by

Introspeksi Presiden Soal Intoleransi

Oleh : Muhammad AS Hikam

Sinyalemen Presiden Jokowi (PJ) terkait persoalan mendasar yg dihadapi ummat Islam di dunia, menurut hemat saya, adalah sebuah pandangan yang kritis, jujur dan faktual, kendati bagi beberapa kelompok kepentingan, akan membuat mereka berang. Seperti dilaporkan oleh media, dalam sambutan pembukaan World Islamic Economic Forum (WIEF) ke-12 di Jakarta Convention Center (JCC), PJ ada dua masalah besar yang dihadapi ummat Islam, yakni “tantangan ekonomi dan politik.” Yang pertama terkait dengan masalah-2 dasar seperti keterbelakangan ekonomi dan kesejahteraan yang rendah. Yang kedua, dan ini yang perlu digaris bawahi, adalah masalah toleransi. Masalah yang disebut terakhir tsb, menurut PJ, “paling sulit dihadapi komunitas negara muslim.”

Tak perlu dibuat heran, sinyelemen PJ membuat sebagian kelompok Islam di negeri ini, berang dan balik menuduh beliau sebagai “tidak fair”, “tidak proporsional”, atau bahkan “tidak pro kepada ummat Islam.” Dan sudah bisa ditebak bahwa pihak yang marah adalah yang biasanya menyebarkan Islam yang tidak ramah: tokoh-tokoh dan kelompok-kelompok yang ditengarai publik sebagai pihak yg sering terlibat kekerasan, penyebar ujaran-ujaran kebencian (hate speeches), melemparkan tudingan-tudingan nyinyir dan fitnah kepada sesama Muslim, dan, tentu saja, terindikasi terlibat dalam berbagai provokasi yang menciptakan berbagai kegentingan dan/atau kegaduhan dan gangguan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.

PJ bicara secara faktual, jujur dan kritis mengenai kondisi umum yang dihadapi ummat Islam dan negara-negara berpenduduk mayoritas Islam. Indonesia, sebagai negara berpenduduk mayoritas Islam terbesar di dunia sampai saat ini masih termasuk negara yang menghadapi problem ekonomi dan kesejahteraan rakyatnya, dan pada saat yang sama masih dihantui oleh kekerasan yang menggunakan kedok agama dan bahkan ancaman terorisme yang juga disebarkan oleh para pendukung Islam radikal jihadi. Kalaupun ada berbagai variasi dalam problematika struktural dan masalah intoleransi tsb, hal itu tidak kemudian membuat statmen PJ keliru atau tidak fair, apalagi dianggap tidak pro ummat Islam!

Justru keberanian PJ untuk ber “blaka suta” alias berterus terang di atas, adalah sebuah keunggulan dan mesti diapresiasi karena hal tersebut menunjukkan kemampuan melakukan introspeksi. Sikap beliau bukan seperti para apologis aksi-aksi kekerasan dan bahkan gerakan teroris yang bisanya hanya bisa menyalahkan pihak lain dengan menggunakan pelbagai jenis “teori konspirasi.” Sikap PJ adalah sebuah upaya untuk membuka persoalan melalui introspeksi kritis, dan dari sana dicari solusi yang efektif, baik pada tataran nasional maupun internasional. Memang sikap itu sangat beresiko mengundang respon negatif dan nyinyir, karena kebiasaan melakukan introspeksi sangat kurang dan lebih enak menyalahkan pihak lain.

Setelah melakukan introspeksi tsb, PJ dan seluruh pemimpin negara-2 Muslim perlu menciptakan strategi untuk mengatasi kedua persoalan mendasar di atas, khususnya menghentikan atau setidaknya mengurangi intoleransi. Dalam konteks Indonesia, langkah strategis yang penting adalah bertindak tegas dan konsisten terhadap kelompok-2 intoleran maupun individu penyebar intoleransi, kendati mereka suka bersembunyi di balik HAM. Jika pihak-pihak tsb diberi peluang untuk menyebarkan paham dan aksi intoleran, maka introspeksi yang sudah tepat di atas jadi muspro alias sia-sia. Sebab, toleransi terhadap intoleransi bukanlah sebuah keutamaan (virtue), tetapi sebuah pelanggaran etik.**

Sumber : Facebook Muhammad AS Hikam

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed