Oleh: Alfathri Adlin
Suatu ketika, sahabat saya, seorang Katolik yang taat dan baik serta keturunan Tionghoa, terkejut melihat bahwa sesuatu yang dia kira bukan masalah dan topik yang panas serta bisa mengundang keributan di kalangan Umat Muslim ternyata malah sebaliknya. Dia berkata “Eh itu topik panas ya ternyata?” Saya menanggapi: “Tolong jawab satu pertanyaan berikut ini dengan sepenuh hati ya: ‘Selama dirimu hidup di muka bumi ini dan bersinggungan dengan berbagai jenis orang Islam, tolong sebutkan satu saja isu dalam Islam yang tidak bisa jadi isu panas?’ Aku akan sangat berterima kasih jika dirimu bisa membantuku untuk mengidentifikasinya…”
Setelah dia tertawa mendengar tanggapanku, lalu dia berkata: “Biar diingat-ingat dulu dengan baik ya…”
Beberapa hari kemudian, dia datang dengan memberi meme Hamka di atas disertai pemaparan sebagai berikut:
“Dari kecil dan sepanjang ingatan, pergaulan dengan orang beragama Islam dimulai dari tetangga, teman main sekitar rumah selalu baik-baik saja. Lebaran kumpul rame-rame, Natal kumpul rame-rame, tahun baru kumpul rame-rame. Ada yang pulang haji kumpul makan-makan, tahlilan orang meninggal, sunatan, 7 bulanan, lamaran, semua dijalani rame-rame.
Masalah mulai muncul setelah lebih besar, kuliah, keluar rumah. Buat saya masalahnya mungkin bukan agama, tapi lebih karena Cina. Kenapa wajah Islam sekarang semakin keras dan defensif? Sekarang segala jadi masalah, dari jabat tangan, tiup lilin, pakaian, makanan, minuman, dari ujung kepala sampai kaki. Dari terbit matahari sampai terbenam, dari lahir sampai mati.
Romoku mengirim link bahwa Arab Saudi menggelontorkan dana ratusan trilyun untuk mengekspor paham Wahabi ke seluruh dunia. Menghancurkan banyak peradaban dan jejaknya supaya hilang dari ingatan. Tadi sobat kita datang lalu cerita dan ngobrol segala macam. Tahu apa yang membuat gereja Katolik bertahan dan bersatu selama 2000 tahun? Terlepas dari segala perpecahan dan luka sejarah, satu hal yang membuat gereja Katolik bertahan adalah otoriter mutlak. Tidak ada demokrasi dalam gereja Katolik. Semua top to down. Sama seragam di seluruh dunia. Tafsir dan intepretasi dilakukan para filsuf dan teolog di Roma.
Demokrasi adalah sistem terbaik dari yang buruk. Kalau demokrasi ada dalam gereja, niscaya hancur lebur hilang tercerai berai. Itu yang terjadi pada banyak gereja yang memisahkan diri dari Roma.
Para filsuf dan teolog berdebat dan bertarung sengit, tapi dalam lingkar mereka sendiri, dan setiap tahun Paus akan mengeluarkan surat gembala, dogma dan aturan yang disepakati untuk dilaksanakan di seluruh dunia. Sampai sesepele urusan sekolah minggu untuk anak-anak ada panduan khusus dari Roma. Bacaan setiap hari, intepretasi dan renungan dari Kutub Utara sampai pedalaman rimba Amazon atau Papua sama persis dalam gereja Katolik. Kalender liturgis istilahnya.
Saya lihat Islam justru sangat demokratis. Banyak orang yang bisa mengeluarkan intepretasi dan tafsir yang sesuai dengan nalar dan kedalaman masing-masing. Perbedaan pendapat tentu saja memecah belah banyak orang. Tidak bisa berharap orang dewasa dan berdiskusi untuk saling memperkaya. Diskusi kebanyakan terjadi untuk mengukuhkan keyakinan sendiri, lebih banyak debat kusir jadinya.
Jadi saya menarik napas panjang. Sekarang segala sesuatu memang jadi masalah. Apalagi kalau sudah yakin dirinya benar. Tidak bisa melihat wahyu sebagai mitos yang perlu didalami dan ditelaah dengan teliti.
Dulu tetangga saya yang berjanggut panjang dan biasa jadi sinterklas saat Natal, bisa datang ngobrol sama bapakku tentang agamanya dengan ringan. Dia bisa menunjuk ketidaksetujuan pada praktik di Islam, pengertian yang keliru tanpa menjadi panas. Terbuka saja. Sekarang kebanyakan orang sangat defensif kalau merasa tercolek urusan keyakinan.
Saya tutup dengan cerita ini.
Kemarin pas ke Yogya, pada saat antri masuk pesawat, petugas bilang, tolong buat satu barisan untuk memudahkan pengecekan. Semua orang otomatis berbaris, lalu seorang perempuan bercadar dengan 3 anak merangsek maju memotong barisan langsung ke depan. Gak ada yang negur, semua hanya diam ngeliatin. Saya sikut si Aa; dia bilang ‘Udahlah, anaknya masih kecil-kecil repot kali.’
Di belakangku kebetulan ada beberapa Cina. Ada perempuan yang bilang, “Duh enak bener ya pakai begitu trus bisa bebas aja…”
Yang laki-laki bilang: ‘Kita tegur dibacok nanti. Kayak kemaren, kita bilang speaker kekencengan, kelenteng satu kota dibakar.’
Pernah ada masanya Al, segala sesuatu bukan masalah. Lalu sekarang segala sesuatu bisa jadi masalah…”
Tanggapan saya atas semua pemaparannya di atas: “Lalu, kenapa saya bisa bicara banyak hal soal Islam dan Kristen secara terbuka cuma dengan kamu? Mengucapkan Selamat Natal kepadamu tanpa membuat sebagian yang lain sewot dan mengklaim bahwa akidah saya sudah tercemar? Kenapa mereka tak lelah merasa sebagai yang paling benar dalam beragama atau bahkan merasa paling suci? Mungkin kita harus bertanya kepada rumput yang bergoyang…”
Islam dan Demokrasi
(Sumber: Status Facebook Alfathri Adlin)
Comment