by

Inilah Alasan Soeharto Sulit menjadi Pahlawan Nasional

 Oleh : Mahesa Danu

Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada diktator Orde Baru, Suharto, kembali mencuat. Kali ini, wacana itu dicuatkan oleh Partai Golkar.

Pada pertengahan Mei lalu, di forum Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar di Bali, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie menyampaikan usulan itu di sela-sela pidatonya di acara tersebut.

Terkait usulan itu, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengakui proses pengajuan gelar pahlawan kepada Soeharto masih berjalan. Malahan, kata dia, proses pengajuan gelar itu kini sudah di tangan Dewan Gelar. Artinya, kalau tidak ada aral melintang, Soeharto bakal dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dalam waktu dekat ini.

Itu bukan kali pertama Soeharto diusulkan sebagai pahlawan. Awalnya, pada tahun 2010, nama Soeharto lolos sebagai calon penerima gelar pahlawan dari wilayah Jawa Tengah oleh Kementerian Sosial.

Kemudian, pada Pemilu Presiden 2014, salah seorang calon Presiden, yaitu Prabowo Subianto, menjanjikan gelar pahlawan kepada Soeharto jika dirinya terpilih sebagai Presiden.

Ini bukan soal suka dan tidak suka. Namun, jejak langkah Suharto dalam sejarah membuat dirinya tidak pantas mendapat gelar Pahlawan Nasional. Berikut ini 10 alasan kenapa Soeharto tidak pantas dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional.

Menjadi “operator” imperialis untuk Gulingkan Sukarno

Sejak reformasi bergulir hingga sekarang, makin banyak kesaksian, penelitian maupun dokumen yang menyingkap fakta sejarah dalam peristiwa G 30 S 1965. Termasuk keterlibatan negara-negara imperialis, khususnya AS dengan CIA-nya, dalam menggulingkan pemerintahan Sukarno. (Baca juga: Peristiwa G 30 S 1965 dan Keterlibatan Amerika Serikat)

Nah, yang menarik, ada keterlibatan Soeharto dalam peristiwa ini. Beberapa kesaksian, seperti pengakuan Kolonel Abdul Latief, salah seorang aktor penting di peristiwa G 30 S, menyebut Soeharto mengetahui adanya rencana G 30 S. (Baca di: Soeharto dan Peristiwa G 30 S 1965). Sejumlah peneliti, seperti Ben Anderson dan Prof. Dr. W. F. Wertheim, menyebut Soeharto sebagai orang yang paling diuntungkan oleh G 30 S.

Dari analis para peneliti itu, lalu diperkuat oleh kesaksian sejumlah tokoh (Abdul Latief, Subandrio, AM Hanafie, dll), ada tiga kesimpulan penting. Pertama, Soeharto sudah mengetahui rencana G30S. Kedua, beberapa aktor kunci G30S adalah anak buah atau, setidaknya, dikenal sebagai ‘orang dekat’ Soeharto. Ketiga, G30S dijadikan dalih oleh Soeharto untuk menghabisi PKI dan menggulung kekuasaan Soekarno.

Karena itu, benar juga apa yang dikatakan oleh Mantan Kepala Staff AURI, Omar Dhani, dalam wawancara dengan Tempo. “Menurut saya CIA itu sangat terlibat, dan Harto adalah tangan yang dipakai. G30S 1965 itu bikinan Harto,” kata Omar Dhani.

Menghamba pada kapitalisme global

Kita tahu, setelah peristiwa G 30 S dan Soeharto berhasil merebut kendali kekuasaan dari tangan Sukarno, haluan ekonomi dan politik Indonesia berubah drastis.

Segera setelah Soeharto berkuasa, ia merombak tatanan ekonomi Indonesia agar sesuai dengan tuntutan investor asing. Bank Dunia dan IMF juga ikut turun tangan memberi bantuan dana, tenaga ahli, dan lain-lain.

Awal tahun 1967, disahkan UU Penanaman Modal Asing (PMA) yang menghamparkan karpet merah bagi masuknya investor asing. Konon, UU tersebut disusun atas masukan pemerintah AS dan para investor. Bahkan, AS mengirimkan konsultan untuk membantu Widjojo Nitisastro untuk menyusun UU tersebut (Bradley Simpson, 2011).

Kemudian, pada bulan November 1967, sebuah konferensi tiga hari berlangsung di Jenewa, Swiss. Konferensi yang disponsori oleh Time Life Corporation merancang pengambilalihan kekayaan Indonesia oleh korporasi asing. Diceritakan, para kapitalis raksasa dunia, seperti David Rocklefeller, General Motors, Imperial Chemical Industries, Caltex, Goodyear, dan lain-lain, duduk berseberangan meja dengan delegasi Indonesia membicarakan pengkaplingan tanah dan sumber daya alam Indonesia oleh korporasi asing.

Dan sebagai sang pemula, pada April 1967, PT. Freeport Sulphur mendapat izin menguasai tambang tembaga dan emas di gunung tembaga bernama  Ertsberg di Papua. Inilah perusahaan asing pertama yang paling pertama menjejakkan kakinya di Indonesia setelah Sukarno tumbang.

Dan kita tahu, selama 32 tahun berkuasa, kebijakan ekonomi Suharto sangat pro investor asing. Suharto berhasil mengembalikan ekonomi Indonesia ke pangkuan kapitalis barat.

Pelanggar HAM

Soeharto sanggup berkuasa cukup lama: 32 tahun. Namun, usia panjang kekuasaan rezim Orde Baru itu dibangun di atas penindasan dan pembantaian keji jutaan nyawa. Malahan, Soeharto membangun kekuasaannya melalui kudeta merangkak terhadap Sukarno dan pembantaian ratusan ribu hingga jutaan orang yang dituduh komunis dan sukarnois.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut 10 kasus pelanggaran HAM berat yang melibatkan Soharto, yaitu penangkapan dan pembuangan massal ke Pulau Buru (1965/1966), penembakan misterius (1981-1985), peristiwa Tanjung Priok (1984-87), peristiwa Talangsari (1984-87), pemberlakuan Daerah Operasi Militer di Aceh (1989-1998), pemberlakuan Daerah Operasi Militer di Papua (1967-2003), peristiwa 27 Juli 1996, penculikan dan penghilangan paksa para aktivis (1997-1998), tragedi Trisakti (1998), dan kerusuhan 13-15 Mei 1998.

Memberangus demokrasi

Untuk menjaga kekuasannya, Soeharto memberangus kehidupan demokrasi. Kebebasan berserikat dan berkumpul ditindas. Di bawah orde baru, orang tidak bebas untuk mendirikan serikat atau organisasi. Rakyat juga tidak bebas menyampaikan pendapat dan kritik. Media massa dibungkam.

Melakukan depolitisasi

Tidak hanya menutup ruang berekspresi dan berpendapat, Orde Baru juga menjauhkan rakyat dari kehidupan politik. Ini ditempuh melalui proyek depolitisasi dan deparpolisasi.

Di zaman orba, rakyat dibatasi partisipasinya dalam kegiatan-kegiatan politik, termasuk menjadi pengurus partai. Kegiatan partai dibatasi hingga daerah tingkat II (Kabupaten/kota). Tak hanya itu, Orba juga melakukan deparpolisasi dengan hanya mengakui tiga partai (PPP, Golkar, dan PDI).

Terlibat KKN

Jika anda mengetikkan most corrupt leader di google, maka nama “Mohamed Suharto” selalu berada di nomor satu. Sangat memalukan, bukan?

Soeharto memang memang selalu di pucuk teratas daftar pemimpin terkorup di dunia. Dia mengungguli bekas diktator Filipina Ferdinand Marcos dan bekas diktator Zaire Mobutu Sese Seko. Transparency International (TI) mencatat kekayaan Soeharto dari hasil korupsi mencapai 15-35 miliar USD.

Sebagian besar harta hasil korupsi Soeharto terkumpul di yayasan-yayasan yang didirikannya, seperti Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial, Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora.

Selain korupsi, zaman Soeharto juga marak dengan praktek kolusi dan nepotisme.

Mewariskan utang luar negeri

Rezim orde baru sangat bergantung pada modal asing. Tak hanya itu, rezim yang berkuasa 32 tahun juga doyan berutang. Hingga kekuasaannya berakhir di tahun 1998, Soeharto mewariskan utang luar negeri sebesar Rp 1500 triliun.

Ironisnya lagi, seperti diakui oleh Bank Dunia, sekitar sekitar 30 persen utang di masa Orde Baru masuk ke kantong pribadi Soeharto. Dan sekarang kita yang wajib memikul beban utang tersebut.

Melecehkan Bung Karno

Suharto bukan hanya mengkudeta Sukarno. Tetapi, untuk anda ketahui, Soeharto melakukan banyak kejahatan terhadap Proklamator Kemerdekaan RI itu.

Sejak Maret 1967, Sukarno menjadi tahanan rumah di Istana Bogor, kemudian dipindahkan ke Wisma Yaso di Jakarta (Sekarang Museum Satria Mandala).

“Bahkan, keluarga dan kerabatnya pun sulit menemui Bung Karno. Untuk membesuk Bung Karno, mereka harus mendapat izin lebih dulu dari otoritas yang berwenang,” tulis sejarawan Bob Hering dalam Soekarno Arsitek Bangsa.

Ketika tubuhnya sedang digerogoti penyakit, Sukarno juga tetap dipaksa diinterogasi oleh perwira Kopkamtib. Hanya untuk mencari-cari jalan untuk melibatkan Sukarno dalam peristiwa G 30 S. Dalam kondisi sakit, Sukarno juga tidak mendapat penanganan medis yang layak.

Sukarno menghembuskan nafas yang terakhir tanggal 21 Juni 1970 dalam keadaan sebagai “tahanan politik” dan didera oleh penyakit yang parah.

Memanipulasi Pancasila

Siapapun tak bisa menyangkal, Pancasila lahir dari pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 di hadapan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan/BPUPKI). Dan, tidak bisa disangkal pula, bahwa penggali Pancasila adalah Bung Karno.

Sayang, sejak Orde Baru berkuasa, proses pemalsuan sejarah intensif dilakukan. Termasuk terkait sejarah Pancasila. Sejak tahun 1971, Orde baru melalui ideolognya, Nugroho Notosusanto, mulai menyusun versi manipulatif terkait sejarah Pancasila. Hasilnya gampang ditebak: peranan Bung Karno dihilangkan dan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahirnya Pancasila dikaburkan.

Sebaliknya, Orde Baru kemudian menetapkan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Ini diputuskan sendiri oleh Soeharto melalui Surat Keputusan Presiden No. 153/1967. Alhasil, selama 32 tahun kekuasaan orde baru, hari kelahiran Pancasila tidak pernah diperingati, tetapi Hari Kesaktian Pancasila selalu diperingati.

Selama Orde Baru, kendati Pancasila diagung-agungkan, tetapi praktek penyelenggaraan negara melenceng jauh dari nilai-nilai Pancasila. Di zaman Orba, korupsi merajalela dan ketimpangan sosial melebar. Pelanggaran HAM juga menginjak-injak nilai perikemanusiaan. Demokrasi juga dipasung.

Memanipulasi sejarah

Orde baru banyak memanipulasi sejarah bangsa. Sebagai misal, untuk melancarkan proyek desukarnoisasi, peranan Sukarno dalam sejarah bangsa ini dikaburkan.

Semisal dalam buku “Pejuang dan Prajurit”,  Sukarno tidak tampak pada foto pengibaran bendera merah-putih saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Orde Baru juga memanipulasi sejarah lahirnya Pancasila dengan melebihkan peran Mohammad Yamin dan Soepomo ketimbang Sukarno.

Orde Baru juga dituduh merekayasa peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Dalam sejarah versi Orba, Soeharto yang dianggap sebagai konseptor sekaligus pelaksana dari serangan bersejarah di Ibukota Republik tersebut.

Sejarah versi Orba juga menghilangkan kontribusi orang-orang kiri, baik sosialis maupun komunis, dalam sejarah perjuangan kemerdekaan. Padahal, banyak sekali orang kiri yang berjasa pada lahirnya bangsa ini, seperti Tan Malaka, Amir Sjarifoeddin, Semaun, Wikana, dan lain-lain.** (ak)

Sumber : berdikari.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed