by

JKN Bukan BPJS : Sampai Kapan Salah Kaprah Ini?

Oleh : Tonang Dwi  Ardyanto

Seperti ditulis sebelumnya, kita memang terlanjur terjebak pada persepsi yang menimbulkan salah kaprah, sehingga yang kita tahu adalah BPJS, bukan JKN. Selama itu pula, kita terjebak untuk selalu menudingkan hampir semua hal dalam JKN kepada BPJSK. Bahkan ketika sudah meninggalkan dua tahun pertama pun, salah kaprah itu masih saja kita jumpai. Tidak jarang, kalau tidak boleh dikatakan masih sering, terlontar: gara-gara BPJS, jasa belum terbayar gara-gara BPJS, pasien antri gara-gara BPJS dan masih banyak lagi. Sampai-sampai, kita tetap menyebut “pasien BPJS” dan bukan “pasien JKN”. Padahal kita selalu menyebut “akseptor KB” bukan “akseptor BKKBN”.

Di awal JKN, salah kaprah ini dapat dimaklumi sebagai akibat maraknya informasi publik di media menjelang JKN, yang memang terlanjur berfokus pada “BPJS” bukan pada “JKN”. Bahkan bahwa ada 2 Lembaga BPJS pun, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, tidak banyak diketahui masyarakat, termasuk pada tenaga kesehatan itu sendiri. Akibatnya jelas: salah kaprah.

Seandainya saya adalah pegawai BPJS Kesehatan – atau mereka menyebut diri sebagai Duta BPJSK – tentu juga dipenuhi rasa kesal kalau terhadap hampir semua hal, larinya selalu BPJSK yang dituding sebagai penyebabnya. Padahal dalam banyak hal, JKN “dibentuk” bukan oleh BPJSK. Besaran premi, tarif, manfaat, jenis obat, sistem pelayanan ditentukan oleh pemerintah. Sebagaimana peserta dan faskes/nakes, BPJSK juga terima jadi, tinggal melaksanakan. Yang benar-benar ranah BPJSK sebenarnya adalah soal kepesertaan. Sangat konyol rasanya kalau kemudian semua ditumpahkan sebagai “gara-gara BPJS”. Sederhana saja, seperti salah satu contoh dalam gambar, orang sering menyalahartikan BPJS sebagai akronim: Banyak pasien jasa sedikit. Apakah ada atau sering orang menyatakan akronim dengan maksud senada untuk JKN?

Selama perjalanan dua tahun, harus diakui dinamika JKN diwarnai saling curiga. Karena sering menjadi sasaran tudingan, saya khawatir teman-teman BPJSK terkena efek dari Blaming Culture: dipaksa tidak boleh melawan ketika jadi sasaran tudingan, harus tetap berjalan meski banyak kecaman, bahkan aktivitas di media sosial sekalipun “diatur” agar tidak timbul gesekan. Tanpa sadar itu membuat timbunan energi tertahan. Akibatnya mudah timbul sikap defensif: menjaga jarak. Sisi lain, para penyedia pelayanan juga dipenuhi rasa khawatir atas sistem yang baru. Karena “tahunya” hanya BPJS, maka sasaran kekesalan dan kebingungan itu juga hanya ke BPJS (bahkan tanpa tahu kalau ada dua BPJS pada awalnya). Akibatnya saja, muncul sikap defensif: menjaga jarak. Jadilah kemudian jarak itu semakin renggang.

Memasuki tahun ketiga, ternyata salah kaprah itu masih saja terjadi. Satu contoh adalah foto di judul catatan ini. Tidak ada sebenarnya “Jasa dari BPJS”. Klaim yang dicairkan oleh BPJSK kepada Faskes adalah satu paket. Soal pembagian jasa pelayanan, adalah masalah internal faskes masing-masing. Seringnya muncul polemik terkait jasa ini, sebenarnya tidak terkait tetapi dalam banyak kasus ditudingkan masalahnya ke BPJSK.

Biasanya di awal JKN, kita selalu berlindung pada kata-kata “kurangnya sosialisasi”. Tetapi apa iya alasan yang sama masih layak kita pakai di tahun ketiga ini? Apalagi kalangan penyedia layanan, termasuk dan terutama para tenaga seperti dokter dan perawat, dengan akses informasinya, masih saja tetap salah kaprah? Tentu kita harus bertanya kepada diri sendiri: kita ini benar-benar tidak tahu, ataukah kita memang pada dasarnya tidak mau tahu?

Apakah dengan bertanya itu saya membela BPJSK? Tidak. Nomor satu saya membela JKN. Saling curiga dan kurangnya komunikasi itu, mau tidak mau, jelas merugikan bagi kesinambungan dan perbaikan JKN. Nomor dua, ini juga sangat penting, saya membela nalar dan marwah profesi tenaga kesehatan. Setelah 2 tahun berjalan, kalau kita masih belum juga mampu memahami program JKN, mampu memilah ranah dari Kemenkes dan BPJSK, apalagi belum tahu bahwa ada dua BPJS, rasanya itu justru merendahkan profesi kita sendiri. Dengan keluasan akses informasi yang kita miliki, tidak layak lagi rasanya kita berkilah tentang “kurangnya sosialisasi”.

Mari kita dengan jernih memandang. Dengan kejernihan itu, justru kita bisa melihat lebih jelas juga, dimana sebenarnya kekurangan BPJSK sebagai penyelenggara JKN untuk kita kritik secara spesifik. “Membombardir” BPJSK dengan banyak kritik yang sebagian cukup besar diantaranya salah sasaran, hanya membuat – maaf – kita berpotensi ditertawakan walau hanya dalam hati. Jadilah kemudian kritik itu menjadi kehilangan esensi, bukan karena tidak penting, tetapi karena berbaur dengan kritik-kritik yang salah sasaran. Kalau sudah demikian, bukan perbaikan JKN yang bisa kita harapkan, justru semakin berat kita memperbaikinya. Mari bercermin. #SalamKawalJKN

Sumber : Kompasiana

Foto : gresnews.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed