by

Islam di Sumatera Barat

Mitos Purifikasi
Memang tak dipungkiri, dinamika Islam di ranah Minang tidaklah berjalan linear sebagai arus moderat. Terdapat beberapa episode sejarah yang ambigu, dengan sisi hitam dan putihnya. Salah satu yang terkenal adalah gerakan Padri yang melahirkan perang saudara di Minangkabau abad 18 CE. Menurut Buya Hamka, itu adalah gerakan pemurnian akidah yang pertama di Asia Tenggara, yang kemudian berubah menjadi perang melawan kolonial Belanda. Pandangan ini banyak diikuti oleh akademisi Islam Indonesia kontemporer, antara lain oleh Haedar Nasir yang menegaskan gerakan Padri Sumatra Barat memang berwatak puritan[4]. Ia menyatakan gerakan purifikasi yang melekat dengan perjuangan Padri dan Islamisasi di Minangkabau memiliki keterkaitan dengan paham Wahabi yang memang kuat di Minangkabau. Cirinya adalah cenderung keras dalam memberantas sirik, tahayul, bidah, dan khurafat. Namun kecenderungan keras dalam keagamaan selalu didorong oleh faktor yang bersifat kompleks, baik eksternal dan internal yang berperan mendorong pertumbuhannya.
Ia mencatat, purifikasi Padri itu telah ditopang oleh empat aspek. Pertama, orientasi paham Wahabi yang memang berkarakter puritan dan lebih keras. Kedua, kondisi sosiologis masyarakat Minangkabau yang dipandang tidak sejalan dengan paham keagamaan yang tidak menghendaki praktik sirik, khurafat, bidah, dan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Ketiga, watak hegemoni kekuasaan dan gerakan di mana pun yang bersifat ekspansionistik, lebih-lebih yang bersenyawa dengan misi keagamaan yang bersifat puritan. Keempat, yang sifatnya lebih luas dan struktural, yakni perlawanan terhadap penjajah yang sifatnya hidup-mati dan memerlukan mobilisasi sosial-politik yang besar-besaran.
Aspek puritanisme tentulah bukan satu-satunya sudut pandang dalam melihat gerakan Padri di Minangkabau. Sementara yang lain berfokus pada sisi ekspansionis dan radikal dari gerakan itu, Christine Dobbin (Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847[5]) malah memandang dalam konteks “perebutan sumberdaya ekonomi”. Menurut Dobbin, perniagaan bebas yang berlangsung di Sumatra Tengah terganggu oleh monopoli Belanda, yang akhirnya mendorong masyarakat Sumatra Tengah mendukung perlawanan kaum Padri untuk mendapatkan kembali kebebasan perniagaan itu.
Ada banyak bahasan dari banyak pensyarah dan peneliti dengan ragam sudut pandang mengenai gerakan yang dimulai oleh kepulangan tiga orang Haji Minangkabau dari Tanah Suci pada tahun 1803 ini. Namun sisi kontemplatif dan paling dramatis dari gerakan Padri Minangkabau justru muncul di akhir episode ketika Tuanku Imam Bonjol, seorang pemimpin gerakan Padri yang paling populer, menerbitkan memoar yang berisi penyesalan akibat kekerasan tak terkendali dan kerusakan yang ditimbulkan gerakannya selama perang Padri. Ini adalah sumber primer dari pelaku sendiri mengenai Perang Padri dan pernah diterbitkan pada 2004 oleh Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM) di Padang dengan judul Naskah Tuanku Imam Bonjol.[6]
Sayangnya, sisi penyesalan itu tidak menjadi fokus dalam buku pelajaran sekolah mengenai perang Padri. ‘Kepentingan nasional’ untuk mengeksplorasi semangat anti penjajah, membuat kebanyakan narasi tentang perang Padri lebih menekankan aspek militer ketimbang aspek religius. Konsekuensinya, agresivitas dan kekerasan yang menjiwai gerakan Padri jadi seakan mendapat pembenaran. Di masa Orde Baru, seperti kita tahu, Imam Bonjol menjadi pahlawan nasional, nama jalan dan bahkan Universitas Islam di Sumatra Barat. Pewarisan narasi sejarah seperti itulah yang mendasari penerimaan masyarakat Sumbar atas gerakan Padri hingga masa ini, yang sedikit banyak berpengaruh terhadap corak keagamaan yang kemudian berkembang di Sumatra Barat, terutama dalam keberlanjutan mitos “Minang Islam”.
Para pengkaji sejarah, antara lain Taufik Abdullah, telah memandang perang Padri sebagai “batas sejarah” Minangkabau yang mengakhiri diktum adat alam[7]. Pendapat itu mengandaikan, selepas gerakan Padri, sejarah budaya Minang bergerak tanpa ada suatu kuasa budaya yang memainkan peranan dominan. Maka budaya Minang sejak periode ini sesungguhnya merupakan proses kompromi antara kepentingan kolonial (yang setengahnya merepresentasikan modernisme Barat), kepentingan adat, dan agama.
Menjadi menarik dikaji, karena di tengah dinamika yang serba kompromis itu, imajinasi tentang purifikasi ternyata tetap bertahan di Sumatra Barat, yang belakangan lahir kembali sebagai corak umum wawasan agama masyarakat ini. Gejalanya sudah muncul sejak masa Orde Baru, ketika sekalangan ulama asal Sumatra Barat mempelopori penolakan atas azas tunggal Pancasila[8]. Pada tataran realitas, penolakan itu diekspresikan melalui kecaman pada beberapa proyek investasi yang dituduh bernuansa kristenisasi.
Isu kristenisasi ini kemudian menjadi lokus penting dalam wacana keagamaan di Sumatra Barat, yang hakikatnya merupakan kanalisasi atas ketidakberdayaan menentang rezim Orde Baru. Namun setelah Orde Baru berganti, isu ini berkembang menjadi phobia budaya dan menjadi mainan politik karena masih ampuh untuk menggerakkan emosi massa. Mengapa bisa demikian? Jawabnya cukup sederhana; karena orang Minang memerangkap dirinya dalam mitos purifikasi Minang Islam yang belakangan disinyalir menguat lagi akibat masuknya paham transnasional yang berkembang melalui partai dan ormas-ormas berbendera Islam.
Media Sosial dan Pemilu
Sebetapapun dibantah, purifikasi terus berlangsung sebagai bagian dari irama hidup kontemporer di Sumatra Barat. Tak jauh berbeda dengan gejala purifikasi budaya dan agama yang kini tengah melanda beberapa wilayah di Indonesia, orang Minang pun harus melepaskan otak besarnya demi angan purifikasi itu. Khususnya otak besar berupa kearifan dan kejernihan berpikir sebagaimana telah ditunjukkan para ulama dan cendekia terdahulu.
Namun yang lebih menggelisahkan banyak kalangan, kini mitos itu meluas melalui media sosial. Ini terutama terjadi dalam masa pemilu 2019 lalu. Massifnya penggunaan media sosial di Sumatra Barat, ternyata diikuti oleh massifnya penyebaran berita hoaks dan ujaran kebencian. Menurut data Polda Sumbar, selama proses Pemilu 2019 lalu, ada 3000 informasi bohong alias hoaks yang beredar, tak kecuali di Sumatra Barat terkait dengan pemilihan umum (Pemilu) 2019. Panasnya iklim politik akibat kompetisi para kontestan pemilu, telah membuka peluang bagi penyebarluas berita hoaks tentang agama[9]. Sejumlah orang telah diproses hukum berkaitan dengan hoaks ini, sementara sejumlah deklarasi anti hoaks juga dilakukan berbagai elemen masyarakat. Fenomena ini membuktikan penggunaan media sosial yang keliru merupakan salah satu masalah sosial budaya yang menonjol pada masa kini. Tak kecuali di Sumatra Barat.
Penulis adalah deklarator Jaringan Intelektual Berkemajuan (JIB) dan peneliti senior di CEDEP President University. Lahir di Sumatra Barat, menekuni puisi dan bergiat di bidang budaya. Buku kumpulan esainya, Suaka-Suaka Kearifan terbit 2019
 
Sumber : Status Facebook Riki Dhamparan Putra

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed