by

Infiltrasi Islam Garis Keras ke Muhammadiyah

 

Gerakan garis keras transnasional dan kaki tangannya di Indonesia sebenarnya telah lama melakukan infiltrasi ke Muhammadiyah. Dalam Muktamar Muhammadiyah pada bulan Juli 2005 di 
Malang, para agen kelompok-kelompok garis keras, termasuk kader-kader PKS dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), mendominasi banyak forum dan berhasil memilih beberapa simpatisan gerakan 
garis keras menjadi ketua PP. Muhammadiyah. Namun demikian, baru setelah Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan mudik ke desa Sendang Ayu, Lampung, masalah infiltrasi ini menjadi kontroversi besar dan terbuka sampai tingkat internasional. (7)

Masjid Muhammadiyah di desa kecil Sendang Ayu —yang dulunya damai dan tenang— menjadi ribut karena dimasuki PKS yang membawa isu-isu politik ke dalam masjid, gemar mengkafirkan 
orang lain, dan menghujat kelompok lain, termasuk Muhammadiyah sendiri. Prof. Munir kemudian memberi penjelasan kepada masyarakat tentang cara Muhammadiyah mengatasi perbedaan 
pendapat, dan karena itu masyarakat tidak lagi membiarkan orang PKS memberi khotbah di masjid mereka. Dia lalu menuliskan keprihatinannya dalam Suara Muhammadiyah.(8) Artikel ini menyulut diskusi serius tentang infiltrasi garis keras di lingkungan Muhammadiyah yang sudah terjadi di banyak tempat, dengan cara-cara yang halus maupun kasar hingga pemaksaan.

Artikel Prof. Munir mengilhami Farid Setiawan, Ketua Umum Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPD IMM) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), membicarakan infiltrasi garis keras ke dalam Muhammadiyah secara lebih luas dalam dua artikel di Suara Muhammadiyah. Dalam yang pertama, “Ahmad Dahlan Menangis (Tanggapan terhadap Tulisan Abdul Munir Mulkhan),”(9) Farid mendesak agar Muhammadiyah segera mengamputasi virus kanker yang, menurut dia, sudah masuk kategori stadium empat. Karena jika diam saja, “tidak tertutup kemungkinan ke depan Muhammadiyah hanya memiliki usia sesuai dengan umur para pimpinannya sekarang. Dan juga tidak tertutup kemungkinan jika Alm. KH. Ahmad Dahlan dapat bangkit dari liang kuburnya akan terseok dan menangis meratapi kondisi yang telah menimpa kader dan anggota Muhammadiyah”10 yang sedang direbut oleh kelompok-kelompok garis keras.

Dalam artikelnya yang kedua, “Tiga Upaya Mu‘allimin dan Mu‘allimat,” Farid mengungkapkan bahwa “produk pola kaderisasi yang dilakukan ‘virus tarbiyah’ (11) membentuk diri serta jiwa para kadernya menjadi seorang yang berpemahaman Islam yang ekstrem dan radikal. Dan pola kaderisasi tersebut sudah menyebar ke berbagai penjuru Muhammadiyah. Hal ini menyebabkan kekecewaan yang cukup tinggi di kalangan warga dan Pimpinan Muhammadiyah. Putra-putri mereka yang diharapkan menjadi kader penggerak Muhammadiyah malah bisa berbalik memusuhi Muhammadiyah.”(12)

Menyadari betapa jauh dan dalam infiltrasi virus tarbiyah ini, Farid mengusulkan tiga langkah untuk menyelamatkan Muhammadiyah. Pertama adalah membubarkan sekolah-sekolah kader Muhammadiyah, karena virus tarbiyah merusaknya sedemikian rupa; kedua, merombak sistem, kurikulum dan juga seluruh pengurus, guru, sampai dengan musyrif dan musyrifah yang terlibat dalam gerakan ideologi non-Muhammadiyah dan kepentingan politik lain; ketiga, memberdayakan seluruh organisasi otonom (ortom) di lingkungan Muhammadiyah.(13)

Artikel Munir dan Farid menimbulkan kontroversi dan polemik keras antara pimpinan Muhammadiyah yang setuju dan tidak. Salah satu keprihatinan utama mereka yang setuju adalah bahwa institusi, fasilitas, anggota dan sumber-sumber daya Muhammadiyah telah digunakan kelompok-kelompok garis keras untuk selain kepentingan dan tujuan Muhammadiyah. Di tengah panasnya polemik mengenai gerakan virus tarbiyah, salah seorang Ketua 
PP. Muhammadiyah, Dr. Haedar Nashir, mengklarifikasi isu-isu dimaksud dalam sebuah buku tipis yang berjudul Manifestasi Gerakan Tarbiyah: Bagaimana Sikap Muhammadiyah?(14)

Kurang dari tiga bulan setelah buku tersebut terbit, Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah mengeluarkan Surat Keputusan Pimpinan Pusat (SKPP) Muhammadiyah Nomor 149/Kep/I.0/B/2006 untuk “menyelamatkan Muhammadiyah dari berbagai tindakan yang merugikan Persyarikatan” dan membebaskannya “dari pengaruh, misi, infiltrasi, dan kepentingan partai politik yang selama ini mengusung misi dakwah atau partai politik bersayap dakwah” 
karena telah memperalat ormas itu untuk tujuan politik mereka yang bertentangan dengan visi-misi luhur Muhammadiyah sebagai organisasi Islam moderat:

“…Muhammadiyah pun berhak untuk dihormati oleh siapa pun serta memiliki hak serta keabsahan untuk bebas dari segala campur tangan, pengaruh, dan kepentingan pihak manapun yang dapat 
mengganggu keutuhan serta kelangsungan gerakannya” (Konsideran poin 4). “Segenap anggota Muhammadiyah perlu menyadari, memahami, dan bersikap kritis bahwa seluruh partai politik di negeri ini, termasuk partai politik yang mengklaim 
diri atau mengembangkan sayap/kegiatan dakwah seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah benar-benar partai politik. Setiap partai politik berorientasi meraih kekuasaan politik. Karena itu, dalam menghadapi partai politik manapun kita harus tetap berpijak pada Khittah Muhammadiyah dan harus membebaskan diri dari, serta tidak menghimpitkan diri dengan misi, kepentingan, kegiatan, dan tujuan partai politik tersebut” (Keputusan poin 3). (15)

Keputusan ini dapat dipahami, karena pada kenyataannya PKS tidak hanya “menimbulkan masalah dan konflik dengan sesama dan dalam tubuh umat Islam yang lain, termasuk dalam 
Muhammadiyah,”(16) tapi menurut para ahli politik juga merupakan ancaman yang lebih besar dibandingkan Jemaah Islamiyah (JI) terhadap Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Menurut seorang ahli politik dan garis keras Indonesia, Sadanand Dhume,

“Hanya ada pemikiran kecil yang membedakan PKS dari JI. Seperti JI, manifesto pendirian PKS adalah untuk memperjuangkan Khilafah Islamiyah. Seperti JI, PKS menyimpan rahasia sebagai prinsip pengorganisasiannya, yang dilaksanakan dengan sistem sel yang keduanya pinjam dari Ikhwanul Muslimin…. Bedanya, JI bersifat revolusioner sementara PKS bersifat evolusioner. Dengan bom-bom bunuh dirinya, JI menempatkan diri melawan pemerintah, tapi JI tidak mungkin menang. Sebaliknya, PKS menggunakan posisinya di parlemen dan jaringan kadernya yang terus menjalar untuk memperjuangkan tujuan yang sama selangkah demi selangkah dan suara demi suara…. Akhirnya, bangsa Indonesia sendiri yang akan memutuskan apakah masa depannya akan sama dengan negara-negara Asia Tenggara yang lain, atau ikut gerakan yang berorientasi ke masa lalu dengan busana jubah fundamentalisme keagamaan. PKS terus berjalan. Seberapa jauh ia berhasil akan menentukan masa depan Indonesia.”(17)

Namun, sebagaimana ditunjukkan oleh studi yang dipaparkan dalam buku ini, sekalipun SKPP tersebut telah diterbitkan pada bulan Desember 2006, hingga kini belum bisa diimplementasikan secara efektif. Gerakan-gerakan Islam transnasional (Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir) dan kaki tangannya di Indonsia sudah melakukan infiltrasi jauh ke dalam Muhammadiyah dan mematrikan hubungan dengan para ekstremis yang sudah lama ada di dalamnya. Keduanya terus aktif merekrut para anggota dan pemimpin Muhammadiyah lain untuk ikut aliran ekstrem, seperti yang terjadi saat Cabang Nasyiatul Aisyiyah (NA) di Bantul masuk PKS secara serentak (en masse). Sementara Farid Setiawan prihatin bahwa mungkin Muhammadiyah hanya akan mempunyai usia sesuai dengan umur para pengurusnya, gerakan garis keras justru terus berusaha merebut Muhammadiyah untuk menggunakannya sebagai kaki tangan mereka berikutnya dengan umur yang panjang. Banyak tokoh moderat Muhammadiyah prihatin bahwa garis keras bisa mendominasi Muktamar Muhammadiyah 2010, karena aktivis garis keras semakin kuat dan banyak.

Persis karena infiltrasi yang semakin kuat inilah, tokoh-tokoh moderat Muhammadiyah menganggap situasi semakin berbahaya, baik bagi Muhammadiyah sendiri maupun bangsa Indonesia. Kita harus bersikap jujur dan terbuka serta berterus terang dalam menghadapi semua masalah yang ada, agar apa pun yang kita lakukan bisa menjadi pelajaran bagi semua umat Islam dan mampu mendewasakan mereka dalam beragama dan berbangsa.

Salah satu temuan yang sangat mengejutkan para peneliti lapangan adalah fenomena rangkap anggota atau dual membership, terutama antara Muhammadiyah dan garis keras, bahkan tim peneliti lapangan memperkirakan bahwa sampai 75% pemimpin garis keras yang diwawancarai punya ikatan dengan Muhammadiyah.

Catatan kaki

7. Baca Bret Stephens, “The Exorcist: Indonesian man seeks to create an Islam that will make people smile’,” dalam http://www.opinionjournal.com/columnists/bstephens/…
8. Abdul Munir Mulkhan, “Sendang Ayu: Pergulatan Muhammadiyah di Kaki Bukit Barisan,” Suara Muhammadiyah, 2 Januari 2006.
9. Baca Farid Setiawan, “Ahmad Dahlan Menangis (Tanggapan terhadap Tulisan Abdul Munir Mulkhan),” Suara Muhammadiyah, 20 Februari 2006.
10. Ibid.
11. “Gerakan Tarbiyah pada awal kelahirannya era tahun 1970-an dan 1980-an merupakan gerakan (harakah) dakwah kampus yang menggunakan sistem pembinaan (pendidikan) Tarbiyah Ikhwanul Muslimin di negeri Mesir. Kelompok ini cukup militan dan merupakan gejala baru sebagai gerakan Islam ideologis, yang berbeda dari arus besar Islam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sebagai gerakan Islam yang bercorak moderat dan kultural. Para aktivis gerakan Tarbiyah kemudian melahirkan Partai Keadilan (PK) tahun 1998 yang berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tahun 2004. Di belakang hari PKS menjadikan Tarbiyah a la Ikhwanul Muslimin itu sebagai sistem pembinaan dan perekrutan anggota. Maka gerakan Tarbiyah tidak terpisah dari PK/PKS, keduanya memiliki napas inspirasi ideologis dengan Ikhwanul Muslimin, dan sebagai media/instrumen penting dari Partai Keadilan Sejahtera yang dikenal bersayap dakwah dan politik.” (Baca sampul belakang: Haedar Nashir, Manifestasi Gerakan Tarbiyah: Bagaimana Sikap Muhammadiyah?, cet. Ke-5, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007).
12. Farid Setiawan, “Tiga Upaya Mu‘allimin dan Mu‘allimat,” Suara Muhammadiyah, 3 April 2006.
13. Ibid.
14. Haedar Nashir, Manifestasi Gerakan Tarbiyah: Bagaimana Sikap Muhammadiyah? Cet. Ke-5 (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007).
15. SKPP Muhammadiyah Nomor 149/Kep/I.0/B/2006. Untuk membaca teks
lengkap SKPP, lihat dalam lampiran 1.
16. Ibid, Haedar Nashir, h. 66.
17. Sadanand Dhume, “Indonesian Democracy’s Enemy Within: Radical Islamic party threatens Indonesia with ballots more than bullets,” dalam the Far Eastern Economic Reiew, Mei 2005.

Catatan:
Tulisan ini dikutip dari buku “Ilusi Negara Islam”. Bagi yang ingin membaca secara lebih lengkap silahkan download file pdfnya disinihttps://serbasejarah.wordpress.com/unduh-e-book-sejarah/

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed