malah bikin ribut, memecah belah masyarakat dengan isu yang tendensius.
Ini persis peribahasa Madura: akotak tak atellor (berkotek-kotek tapi tidak kerja), cuma bikin ribut thok! Ahok yang sudah banyak kerja cuma karena terlalu banyak ngomong, akhirnya kena jerat omongannya sendiri. Loh ini belum kerja sudah bikin ribut. Mau bayangkan 5 tahun ke depan seperti ini?
Pidato Anies yang tendensius dan potensial memecah-belah bangsa ini harus ditolak rame-rame oleh publik, kalau perlu diuji secara hukum, agar tidak dianggap sah dan absah dalam kampanye politik yang bisa dipakai untuk 2019.
Seperti halnya ujaran kebencian, hate speech, fitnah dan hoax yang sebelum-sebelum ini dianggap sah, tapi saat ini sudah bisa disebut kriminal. Bisa ditindak oleh penegak hukum.
Jangan memakai Politik SARA untuk menang, karena bukan kemenangan yang didapat, tapi perpecahan dan kehancuran!
Karena Politik adalah ranah untuk melayani rakyat banyak, bukan malah untuk memecah belah anak-anak bangsa!
Andai pidato Anies ini diucapkan oleh kakek dia, AR Baswedan 72 tahun lalu mungkin lumrah. Di saat bangsa Indonesia baru lepas dari penjajah. Tapi Anies menunjuk “kini saatnya” setelah 72 tahun bangsa Indonesia sudah merdeka dan berdaulat atas negara ini.
Dan kakek dia, AR Baswedan tidak ikut pidato “pribumi” tapi beliau yang salah seorang yang bisa disebut Pahlawan Kemerdekaan RI ikut Proklamasi yang menegaskan “Kami Bangsa Indonesia” bukan “Kami Pribumi”.
Karena kita adalah Bangsa Indonesia, kita adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang sudah tidak mengenal pribumi dan non pribumi. Artinya meski Anies yang keturunan Arab Yaman bermarga Baswedan dan beristri keturunan Arab, selama dia warga negara Indonesia, maka dia, istri, anak-anak dan keluarganya adalah WNI, tak layak disebut non pribumi.
UU No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis pun telah tegas, sekaligus ada ancaman pidananya bagi yang mencoba-coba mendiskriminasi orang berdasarkan afiliasi ras, etnia dan keturunannya.
Demikian pula Instruksi Presiden No 26 Tahun 1998 yang melarang penggunaan istilah pribumi dan non pribumi.
Meskipun saya bisa disebut “Pribumi Muslim” tapi saya tak merasa terwakili oleh spanduk-spanduk yang berbunyi “Kebangkitan Pribumi Muslim” saat menyambut Anies Baswedan setelah Pelantikannya.
Spanduk-spanduk itu jelas-jelas mengancam keutuhan bangsa, yang bisa dianggap sebagai pesan kampanye politik untuk 2019.
Dan saya pun menduga Pidato Anies dengan istilah “pribumi” dan spanduk-spanduk “kebangkitan pribumi muslim” semacam “genderang perang” terhadap Jokowi 2019.
Inilah politik kegaduhan yang menghalalkan segala cara untuk kekuasaan, nasib rakyat akan dikorbankan.
Maka…
Mari kita kembali ke khittah politik, seperti kata Gus Dur: politik sebagai jihad untuk memperjuangkan nasib orang banyak.
Politik para pendiri bangsa dan negara ini yang dulu mempersatukan, bukan memecah belah berdasarkan suku, ras, agama dan aliran.
Seperti slogan yang diteriakkan oleh Gerakan Pemuda Ansor di bawah komando Gus Yaqut: #KitaIniSama. Kita ini sama-sama Bangsa Indonesia. Kita ini sama-sama Warga Negara Indonesia. Tidak ada pribumi dan non pribumi!
Karena kembali ke Khittah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Kita telah memproklamirkan:
“Kami Bangsa Indonesia”!
Sumber : Status Facebook Guntur Romli
Comment