by

Jilbab dan Debat Artifisial atas Tubuh Perempuan

 
Meskipun demikian, terbitnya peraturan legal ini sedikit banyak tentu memiliki pengaruh pada kebijakan internal perusahaan tertentu. Laporan European Network Against Racism pada Agustus 2016 menyebutkan, lebih dari 50% perempuan yang mengenakan jilbab kehilangan kesempatan untuk berkiprah di ruang publik karena alasan diskriminasi keagamaan.
 

Dalam kolom berjudul OK in Magazines, No Go in Workplaces, Humairah Hanif memungkasi opininya dengan kalimat, “So please start accepting me for what is in my headrather than what is on it.” Kalimat itu terdengar sedikit depresif. Humairah sedang ingin meminta masyarakat Inggris untuk melihat isi otaknya, dengan tanpa mengunggulkan jilbab di kepalanya. Dalam kalimat Humairah, jilbab di kepalanya seperti tidak memiliki kuasa apa pun. Ia hanya ingin dilihat dari sisi lain yang ia miliki, dalam hal ini adalah intelektualitas. Benar bahwa jilbab adalah identitasnya sebagai muslimah. Titik. Tapi jilbab Humairah tidak mewakili kesalehan, moralitas, ataupun gerakan perlawanan tertentu layaknya Iran pada medio 70-an. 

Seharusnya memang begitu. Terlalu remeh menyetarakan kesalehan dengan selembar kain tipis di kepala. Secara subjektif sekaligus objektif, saya yang telah berjilbab selama lebih dari separuh masa usia saya, berani menjamin itu. Masalah yang datang silih berganti dalam hidup, dalam konteks pemecahannya yang terkait spiritualitas, tidak ada kaitannya dengan jilbab. Pelajaran kebaikan seperti keikhlasan, tawakal, qanaah, serta mengasihi lebih cenderung melibatkan pergulatan batin yang berlipat kali lebih rumit dari sekadar kain. Sebaliknya, jilbab juga tak memiliki peran kepada tindakan kesalahan yang akhirnya disesali seperti kebohongan dan kebencian. 

Rina Nose baru-baru ini dihujat warganet sebab melepas jilbab. Ia bilang, “Mereka yang beragama justru yang paling keras menghujat saya dan membuat saya takut.” Diam-diam, saya mendukung langkah Rina. Saya selalu ingat nasihat Habib Luthfi Bin Yahya untuk tetap menjadi manusia biasa. Kita boleh berproses mendekat kepada Tuhan selangkah demi selangkah seiring pekerjaan yang kita geluti, juga aktivitas yang kita cintai saat ini, tanpa harus meninggalkannya. Habib Luthfi pandai menyanyi dan bermain alat musik. Gus Mus pandai bersajak dan piawai melukis. 

Dalam nasihat itu, ada pesan, siapa tahu dalam kiprah kita saat ini adalah yang paling membawa manfaat dan keberkahan untuk diri sendiri, keluarga, atau publik luas? Misalnya, bagaimana jadinya ketika kita dituntut meninggalkan pekerjaan tiba-tiba sebab pekerjaan kita dituduh riba dan nista, padahal pendapatan itu selama ini adalah sumber halal untuk membiayai pendidikan anak atau orangtua yang tengah sakit keras? Percayalah, memakai simbol kesalehan lalu berjualan oleh-oleh dengan label islami bukanlah jalan hijrah satu-satunya. Biarkan Rina Nose menempuhi jalan hijrah dengan lebih tenang dan tidak terburu-buru.

Memang banyak kesalahpahaman tentang hal ini. Kondisi semakin buruk ketika alur reproduksi ilmu pengetahuan keagamaan terkait kehidupan perempuan, rantai makanannya bersumber dari para dai yang mempersetankan perempuan. Masih ingat Febri Sugianto yang berujar bahwa pembalut dan sepatu hak tinggi dapat mengakibatkan perempuan susah hamil? Ambisi sesatnya untuk mengatur bagaimana perempuan berpakaian itu jatuh kepada pernyataan yang begitu diskriminatif dan patriarkis. Pertama, seolah perempuan yang tak bisa hamil adalah kesialan sekaligus kesalahan. Kedua, perempuan yang susah hamil disebabkan oleh tindakannya yang tidak patut soal apa yang ia kenakan.

Atau, masih ingat pernyatan Zulkifli Ali yang memvonis perempuan sesar disebabkan mereka dirasuki jin? Juga, Syamsuddin Nur Makka yang penuh semangat mengimajinasikan pesta seks di surga dengan belasan bidadari perawan yang ia objektifikasi? Klaim-klaim yang memposisikan perempuan semacam daging mati yang tak punya akal pikiran dan kehendak itu, selamanya tak akan mengizinkan perempuan memiliki hak untuk bertindak.

Selain kepada produksi dai yang misoginis itu, kita juga wajib mendiskusikan bagaimana kalimat iklan industri jilbab bekerja. Brandpakaian muslimah seorang ustaz mualaf misalnya, selalu mengkampanyekan bahwa perempuan yang memakai jilbab akan nampak lebih cantik, dan tentu saja lebih salihah. Kalimat jualan ini dibungkus oleh ayat-ayat agama yang memiliki kekuatan kepada truth. Sehingga, simpulan yang diproduksi adalah mereka yang tak berjilbab tidak cantik dan tidak memiliki moralitas yang lebih baik. Simpulan semacam ini menajamkan perang stigma antarperempuan. 

Di tengah perempuan yang tengah memperjuangkan hak akan sesuatu yang lebih substantif seperti cuti hamil, gaji buruh perempuan, hukum pelecehan dan kekerasan seksual hingga wacana affirmative action yang belum optimal, kita selalu saja tersandung oleh debat artifisial atas kuasa tubuh semacam ini. Sayangnya, produsen pakaian muslimah yang percaya pada klaim kecantikan dan kesalihan nan rapuh itu sebagian besar juga adalah perempuan sendiri.

 
(Sumber: Detikcom)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed