Namun ada juga yang balik bertanya, ngapain nulis yang baik-baik? Lebih apalagi, jika muncul pandangan tak ada yang baik di negeri ini. Nulis yang buruk-buruk, katanya bagian dari memperbaiki. Lantas, siapa yang baik? Dirinya dong, masa’ orang lain!
Baiklah (saya pakai kata itu, sebelum nanti ada yang mengganti ‘buruklah’). Namun dari berbagai uji klinis dan psikologis, segala yang buruk beresonansi atau bervibrasi buruk pula dalam diri manusia. Jiwa dan raganya.
Kata-kata buruk yang sering diucapkan, atau didengar, bisa nancep di ubun-ubun. Untuk kemudian ngebor nembus ke jantung hati dan nuraninya. Outputnya kemudian ke karakter, perilaku, juga cara bereaksi terhadap lingkungan atau liyan.
Jaman dulu, Harmoko melarang lagu-lagu pop cengeng. Sebelumnya, Bung Karno bilang benci pada musik ngak-ngik-ngok, hingga Koes Bersaudara masuk penjara. Karena musik dan lyric lagu itu, dianggap bisa mempengaruhi psikologisme seseorang.
Senyatanya, serapan manusia atas lingkungan, via mata, telinga, hidung, mulut terus ke perut, juga mempengaruhi. Orang Arab yang hidup di gurun pasir panas, karakternya berbeda dengan tetangga saya yang digunung Mbuantul. Juga kegemaran atas makanan, sampai perilaku seksualnya. Pantesan, di Puncak Bogor sana di antara mereka ada yang keranjingan ngadem, atau anget-anget gimana. Meski bukan penyakit sipilis yang ditakuti, tapi corona membuat daerah itu kini sunyi-sepi sendiri sejak kau tinggal pergi.
Dalam menghadapi pandemi coronavirus ini, bukan hanya media formal, di medsos yang lebih muncul juga berita-berita buruk. Jumlah yang terindikasi, terpapar atau positif corona makin meningkat. Yang meninggal di Jakarta, kata Gubernurnya, mencapai 200-an lebih, dan diimpresikan berkait coronavirus. Padal, secara nasional yang meninggal positif Corona tak sampai angka itu, meski pandemi terberat ada di Jakarta.
Media lebih dipenuhi angka dan data korban. Tapi esei, atau reportase indepth mengenai kenapa seseorang terkena virus, hampir tak ada. Bahkan, pemberitaan yang sembuh dari VIRUS Corona, jarang terekspose. Apalagi menjadi bahan perbincangan. Beberapa anggota masyarakat ada yang menyingkiri pertemuan dengan si mantan sakit. Bisa jadi, salah satunya, karena terimbas info-info buruk yang diserap tiap hari.
Kepekaan afeksi jadi tergerus, sementara kognisinya diubah menjadi paranoid, baperan atau curiga mulu. Bahkan ada yang menggugat Presiden dengan angka Rp 10 milyar + Rp 20 juta.
(Sumber: Facebook Sunardian Wirodono)
Comment