by

Jelang 9 Hari Lagi Asian Games 2018: Tiket Mahal , Rakyat dijadikan Obyek

Erick Thohir, sebagai ketua INASGOC, menurut mBah Coco tidak punya wawasan, tidak pernah meneliti dan tidak punya data tentang, bagaimana sebuah negara menjadi penyelenggera event raksasa, sekaliber Olimpiade atau Asian Games. Mengapa?

Inggris, atau Cina atau Brasil yang terakhir menjadi tuan rumah Olimpiade, merasa rugi dan merasa ampun-ampun, saat menjadi tuan rumah. Mengapa? Karena, dengan menjadi tuan rumah, otomatis banyak sekali gedung-gedung olah raga dibangun, atau direnovasi atau dibangun ulang. Negara, pasti akan “kobol-kobol” dalam mengeluarkan anggaran, untuk menjadi tuan rumah. Hasilnya, setelah event raksasa selesai, maka negara pasti rugi. Kecuali, sebagai tuan rumah Piala Dunia atau World Cup, dijamin untung gede banget.

Ada dampak yang terjadi setelah menjadi tuan rumah. Yaitu, tidak semua gedung-gedung yang sudah dibangun, akan digunakan setiap bulannya oleh cabang-cabang olah raga. Ini Asian Games 2018 belum dimulai. Nanti, menurut mBah Coco, ada gedung cabang BISBOL, yang sudah merubuhkan sekitar 24 lapangan tenis di kawasan GBK, akan tidak ada kegiatan, dan akan rusak pelan-pelan. Mengapa? Siapa yang peduli, dengan cabang BISBOL? Beruntung, kalau gedungnya “multiguna”, bisa jadi untuk dimanfaatkan ajang event-event lain, kalau tidak, bijimane?

Banyak negara-negara yang sudah menjadi tuan rumah Olimpiade atau Asian Games, selalu merugi. Khususnya, gedung-gedung yang dibangun, tidak lagi bisa digunakan oleh cabang-cabang olah raga. Pasalnya, cabang olah raga tersebut, tidak pernah bisa popular di negera tuan rumah tersebut. Indonesia, contohnya gedung BISBOL. Padahal, kalau lapangan tenis tetap dipertahankan di kawasan GBK, maka ceritanya akan lain. Ingat, sejak 1972, 76, 84, sampai 1988 Indonesia selalu meraih medali emas di cabang tenis. Tetapi, kini lapangan dihancurkan. Busyet dach…

Kini, di Asian Games 2018 ini, versi mBah Coco, RAKYAT dipastikan dijadikan obyek “sapi perahan”?

Disaat, negara yang terlambat membangun olah raga sebagai “tonggak” kebanggaan bangsa dan negara. Disaat olah raga tidak menjadi bagian penting dari “8 Nawa Cita” pasangan Jokowi0JK. Naka, kini RAKYAT dipaksa untuk berpartisipasi, agar berbondong-bondong untuk menonton. Sementara itu, INASGOC seenak jidatnya menjual harga tiket, yang menggorok kantong masyarakat.

Menanggapi keluhan mahalnya harga tiket Asian Games 2018, Ketua Penyelenggara Asian Games 2018, Erick Thohir mengatakan harga-harga tersebut sudah dikaji secara mendalam. 
Harga tiket, sebesar Rp 200 ribu hingga Rp 2 juta dinilainya sudah pas untuk kantong masyarakat Indonesia. Ia kemudian membandingkan dengan harga tiket konser Celine Dion yang mencapai Rp 20 juta namun tetap diburu masyarakat.

Busyet dagh, tiket Asian Games 2018 dibandingkan dengan tiket Celine Dion. Nggak masuk akal, dan nggak nalar cara pola piker Erick Thohir beralasan. Makanya, sejak awal mBah Coco bilang, bahwa Erick Thohir itu sontoloyo mbelgedes. Dan, banyak pendukung Erick Thohir marah kepada mBah Coco.

Coba dibayangkan saja dulu. Asian Games 2018 sebagai pesta olah raga Asia ke 18 ini, sebagai pestanya bangsa ini, sekaligus sebuah kebanggaan, bisa menjadi tuan rumah kembali, sejak 1962 – pesta olah raga Asia ke-2. Asian Games itu, menjadi virus membangun infrastruktur. Lihat saja, saat Bung Karno menyatakan siap menjadi tuan rumah Asian Games 1962. Stadion Utama Senayan, Hotel Indonesia, Jembatan Semanggi, Sarinah sebagai mall pertama, Tugu Selamat Datang – Bunderan HI dibangun. Pertanyaannya duit negara dari mana? Dan, saat itu, Soekarno tidak terpikir cari untung, kecuali member kebanggaan bagi bangsa dan negara.

Kini, saat Asian games 2018 siap-siap digelar, justru Erick Thohir “memeras uang RAKYAT”, dengan menjual tiket pertandingan dengan harga yang tak mampu dijangkau kantong warga kebanyakan. Apakah ini nggak semprul sontoloyo. Inilah watak Erick Thohir, saat ditunjuk negara sebagai ketua INASGOC, karena basic-nya orang bisnis, jadinya hanya cari untung.

Bagaimana mungkin, rakyat penggemar olah raga mau berbondong-bondong? Dengan harga tiket yang tinggi, rata-rata dijangkau oleh warga yang punya mobil. Hanya saja, kalau mau nonton pake mobil, tapi harus dibatasi dengan nomor ganjil-genap, bijimane mau nonton pake mobil?

Dari sinilah, awal muasal, mengapa negara salah memilih orang bisnis untuk mengurus event olah raga kaliber dunia. Harusnya, yang dipilih adalah teknokrat, seorang leadership dan jenius menbangun manajemen olah raga, sekaligus pelaku olah raga, serta tidak cari untung. Negara tidak mampu memilih pemimpin “tangan besi”, dampaknya aturan main Erick Thohir, bisa dikalahkan dengan aturan Anies Baswedan dan Alex Noerdin sebagai gubernur Jakarta dan Palembang.

Yang rugi negara, yang malu presidennya, dan penggemar olah raga tak bisa nonton, karena haga tiket mahal, dan semuanya – jika ingin nonton, tergantung nomer ganjil-genap. Benar-benar sontoloyo negeri ini, Son !!!

Bijimane?

 

Sumber : facebook Ali Winata

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed