by

Jika Cermati Data BPS, Penurunan Kemiskinan di Era Jokowi Memang yang Terbaik

Pertama, seolah-olah benar dengan bahasa statistiknya, ia hanya mengurangi presentase jumlah penduduk miskin dan membandingkannya. Entah rumus dan ajaran ekonomi apa yang ia gunakan sehingga tega mempertunjukkan kekeliriuannya secara mutlak. Ia mencontohkan di era kedua SBY menjabat (2009-2014) berhasil menurunkan presentase kemiskinan dari 14,15 persen ke 10,96 persen (selisihnya 3,46 persen).

Dengan gagah, ia pun membandingkan performa Jokowi yang menurunkan kemiskinan dari 10,96 persen menjadi 9,86 persen (selisih 1,1 persen). Kesimpulan yang disebarluaskan, 1 persen tentu lebih kecil dari 3,46 persen.

Sayangnya, menghitung presentase kemiskinan bukan sesederhana menghitung dengan pengurangan atau penjumlahan angka saja. Ingat, rumus penghitungan menggunakan perbandingan dengan jumlah penduduk yang ada. Apakah jumlah penduduk di era SBY di 2010 sama jumlahnya dengan jumlah penduduk di era Jokowi pada 2018? Tentu tidak.

Jumlah penduduk di tahun 2010 sekitar 237,6 juta jiwa, sementara di Indonesia pada 2018 jumlah penduduknya sekitar 263 juta jiwa. Ada peningkatan sekitar 10 persen jumlah penduduk. Artinya untuk mengetahui performa penduduk miskin tidak bisa serta merta mengurangi presentasenya saja tanpa menghitung jumlah penduduknya. Itu adalah hal yang sangat konyol dalam ilmu ekonomi.

Jika “mau” menghitung secara presentase saja, dan kita kaitkan dengan peningkatan jumlah penduduk 10 persen, performa penurunan kemiskinan Jokowi bisa didapat angka 11,1 persen. Itu bila ingin menggunakan cara hitung-hitungan yang sama sederhananya dengan pak mantan pejabat Kementerian seperti yang disebut di atas.

Kedua, mari lihat secara jumlah, bukan presentase. Pada 2010 (era SBY) jumlah penduduk miskin 31,2 juta orang dan pada 2014 berkurang menjadi 28,28 juta orang, atau turun 3 juta orang. Sementara, saat ini jumlah penduduk miskin 25,95 juta orang atau turun 2,3 juta orang. Hanya selih 700.000 orang. Angka ini tentu terabaikan bila hanya mengurangi presentase saja.

Ketiga, dalam logika sederhana, semakin sedikit penduduk, maka seharusnya jumlah penduduk miskinnya semakin sedikit. Faktanya, dari data BPS kita ketahui, jumlah penduduk di era Jokowi yang paling banyak (dibanding jumlah penduduk di era Presiden sebelumnya) justru jumlah penduduk miskinnya paling sedikit. Itu lah fakta yang tidak bisa dibantah oleh akal sehat.

Terakhir, mantan pejabat yang katanya ahli statistik di Kemenakertrans itu pun mengutip Hasil Survey Credit Suisse berjudul “Global Wealth Report 2017” yang mengatakan 111 ribu penduduk Indonesia digolongkan milioner, atau berpendapatan di atas Rp 13,5 miliar per tahun.

Jumlah itu dikatakan meningkat 10 persen per tahun, seolah ia ingin mengkontraskan dengan pengurangan jumlah presentase penduduk miskin. Namun, sayangnya, ia tidak memberikan data, dihitung dari tahun berapa peningkatan 10 persen itu? Nampaknya angka itu mengada-ada.

Faktanya, Credit Suisee merilis “Global Wealth Report 2014” yang menyebutkan 98 ribu penduduk Indonesia yang digolongkan milioner. Artinya, tiga tahun Jokowi memimpin sejak 2014 ke 2017 hanya terjadi peningkatan 13 ribu milioner. (di 2017 jumlah penduduk milioner 111 ribu)

Bandingkan dengan peningkatan jumlah milioner dari tahun 2010-2014 (era SBY). Masih dikutip dari Credit Suisse “Global Wealth Report 2010” jumlah penduduk Indonesia yang tergolong milioner, yaitu 60 ribu orang. Artinya di era SBY terjadi peningkatan 38 ribu milioner baru (di 2010 ada 98 ribu milioner). Jadi, di rezim siapa sebenarnya peningkatan milioner lebih dahsyat?

Memang selalu menarik untuk mengulik data dan statistik. Semua orang dapat menghitung dan menyimpulkan data dan statistik. Namun demikian, tidak semua orang dapat menerjemahkannya dengan benar. 
Mari belajar bersama…

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed