by

Jangan Biarkan Negara Mengacak-Acak Ranah Privat Kita

Argumentasi para pengusul dikemas dengan niat mulia. Menurut mereka RUU Ketahanan Keluarga ini untuk menciptakan keluarga yang tangguh dan tidak rentan. Indikator kerentanan keluarga, menurut para pengusul sangat beraneka ragam. Beberapa indikator itu adalah frekuensi perceraian makin tinggi, maraknya kekerasan dalam rumah tangga marak, praktik perkawinan anak, kekerasan seksual, hingga melonjaknya angka kematian ibu muda akibat gangguan reproduksi.

Tapi desain politik legislasi yang direncanakan oleh para pengusul justru samasekali tidak memberikan jalan keluar. Alih-alih melahirkan pranata yang adaptif, adil, dan pro kesetaraan gender, rancangan itu justru mempertontonkan keangkuhan kuasa negara karena merangsek ke relung terdalam entitas keluarga. Rancangan itu akan membuka ruang intervensi negara ke dalam wilayah privat yang mengungkung anggota keluarga dalam sekat aturan teknis yang kaku dan monolitik.

Salah satu pasal yang menimbulkan polemik adalah soal kewajiban istri dalam rumah tangga. Pasal 33 ayat 3 rancangan itu menyebutkan kewajiban istri untuk mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Pasal ini kental pengaruh budaya patriarki dan memposisikan kaum perempuan di bawah dominasi laki-laki, sehingga rumusan pasal tersebut melanggar Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, yang prinsip-prinsip umumnya sudah termaktub dalam UUD 1945.

Perempuan tak lebih hanya sebagai konco wingking (macak, manak, masak). Padahal tidak setiap urusan di bidang ekonomi, politik, hukum, dan sosial selalu identik dengan peran laki-laki. Tidak pula semua aktivitas di wilayah domestik menjadi tanggung jawab perempuan.

Pada era revolusi industri 4.0, peran perempuan di kancah publik kian terbuka. Fenomena wanita karier yang mencuat bersamaan dengan pergeseran peran perempuan tidak selalu diartikan sebagai perempuan tidak becus mengurus rumah tangga manakala berorientasi pada semangat berpacu dalam kebaikan. Semua orang punya kesempatan yang sama dalam mengembangkan diri tanpa dibatasi oleh perbedaan jenis kelamin.

RUU Ketahanan Keluarga ini juga semakin aneh saat mengatur tata letak ruang tidur anak dan cara reproduksi wanita bahkan mengatur keluarga dalam menyikapi suatu ajaran agama. Ini sudah sangat kebablasan dan tidak bisa kita biarkan. Saat kita membiarkan negara mengacak- acak ranah domestik, kita seolah membuka pintu intervensi bagi negara ke dalam urusan terlalu pribadi keluarga kita. Dan ini seperti sistem negara komunis. Ini yang harus kita lawan dan tolak.

Ada angin segar saat mendengar Puan Maharani dan beberapa anggota DPR-RI juga menyatakan penolakannya. Tapi pertanyaannya mengapa RUU Ketahanan Keluarga tersebut bisa lolos pada Program Legislasi Nasional (Prelegnas) prioritas ? Dan melihat dari pengusul RUU tersebut yang empat orang diantaranya dari PKS, Gerindra dan PAN, kita patut curiga: Ada apa di balik pengusulan ini ?atau jangan-jangan “apa ada…..”.

Lepas dari siapapun pengusulnya, kita harus menolak keras keberadaan RUU Ketahanan Keluarga ini. Pemerintah harus konsisten menolak pembahasan RUU ini. Presiden Jokowi harus memberi instruksi keras kepala Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk kukuh menolak RUU Ketahanan Keluarga ini. Jangan berikan ruang sekecil apapun kepada Yasonna Laoly untuk bermanuver atau berimprovisasi seperti sebelum- sebelumnya yang hanya berpatokan pada kajian administrasi hukum semata.

Lagi pula mengapa DPR RI seperti kurang kerjaan mengagendakan bahasan suatu urusan yang tidak menjadi urusan mendesak masyarakat. Mengapa mereka tidak segera membuat RUU Toleransi dan Kerukunan Beragama saja, sesuatu yang sangat mendesak dibutuhkan oleh rakyat Indonesia saat ini ?

Wakil rakyat jangan berbuat semaunya dan seenak sendiri, kalau rakyat sudah mencabut mandatmu, ambyaaar kowe….

Salam SATU Indonesia
27022020

 

(Sumber: Facebook Rudi S Kamri)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed