by

Jokowi Memancing Ular, “Lebaran Kuda SBY” yang Keluar

 

Oleh :Renita Maharani

Harus diakui, langkah Presiden Jokowi yang mendadak di hari Senin (31/10) adalah langkah politik jenius untuk memancing siapa pemain Gerakan 4 November 2016, banyak kalangan yang kaget atas kunjungan mendadak Jokowi ke Hambalang dan menjumpai Prabowo, disertai dengan ajakan Prabowo naik kuda dan masak nasi goreng.  Juga pemberian penghormatan Prabowo kepada Jokowi di depan dengan mendengarkan barisan marching band di Hambalang, dimana Jokowi berada di depan dan Prabowo di belakang. 

Masyarakat belum terkejut sebenarnya atas kedatangan Prabowo saat itu, dan banyak analis politik hanya melihat sebagai “bentuk kepanikan” Jokowi dalam melihat situasi jelang 4 November 2016. Tapi apa yang dilakukan Presiden Jokowi mendapatkan jawaban tepat saat mantan Presiden SBY melakukan pidato di Cikeas (2/11) dan dengan tegas dia mendukung Aksi 4 November 2016. 

Apa yang dilakukan SBY ini justru membuka separuh pertanyaan besar “Siapakah Dalang Gerakan 4 November 2016”. Walaupun dalam redaksi pidatonya SBY menolak dan membantah keras bahwa dirinya di balik Gerakan 4 November 2016, namun secara tersirat ada makna dibalik Pidato, yaitu dukungan bulat terhadap gerakan itu.

Kata-kata “Lebaran Kuda” menjadi kunci dari makna aksi 4 November 2016, yaitu dari : “Gerakan Protes Sosial” menjadi “Gerakan Politik”. 

Laporan Intelijen Yang Digugat?  Adanya laporan intelijen yang diungkap oleh SBY dalam pidatonya kemarin (2/11) secara tak sengaja mengungkap “pergelutan politik di lingkaran elite” dan menjadi perluasan atas pengetahuan publik, yang tadinya : “Isu hanya sebatas FPI, Buni Yani dan Ahok”, oleh SBY dengan blunder komunikasinya malah membuka, ada ‘keuntungan-keuntungan politik’ bila Ahok ditangkap.

Walaupun SBY membantah dirinya dibalik Gerakan 4 November 2016, namun statemen Cikeas bisa memproduksi isu : 

1. SBY secara sepihak mengklaim, sebagai tokoh utama yang mengucapkan dukungannya pada “Gerakan 4 November 2016”

2. Bila “Gerakan 4 November 2016” membesar dan mengekskalasi secara luas sehingga bisa berhadapan head to head dengan Pemerintah, maka SBY sebagai tokoh tentu akan mudah mengambil kendali, serta menutup masuknya tokoh lain sebagai pemegang kendali. 

3. SBY di satu pihak menganulir laporan laporan intelijen yang mengarah pada dirinya, tapi dipihak lain memberikan pesan kepada masyarakat, dialah yang dituduh sebagai tokoh dalam Gerakan 4 November 2016, disini dia berdiri di dua situasi politik. 

4. Secara telanjang SBY sudah menyatakan ke publik “Ahok Harus Dihukum”. Penghakiman sepihak SBY inilah yang harus jadi akar substansi dalam melihat pergerakan politik SBY di seputaran Pilkada, dengan tujuan utamanya adalah “Pilkada Satu Putaran” dimana Ahok tersingkir, dan Agus hanya berhadapan dengan musuh yang dianggap lemah yaitu : Anies dan Sandiaga Uno. 

5. “Lebaran Kuda” adalah istilah suatu gerakan politik yang tak akan berhenti sampai tujuan politik tercapai. 

Pergerakan politik di jalanan dengan menggunakan laporan intelijen sebagai dasar pembentuk opini, sudah jamak dilakukan dalam politik Indonesia. Seperti di tahun 1974, kasus Malari awalnya adalah peristiwa intelijen dimana Ramadi, salah satu tokoh GUPPI binaan Ali Moertopo, menjadi pemicu adanya indikasi usaha usaha kudeta terhadap Presiden Suharto, dimana kemudian menyasar pada Jenderal-Jenderal yang amat berpengaruh saat itu yaitu : Pangkopkamtib Sumitro dan Gubernur DKI Ali Sadikin.

Dalam rumusan intelijen, tersebarnya data memiliki implikasi 3 hal :

pertama, secara tak langsung bisa mengungkap siapa pemain dalam satu situasi yang sedang dianalisis,

kedua : mempercepat operasi senyap, dan

Ketiga : adanya tindakan politik yang bisa mengekskalasi gerakan yang dicurigai oleh intelijen. 

Dalam kasus Gerakan Politik 4 November 2016 dengan tujuan memenjarakan Ahok, pidato Cikeas bisa dianggap sebagai pemicu eskalasi gerakan. Namun dalam menciptakan kondisi kondisi seperti itu, nampaknya SBY melakukan blunder politik, dan terjebak dalam permainan gendang Jokowi yang memancing siapa pemain 4 November yang bisa dijadikan sorotan publik sehingga, arah politik akan jelas pasca Gerakan 4 November 2016 nanti. 

SBY dalam kasus 4 November mencoba mengulangi modus politiknya yaitu : 

1. Sebagai korban fitnah

2. Sebagai pihak yang di dzalimi 

3. Mencoba memainkan emosi rakyat. 

Gerakan 4 November, Gerakan Politis SBY? 
Apa yang dilakukan SBY adalah ‘gaya 2004’ yang tidak berubah, namun jaman berubah. Ketika SBY melakukan pidato “Lebaran Kuda” sontak arus balik rakyat mulai melihat ada apa dengan SBY, bahkan dengan cepat pula mereka merespon negatif pidato SBY sebagai bagian dari “perebutan kekuasaan” dimana Agus Yudhoyono sebagai Proxy Politik dalam pertarungan politik. 

Agus yang dikarbit  dan diajukan terburu-buru oleh SBY, dibawa masuk ke dalam suasana katalisator percepatan pertarungan politik.

Untungnya disini Jokowi dan Prabowo paham, bahwa mereka tidak mau masuk dalam gendang SBY.  Jokowi kemudian melakukan sebuah aksi kejutan dengan memasukkan narasi adanya “Persekutuan Politik” dengan Prabowo, yang pesannya “Menghadapi Bersama Agus” disinilah kemudian SBY terpancing keluar, bahkan blunder dengan menyatakan adanya laporan intelijen tersebut. 

Laporan intelijen yang tadinya bersikap tertutup menjadi laporan yang sifatnya terbuka. Dan masyarakat bisa secara bebas menilai, dan Gerakan 4 November 2016 bukanlah Gerakan murni protes sosial, tapi dengan terungkapnya SBY secara telanjang di muka publik, membuat Gerakan 4 November 2016 menjadi Gerakan Politik dimana suka atau tidak suka SBY mendapatkan keuntungan dari Gerakan itu, apabila Gerakan itu berhasil menyingkirkan Ahok, karena anaknya bisa dengan mudah melenggang maju ke DKI-1.**

Sumber : kompasiana.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed