by

Islam Politik Yang Tidak Islami

Imam Thabari melaporkan meninggalnya sang Khalifah dengan cukup mencurigakan. Malamnya sehabis minum-minum dan makan banyak, Khalifah tidur dan meninggal. Nasib al-Mufawwad, mantan putra mahkota, juga tidak jelas setelah itu. Spekulasi beredar di kalangan sejarawan lain bahwa al-Mufawwad telah dibunuh, dan wafatnya Khalifah al-Mu’tamid karena diracun. Wa Allahu a’lam.

Saya pernah menceritakan pada tulisan saya yang lain

(http://nadirhosen.net/tsaqofah/tarikh/politisasi-ayat-dan-hadits-dalam-sejarah-islam)

bagaimana Khalifah al-Mu’tadhid memainkan isu agama dengan sangat politis, utamanya dalam mengecam sahabat Nabi, yaitu Khalifah Mu’awiyah, dan para pendiri Khalifah Umayyah. Khalifah al-Mu’tadhid juga langsung mengangkat sejumlah kawan dekatnya, yaitu Ubaid Allah bin Sulaiman sebagai Perdana Menteri (Wazir).

Sewaktu Ubaid meninggal pada tahun 901 (sekitar 10 tahun menjabat), yang menggantikannya sebagai Wazir adalah anaknya sendiri, yaitu al-Qasim. Jadi, bukan saja ada tradisi mengangkat keturunan sendiri sebagai khalifah, namun juga mengangkat anak perdana menteri menggantikan ayahnya. Dalam bahasa modern ini jelas nepotisme yang bahkan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan keempat Khulafa al-Rasyidin.

Berbeda dengan ayahnya yang dianggap sebagai Wazir yang jujur, Qasim ini lumayan brutal. Ketika Khalifah al-Mu’tadhid meninggal di usia 48 tahun, pada 5 April 902, al-Qasim memenjarakan semua pangeran untuk mencegah perebutan kekuasaan, sampai putra mahkota al-Muktafi tiba dari wilayah Raqqa ke Baghdad.

Khalifah yang baru, al-Muktafi, masih berusia 25 tahun saat itu, dan Qasim dengan cepat mempengaruhi khalifah baru. Al-Muktafi di Raqqa mengangkat sekretaris yang bernama al-Husayn bin Amr. Imam Thabari melaporkan bahwa sekretaris ini beragama Kristen. Sampai di sini kita paham bahwa sejarah islam menunjukkan non-Muslim pun pernah diangkat menjadi pejabat penting.

Namun, Qasim mencopotnya dan menggantikan al-Husayn bin Amr dengan anak Qasim sendiri sebagai sekretaris Khalifah. Qasim juga mengatur penangkapan dan pembunuhan terhadap orang dekat Khalifah sebelumnya yang dikhawatirkan mengganggu posisi Qasim dan Khalifah al-Muktafi. Nama-nama mereka yang dibunuh di antaranya Emir wilayah Safarid yaitu Amr Laits Shafari, Jenderal Abu Najm Badr, yang telah menjabat sejak masa Khalifah al-Mu’tadhid, bahkan penyair Ibn Rumi. Semua dilakukan atas nama politik kekuasaan dengan imbuhan ayat suci.

Sejarah khilafah bukan saja memberi kita kisah gilang gemilang masa kejayaan Islam, tapi juga sejarah kelam politisasi ayat suci demi kekuasaan. Imam al-Thabari telah mencatatnya dengan rapi dan dijadikan rujukan para ahli. Sayangnya, para pendukung khilafah tidak mau mengungkapkan cerita kelam ini karena mereka beranggapan “khilafah berdiri, semua persoalan selesai.”

Apa pelajaran penting yang bisa kita ambil? Pengangkatan khilafah setelah masa Khulafa al-Rasyidin itu ditentukan oleh dinasti: kekuasaan berlanjut turun temurun berdasarkan keturunan. Bukan berdasarkan pemilihan atas dasar kemampuan personal dan pilihan rakyat.

Dalam sejarah khilafah Umayyah dan Abbasiyah, tidak ada yang namanya pemilihan umum secara langsung yang melibatkan rakyat. Tentu ini menjadi aneh ketika kemudian pada masa negara demokrasi modern ada yang teriak-teriak hendak kembali menegakkan khilafah, tapi pada saat yang sama melarang Muslim memilih non-Muslim menjadi gubernur lewat pemilihan umum secara langsung.

Zaman khilafah saja tidak ada pemilihan umum, kok mereka memakai ayat suci untuk Pilkada Jakarta seperti saat ini? Mereka seolah bukan hidup di tahun 2017; boleh jadi mereka harus kembali ke masa silam seribu tahun yang lampau untuk memahami intrik politik Khalifah al-Mu’tamid, al-Mu’tadhid, dan al-Muktafi berikut para putra mahkota dan Wazirnya.

Intrik politik pengangkatan khalifah yang berujung pada pembunuhan, peracunan, dan penangkapan itu terjadi karena suksesi dilangsungkan tanpa melalui pemilihan umum. Beruntunglah praktik nepotisme ala khilafah Umayyah dan Abbasiyah tidak berlaku lagi di negara demokrasi.

Bayangkan kalau khilafah berdiri kembali, maka pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah akan dihapuskan dan pengangkatan pemimpin semata berdasarkan darah keturunan; rakyat hanya menonton saja. Masak, sih, Anda mau kembali ke sistem pemeritahan model khilafah ini? Mikirrrr! **

Sumber : geotimes

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed