by

Jarak Antara Jakarta dan Keadilan

Salah satu dari kami kemudian berkata, jadi Mbak Cantik mengundurkan diri ya. Mbak Cantik menjawab tegas, “Tidak. Saya dipecat. Saya upload surat pemecatannya waktu itu.”
Ia ternyata berbeda pendapat saat Pilpres dan Pilkada Ibukota. Saya lebih suka kata pecat katanya, sebab dengan kata ini, posisi saya jelas. Keberpihakan saya pun jelas, katanya. Keren.

Selepas itu saya banyak berpikir soal kata pecat. Kata itu begitu mengerikan, namun di sisi lain juga begitu memilukan. Bahwa di ‘dunia kerja’ kata itu merujuk pada ketidakmampuan bekerja atau pelanggaran regulasi dan kriminalitas. Hal-hal negatif. Tetapi saat bicara politik, hal-hal yang berkait pada kata pecat tak melulu kompetensi. Bisa jadi loyalitas dan ideologi. Menjadi kabur saat kata pecat disematkan pada pekerjaan-pekerjaan bernuansa politis. Bisa jadi penyebab pecat memang politis, bisa jadi juga ketidakmampuan.

Saya kembali tertawa sendiri. Menilai apa penyebab pemecatan mungkin bukan melulu dengan memilahnya menjadi masalah politis atau bukan. Tetapi lihat kejadian-kejadian panjang sebelum dan setelahnya. Apakah yang bersangkutan tetap berprestasi? Apakah yang bersangkutan berteriak-teriak sebagai korban? Ada banyak yang harus ditelaah.

Saya kemudian sadar, bukan cuma kata pecat saja yang bisa membuat kita terbelah jadi dua kubu pro dan kontra. Ada banyak kata lain. Termasuk kata ‘prestasi’ dan ‘korban’. Lalu bagaimana caranya agar banyak dari kita bisa melihat dengan obyektif? Menyikapi segala kata penuh dualitas makna itu dengan adil?

Entah. 
Namun saya sempat menonton tayangan di Nat Geo sepintas, tentang rekonsiliasi pasca kerusuhan Rwanda. Pembicara (kalau tidak salah mantan Presiden Rwanda) mengatakan rekonsiliasi ini dimulai dengan memberi pengertian yang lebih jelas pada arti kata ‘keadilan’ dan ‘balas dendam’. Kedua kata itu mengabur maknanya di masa kerusuhan. Dan kini, kami menegaskan bahwa balas dendam bukan keadilan karena selalu ada pihak yang dirugikan, dan itu akan memancing balas dendam baru. Lingkaran kejahatan yang tak akan putus.

Lalu ia menambahkan, pada keadilan, tak ada pihak yang dirugikan. Saya manggut-manggut, mendapati pengertian baru. Berusaha adil mungkin bisa dimulai dengan tidak melulu berpikir tentang keuntungan dan kerugian kita, tetapi dengan menyadari agar jangan sampai ada pihak yang kita rugikan. Bukan melulu melihat pikiran kita yang terbenar, tetapi memberi ruang bagi pikiran lain untuk kita anggap benar.

Sumber : Status Facebook Vika Klaretha

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed