by

Islam Cingkrang nan Emosional

Kelompok yang satu membela mati-matian tidak ada yang salah, bahkan para proresor, ini yang mengherankan. Sementara kelompok lainnya menghina, mengejek, mempolisikan (baku?) bahkan jika mereka berkuasa mungkin ingin GM mereka hukum mati. Kebablasan. Masa akhlak pembela Nabi seperti pengikut Namrudz.

Dari awal saya mengatakan ini hanya masalah konsep, tidak ada sama sekali maksud menghina (تحقير), merendahkan (تنقيص), apalagi menistakan (تذليل). Masa ia ada penceramah 60 juta umat sengaja merendahkan Nabi. Mikir. Sama juga ketika Pak Somad dan Evi Evendi mengatakan Nabi gagal membawa misi rahmatan lil alamin. Keduanya hanya masalah konsep. Ada yang keliru dalam pemahaman.

Kalaulah GM dianggap merendahkan dan menghina Nabi, dan harus dipolisikan, maka perlakuan yang sama harus ditegakan kepada Pak Somad, dengan cara menggantungnya dialun-alun. Harus fair dong. Jangan hanya karena ustadz Somad dari kelompoknya pura-pura tuli tidak mendengar.

Dari tulisan awal hingga sekarang saya sendiri tidak ada maksud apa-apa, selain mendudukan permasalahan ini secara proporsional. Misalnya karena pernyataan itu viral di media sosial, dan pembelaan-pembelaan yang menyesatkan juga viral di medsos, maka upaya meluruskan adalah di medsos. Kecuali dari awal masalah ini dari obrolan pribadi dikamar GM. Masyarakat perlu mendapatkan info yang jujur dan berimbang.

Tidak ada tujuan untuk memperbanyak follower, kalau tujuannya itu saya bela mati-matian GM dengan teks-teks palsu, wong kebanyakan dari netizen tidak mengerti bahasa Arab fusha. Maka pasti folliwer saya nambah 1000 sampai 5000 orang. Tapi saya tidak melakukan itu, karena itu bukan tujuan saya.

Sama juga ketika saya mendukung Jokowi, saya mendukung visi dan misi, bukan sosok, ketika Jokowi menurut saya ada kebijakan yang gak beres, seperti mempertahankan Rini Sumarno, ya saya tulis apa adanya.

Walaupun waktu itu pendukung fanatik Jokowi mencaci saya, sekarang nyatanya setelah kelakuan Ari Askhara terbongkar, betapa kacaunya dia mengelola Garuda. Pendukung Jokowi mingkem semua. Kemana saja selama ini Rini, ko baru ketahuan? Ada apa dengan Pak Jokowi, takut bu Mega karena Rini anak emas Mega seperti Budi Gunawan.

Sama juga dalam kasus ini, saya hanya ingin mendudukan masalah secara proporsional. Sayangnya saat orang-orang Gurun abad 15 lampau bermedsos, kehidupan di dunia maya dan nyata menjadi barbar.

Saya mengalami hidup tanpa listrik dikampung, listrik baru ada saat saya kelas 3 SD, ngaji bangun jam 4 pagi masih pakai lampu tempel, lilin, petromak, dll. Sampai saya 2009, di pesantren kalau mau opini kita nangkrig di mading pondok, perlu waktu satu bulan, itupun kalau lolos sortir pimrednya.

Jadi media sosial ini sebuah kemewahan bagi saya, nulis opini, gagasan atau sejenisnya bisa nulis di wall, bukan dikertas bukan di microsoff world, langsung aplod. Kemewahan luar biasa.

Rasanya saya tidak mungkin menulis untuk kepentingan yang oportunistik, oprtunis paling kerdil untuk memperbanyak follower misalnya, tidak mungkin. Kalau begitu, sungguh saya bukan orang bersyukur atas nikmat Allah berupa kemewahan bermedsos seperti sekarang.

Saya nyalakan tombol follow karena saya membatasi pertemanan, agar kawan-kawan yang tidak berteman tetap bisa mengakses postingan saya maka saya nyalakan tombol follow. Sesederhana itu.

Jadi bagaimana, mau ribut dijalanan? Atau mau menghidupkan ruang-ruang diskusi?

Sumber : Status Facebook Ahmad Tsauri

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed