas mobil komando seorang penyusup mendapat panggung untuk bersuara.

Perempuan paruh baya ini mencoba memprovokasi ribuan massa dengan mengatakan rezim Jokowi lebih parah dari rezim SBY. Ocehannya itu telah menjadi viral. Videonya menyebar kemana-mana.

Sebagai komandan di mobil komando, jujur saya kebobolan. Saat perempuan penyusup itu naik ke mobil komando, saya sedang merebahkan diri di atas aspal di samping truk kontainer yang terjebak macet sekitar sepelemparan batu jaraknya dari mobil komando.

Malam itu, saya sudah tidak mampu bertahan lagi berdiri di atas mobil komando. Tulang-tulang saya serasa mau remuk. Tidak sanggup lagi menahan bobot tubuh saya. Saya minta izin rehat sejenak. Kendali komando diambil alih oleh Effendi Achmad.

Biasanya jika ada orang ingin orasi, jika tidak saya kenal akan saya selidiki siapa dirinya. Lalu membaca air mukanya. Menanyakan sedikit siapa dia. Apa motifnya. Apa yang mau diomongkannya. Sekaligus mewanti-wanti jangan ngomong macam-macam. Memastikan dia bukan penyusup yang akan membuat gaduh. Itu standar penyaringan untuk orang yang tidak saya kenal jika mau bicara mobil komando.

Seperti Mbak Ririn dari Koalisi Perempuan yang ingin orasi malam itu. Tidak mudah untuk naik ke panggung meski mereka terus mencolek kaki saya agar diberi kesempatan bicara. Ada seorang pria yang ingin bicara satu menit, juga tidak saya berikan meskipun terus merayu dan mendesak.

Ya sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Pertanyaannya benarkah Jokowi meninggalkan Ahok? Benarkah Jokowi melupakan Ahok? Seperti ocehan mulut ember perempuan penyusup itu yang bilang rezim Jokowi lebih parah dari rezim SBY ? Benarkah Jokowi melupakan Ahok karena pertemuan dengan PA 212 ?

Setiap orang yang punya profesi entah itu politisi, pejabat, tentara, polisi, dokter, perawat dlsb tentu sudah tahu risiko atas profesinya.

Tentara pasti sudah ikat kontrak untuk rela mati saat perang. Polisi sudah ikat kontrak rela mati demi melawan penjahat. Dokter rela kena penyakit saat merawat pasien. Itu risiko.

Politisi pejuang berkarakter seperti Jokowi dan Ahok sadar banyak ranjau hutan belantara di perpolitikan Indonesia. Mereka berdua tahu jalanan berliku penuh onak duri yang akan mereka lalui.

Mereka tahu profesi menjadi pejabat politik itu penuh godaan dan cobaan. Mereka tahu hantaman siasat muslihat, pat gulipat, sikut menyikut adalah sarapan pagi para pemburu kekuasaan atau lawan politik mereka.

Jokowi Ahok adalah driver dan co driver yang saling mengisi saat menjadi gubernur dan wakil gubernur. Mereka sehati, sepikir dan sepergerakan dalam mewujudkan cita-cita menjadi administratur keadilan sosial rakyatnya. Muara dari tujuan mereka adalah keadilan dan kesejahteraan warganya.

Sejarah berkehendak lain. Jokowi naik menjadi Presiden. Ahok naik menjadi gubernur. Dalam diri Presiden Jokowi melekat jabatan presiden sebagai pemimpin tertinggi eksekutif, Panglima Tertinggi TNI, Polri dan Kejaksaan Agung. Pun juga melekat jabatan kepala negara. Ia menjadi pemimpin bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan lagi partisan.

Suka tidak suka, mau tidak mau kasus Ahok ini mendidih karena digerakkan oleh pemburu kekuasaan. Setiap pergerakan massa yang besar pasti ada elit yang terlibat. Apakah itu pendanaan atau juga pemikiran. Terjadi hubungan simbiosis mutualisme. Pemburu kekuasaan dan pedagang umat berkongkalingkong merebut kemenangan.

Aksi 411 dan 212 bagian dari permainan elit politik nasional. Tujuannya jelas merebut kekuasaan Presiden Jokowi. Bisa dengan cara non konstitusional bisa juga sebagai persiapan untuk modal Pilpres 2019. Ahok hanya sasaran antara saja untuk menggebuk Jokowi. Ahok hanya batu untuk menimpuk Jokowi.

Kekeruhan pat gulipat dari elit politik nasional itu sekarang mulai tampak perlahan. Kekeruhan adukan mereka mulai mengendap. Kini kita sudah tahu siapa di belakang permainan ini semua. Perlahan kita tahu siapa sutradara utamanya, produsernya, pemain utamanya, pemain pinggiran, penulis skenarionya. Apa tujuannya. Apa targetnya.

Apakah Jokowi tahu hal ini? Ya jelas dong. Masak tidak tahu.

Jika Jokowi tahu mengapa dia diam?

Nah, inilah yang oleh anak Medan disebut Jokowi itu diam-diam makan dalam. Makin diam Jokowi, makin dalamlah terpuruk musuh dalam sempak itu.

Jokowi tahu musuh dalam sempak itu ingin dia bereaksi. Mereka ingin Jokowi terpeleset lidah merespon kasus Ahok ini. Jika Jokowi kelepasan bicara, tamatlah riwayat Jokowi.

Senjata berkaliber ember raksasa penuh hujatan dan demo akan terus memberondong Jokowi setiap detik. Jokowi irit bicara saja Amien Rais, Fadli Zon, Prabowo, Fahri Hamzah,.Tommy Soeharto non stop menyerang Jokowi apalagi jika Jokowi blunder. Alamakk.

Para cukong di belakang siap memuntahkan uang tak berseri mendanai pembusukan Jokowi. Mirip terselip lidahnya Ahok di Kepulauan Seribu kemarin. Ahok dibombardir tanpa ampun jadinya. Kalah dan masuk penjara.

Apakah Jokowi tahu skenario musuh dalam sempak ini?

Jokowi tahu musuh dalam sempak itu sedang membuat kubangan lumpur hidup. Jika Jokowi semakin bergerak lumpur hidup itu akan menghisapnya semakin dalam.

Jokowi tahu di lingkaran dalamnya banyak musuh dalam sempak sedang mengincarnya agar bereaksi salah. Itulah yang diharapkan musuh dalam sempak ini.

Sayangnya musuh dalam sempak ini keliru membaca pikiran rakyat. Hukuman dua tahun penjara buat Ahok malah menjadi api bumerang buat mereka. Tanpa disangka-sangka aksi sejuta lilin menyala di banyak kota Indonesia. Bahkan melanda dunia. Ini di luar perkiraan mereka.

Lilin-lilin ini menjadi tangan raksasa yang menolong Jokowi keluar dari perangkap kubangan lumpur hidup yang dibuat musuh dalam sempak itu. Rakyat yang selama ini diam tiba-tiba bersuara dengan caranya sendiri. Spontan. Tanpa cukong dan mobilisasi. Tanpa iklan propaganda pakai nomor cantik.

Energi raksasa dari cahaya lilin yang dihidupkan dari seluruh nusantara dan belahan dunia itu menyilaukan mata musuh dalam sempak itu.

Jokowi tidak sendirian. Jokowi kembali mendapat berkah dari sohibnya Ahok yang mengorbankan dirinya demi cita-cita luhur mereka. Menjadikan Indonesia maju dan disegani dunia.

Ahok telah merelakan dirinya demi Indonesia kita. Ia tahu bahwa tidak selamanya hidup dalam jeruji besi itu akan mengubur cita-cita keIndonesiaannya.

Jokowi dan Ahok sadar bahwa muara dari semua kerja keras dan dedikasi mereka adalah untuk rakyatnya. Siapapun diantara mereka akan menjadi pundak untuk memenangkan cita-cita luhur bangsa.

Pertarungan perebutan RI 1 akan memasuki babak akhir. Tinggal 4 bulan lagi bangsa kita akan mengetahui siapa lawan tanding Jokowi. Berseliweran manuver elit untuk menggoyahkan elektabilitas Jokowi.

Ada jualan kaos murahan #2019GantiPresiden. Ada yang teriak2 sambil telanjang dada. Ada yang ngoceh Partai Allah dan Partai Setan. Ada yang halusinasi banyak rakyat yang memintanya jadi presiden kembali.

Manuver dan akrobatik elit ini berkelindan dengan kuda hitam yang sedang mengincar tunggangan baru. Gatot Nurmantyo juga ikut turun gelanggang dalam permainan pertarungan ini.

Kemunculannya juga tidak bisa dipandang enteng. GN diketahui cukup mesra dengan kelompok PA 212. Pada aksi 212 berlangsung, GN dielu-elukan 7 juta umat 212. GN juga punya logistik menggunung. Jejaringnya juga kayak laba-laba.

Kepingan-kepingan kombinasi permainan catur dengan pembukaan Sisilia pertahanan gerendel Karvov ini membuat lawan-lawan yang mengepung Jokowi kalang kabut. Saracen dan MCA sebagai alat propaganda digulung habis. Sokongan logistik dari dunia siluman bawah tanah dipotong jalur logistiknya.

Elit politik pemburu kekuasaan panik dan kalap. Akhirnya sang elit keluar sarang. Lalu memburu dan menerjang. Indonesia Bubar pada 2030 katanya. Padahal dulu saat penghasut Jonru, Saracen dan MCA masih petentengan omongan Indonesia Bubar pada 2030 tidak perlu dilontarkannya. Cukup Jonru atau MCA yang goreng. Tapi sang Jenderal harus turun gunung. Bila perlu pamer dada. Ini dadaku Jok, mana dadamu!! Teriaknya penuh emosi.

Pertemuan Jokowi dan PA 212 bukanlah pertemuan dua sahabat. Atau pertemuan dua pihak yang bertikai ingin berdamai. Pertemuan itu tidak akan bisa menggeser posisi keteguhan diri seorang Jokowi jika PA 212 tidak berubah cara berpikir, cara pandang dan cara hidup berbangsa dan bernegara.

Jokowi bukan tipe yang bisa ditekan meski digencet. Jokowi bukan tipe orang yang bisa dipencet meski dikepung. Keliru menilai Jokowi melembek dan mau mengakomodir permintaan PA 212 dengan barter HRS dibebaskan dari tuntutan hukum misalnya.

Saya yakin dalam pertemuan itu Jokowi hadir bak seorang Jenderal Besar yang ingin mengetahui isi kepala musuh2nya. Dari sana Jokowi akan mudah memetakan jalan dan sudut meriam yang akan dihujamkan ke kelompok yang akan mengganggu dan merongrong NKRI. Seperti HTI yang kena hulu ledak Perppu Ormas. Darrr… Tewas seketika.

Jadi, salah besar anggapan orang yang bilang Jokowi meninggalkan Ahok. Ahoklah yang mengorbankan dirinya kepada sahabatnya Jokowi untuk menyelesaikan misi mereka berdua. Misi menjadikan Indonesia negara maju dan berkeadilan.

Bagi Jokowi menyelesaikan misi itu berarti mewujudkan nilai-nilai Ahok sahabatnya sendiri. Menjaga Indonesia. Menjaga Pancasila. Menjaga Kebhinekaan. Menjaga keadilan. Menjaga warisan foundings father tetap utuh dan penuh.

Dan untuk menjaga itu semua Jokowi harus bisa menjadi pendekar yang punya tendangan tanpa bayangan. Tanpa terasa, lawan2nya jatuh bergelimpangan.

Salam perjuangan penuh cinta

Sumber : Facebook Birgaldo Sinaga

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed